Antara Idealisme Intelektual dan Belenggu Administratif

  • 10:24 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Max Weber pernah menyebut birokrasi sebagai sistem rasional-legal yang dibentuk demi efisiensi dan keadilan. Tapi ia juga mengingatkan bahwa dalam masyarakat yang terlalu birokratis, manusia bisa terjebak dalam "sangkar besi" (iron cage), kehilangan makna, tujuan, dan agensi.

Gambaran ini Max Weber ini terasa relevan di kebanyakan dunia kampus di Indonesia. Idealisme akademis yang mestinya menjadi ruh perguruan tinggi, perlahan memudar di balik tumpukan laporan, dan isian. Dosen yang semestinya mengasah pikiran, memperluas cakrawala riset, dan menyalakan bara intelektual di kelas, terpaksa menghabiskan sebagian besar energinya untuk mengejar tenggat administrasi yang sepertinya tak pernah habis.

Beban kerja dosen yang banyak ini  menjadi monster yang menggerogoti waktu dan fokus. Formulir akreditasi, laporan kinerja, rekap presensi, pengisian data borang, dan verifikasi dokumen menjadi rutinitas yang menyita jam-jam terbaik seorang dosen jam-jam di mana ide segar mestinya lahir.

Akibatnya, riset yang memerlukan konsentrasi mendalam sering terpinggirkan. Ide-ide cemerlang yang butuh proses renungan panjang terhenti di catatan draf. Waktu yang seharusnya dipakai untuk berdiskusi dengan mahasiswa atau mengembangkan proyek penelitian, malah dihabiskan di depan layar komputer untuk mengisi kolom demi kolom. Kampus pun secara perlahan bergeser dari laboratorium gagasan menjadi kantor administrasi yang sibuk.

Fenomena ini juga memunculkan paradoks. Di satu sisi, universitas gencar mendorong publikasi internasional, inovasi, dan kolaborasi lintas disiplin. Di sisi lain, dosen terbebani dengan sederet pekerjaan administratif yang mematikan ruang kreatif. Akibatnya, dosen terjebak dalam mode bertahan hidup, mengerjakan semua kewajiban administrasi agar selamat dari evaluasi, sembari berharap masih ada sisa tenaga untuk mengajar dan meneliti.

Dosen yang kelelahan dan kehilangan ruang refleksi akan sulit membawa semangat baru ke kelas. Motivasi personal tergerus ketika pekerjaan intelektual digantikan oleh rutinitas mekanis dan atomostis.

Aristotelis menyiratkan bahwa kemajuan ilmu lahir dari kebebasan berpikir dan ketersediaan waktu luang untuk merenung. Isaac Newton menemukan hukum gravitasi bukan saat mengisi laporan tahunan, tapi ketika merenung di bawah pohon apel. Thomas Alfa Edison berhasil menemukan menciptakan bola lampu setelah seribu kali percobaan. Para ilmuwan besar sering menemukan ide brilian di sela kebebasan mereka dari tugas rutin. Jika waktu ini dicabut, kita bukan hanya kehilangan potensi inovasi, tetapi juga membunuh semangat yang menjadi inti dunia akademik.

Administrasi memang tidak bisa dihapus, tetapi bisa disederhanakan. Teknologi informasi seharusnya dipakai untuk meringankan beban, bukan menambah lapisan birokrasi baru. 

Kampus harus  menjadi pusat pengembangan dan dialektika pengetahuan.  Kampus harus  memberi ruang bernapas bagi dosen untuk berpikir, membaca, berdiskusi, dan menulis, aktivitas yang  menjadi inti dari produktivitas akademik.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan situasi paradoks. Gedung menjulang, tapi ruh intelektual hilang. Mahasiswa kehilangan dosen yang inspiratif, riset kehilangan kedalaman, dan kampus kehilangan posisi sebagai mercusuar peradaban.

Max Weber sudah memberi peringatan sejak awal abad ke-20 tentang bahaya “sangkar besi” birokrasi. Kini, tantangannya adalah bagaimana membebaskan dosen dari jeruji itu tanpa mengorbankan keteraturan yang diperlukan. 

Sungguminasa 12 Agustus 2025