Haul Abah Sekumpul; Ruang Perjumpaan Identitas Kolektif

  • 12:23 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Sambil menyeruput secangkir kopi di pagi Jumat ini, saya membaca artikel menarik yang ditulis oleh Prof.Dr. H. Saifuddin sabda, MA (Guru Besar UIN Antasari Banjarmasin) yang mengulas tentang fenomena haul Abah Sekumpul Martapura antara tradisi, substansi dan tantangan zaman. Tulisan ini tentu bukan untuk mengkritisi atau mengulas substansi yang disampaikan, tetapi untuk memberi perspektif lain dari penyelenggaraan haul akbar ini.

Saya berada Banjarmasin 5 hari sebelum puncak acara haul tahunan Abah Sekumpul dilaksanakan (28 Desember 2025). Kehadiran lebih awal ini memberi kesempatan saya untuk mengamati secara langsung bagaimana sebuah tradisi keagamaan tidak hanya hidup pada hari pelaksanaannya, tetapi justru telah berdenyut jauh sebelum ribuan jamaah memadati pusat acara. 

Di berbagai sudut kota dan sepanjang jalur utama menuju Sekumpul, telah berdiri tenda-tenda rest area yang dibangun secara sukarela dan swadaya oleh masyarakat. Rest area ini bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang pelayanan sosial yang terorganisasi secara mandiri. Para peziarah mendapatkan layanan gratis berupa makanan, minuman, tempat istirahat, bahkan fasilitas kesehatan sederhana. Praktik ini menunjukkan bahwa haul tidak dipahami semata sebagai ritual keagamaan, tetapi juga sebagai peristiwa sosial yang memobilisasi solidaritas kolektif. Partisipasi masyarakat lintas usia dan latar belakang ekonomi memperlihatkan internalisasi nilai-nilai pengabdian, sedekah, dan pelayanan sebagai ekspresi cinta kepada sosok Abah Sekumpul.

Fenomena pelayanan ini bahkan sudah terasa sejak titik kedatangan saya. Saat saya mendarat di Bandara Internasional Syamsuddin Noor Banjarmasin, tepatnya di area pengambilan bagasi, telah disediakan ruang rest area bagi para tamu dan peziarah. Sajian kopi, teh, susu, dan roti tersedia secara gratis, dilayani dengan keramahan yang khas. Bandara, yang biasanya menjadi ruang transit yang netral dan fungsional, pada momen ini bertransformasi menjadi bagian dari lanskap ritual. Ia tidak lagi sekadar infrastruktur transportasi, tetapi menjadi pintu masuk simbolik menuju pengalaman spiritual yang lebih luas.

Menurut penuturan masyarakat setempat, menjelang hari H haul, berbagai bentuk pelayanan akan semakin diperluas, termasuk taksi gratis yang mengantar jamaah menuju lokasi acara. Informasi ini memperkuat kesan bahwa haul Abah Sekumpul telah membentuk ekosistem sosial-ekonomi berbasis gotong royong. Mekanisme pasar yang biasanya diwarnai transaksi ekonomi digantikan oleh logika pemberian (gift economy), di mana imbal balik tidak diukur secara material, melainkan spiritual dan simbolik.

Dari perspektif akademis, tradisi haul Abah Sekumpul dapat dibaca sebagai ritual kolektif yang mempertemukan dimensi religius, kultural, dan sosial dalam satu peristiwa besar. Ritual ini berfungsi sebagai medium transmisi nilai-nilai keagamaan, khususnya ajaran tasawuf yang menekankan cinta, keteladanan, dan kerendahan hati. Sosok Abah Sekumpul tidak hanya dihadirkan sebagai figur historis, tetapi sebagai simbol moral yang terus dihidupkan melalui praktik sosial masyarakat.

Haul juga berperan sebagai ruang produksi identitas kolektif. Kehadiran jutaan jamaah dari berbagai daerah menegaskan Martapura sebagai pusat spiritual yang melampaui batas geografis Kalimantan Selatan. Identitas keislaman lokal bernegosiasi dengan skala nasional, bahkan transnasional, tanpa kehilangan karakter khasnya. Justru melalui keterbukaan dan pelayanan tanpa syarat, identitas tersebut menguat dan diterima secara luas.

Menariknya, praktik-praktik pelayanan yang masif ini berlangsung tanpa struktur formal negara yang dominan. Negara hadir dalam aspek pengamanan dan infrastruktur, tetapi roh utama kegiatan digerakkan oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan kapasitas komunitas religius dalam mengelola kerumunan besar secara relatif tertib melalui norma sosial dan etika keagamaan. Dalam konteks studi agama dan masyarakat, haul Abah Sekumpul menjadi contoh bagaimana otoritas moral seorang ulama dapat melahirkan keteraturan sosial yang berkelanjutan, bahkan setelah wafatnya.

Dengan demikian, haul tahunan Abah Sekumpul bukan hanya peringatan wafat seorang tokoh agama, melainkan sebuah peristiwa sosial-religius yang merefleksikan kekuatan tradisi, solidaritas, dan spiritualitas yang membumi. Pengalaman berada di Martapura sebelum puncak acara memperlihatkan bahwa esensi haul justru terletak pada proses, pada pelayanan yang ikhlas dan masif, dan pada nilai-nilai kemanusiaan yang bekerja tanpa pamrih. Di sanalah ritual menemukan maknanya yang paling dalam.

Banjarmasin 26 Desember 2025