Musibah dahsyat yang melanda Sumatera Barat, Medan, dan Aceh beberapa waktu terakhir kembali menyadarkan kita betapa rapuhnya hidup. Banjir bandang, gempa, dan tanah longsor menghantam tanpa kompromi, merenggut nyawa, merusak rumah, dan meninggalkan luka yang tak kasat mata. Dalam sekejap, suasana riuh kehidupan berubah menjadi sunyi duka. Di tengah kepedihan itu, bangsa ini seperti dipaksa berhenti sejenak, diingatkan bahwa kita bukan makhluk yang mampu mengendalikan segalanya. Bumi tempat kita berpijak pun bisa menunjukkan ketidakberdayaan kita kapan saja.
Tragedi-tragedi ini seharusnya menjadi ruang refleksi bersama. Sebab bencana bukan sekadar kejadian alam; ia adalah panggilan halus untuk menengok kembali relung jiwa yang mungkin selama ini tertutup oleh hiruk pikuk zaman. Saat bencana datang, barulah kita merasakan hening yang bukan dibuat-buat, hening yang membuat kita bertanya, apa yang sebenarnya sedang kita kejar? Dan apa yang selama ini kita lupakan?
Ironinya, hening seperti itu justru semakin langka di tengah kehidupan modern. Kita hidup di zaman di mana kebisingan tidak lagi hanya berasal dari mesin dan kendaraan, tetapi dari layar yang selalu menyala di genggaman kita. Dunia digital telah menciptakan semacam “ritme” baru kehidupan, ritme cepat, instan, dan tak pernah memberi ruang untuk diam.
Bunyi notifikasi menjadi penentu suasana hati. Ting!, sebuah pesan baru. Pling!, ada komentar masuk. Drrt (nada getar), informasi terbaru yang memaksa kita membuka layar. Kita hidup dalam pusaran bunyi-bunyi kecil yang seolah menghadirkan kedamaian palsu: rasa diperhatikan, rasa dihubungi, rasa eksis. Padahal di saat yang sama, kedamaian jiwa justru semakin jauh.
Masyarakat modern semakin sulit menikmati keheningan. Kita mulai takut pada sepi. Duduk tanpa memegang ponsel terasa seperti siksaan. Menundukkan kepala untuk berdoa terasa lebih berat dibanding menundukkan kepala untuk mengecek layar. Kita semakin mahir berinteraksi dengan dunia maya, tetapi semakin kaku berinteraksi dengan Tuhan.
Manusia bisa berjam-jam tenggelam dalam dunia digital tanpa henti. Namun lima menit saja untuk berdzikir, bermuhasabah, atau sekadar menenangkan hati terasa lama. Kita bisa begitu dekat dengan seseorang yang tinggal di kota lain, tetapi justru menjauh dari diri sendiri, dari keluarga di samping kita, dan dari Tuhan yang selalu menunggu.
Kesibukan digital ini membentuk bangsa yang rapuh secara batin. Kita menjadi mudah tersulut, mudah terpecah, mudah kehilangan empati. Ketika musibah terjadi, linimasa hanya riuh sebentar. Setelah itu orang kembali sibuk men-scroll, seolah tragedi adalah jeda singkat dalam rutinitas digital kita.
Di sinilah kita membutuhkan keheningan spiritualitas—hening yang menyadarkan, menenangkan, dan menguatkan. Hening yang menjadikan manusia utuh kembali. Bukan hening untuk melarikan diri, tetapi hening untuk pulang ke pusat diri, ke sumber makna, ke Tuhan.
Bencana yang menimpa Sumatera Barat, Medan, dan Aceh bukan hanya duka, tetapi juga pelajaran besar: bahwa manusia tanpa keheningan adalah manusia yang kehilangan arah. Kita tidak bisa terus hidup dalam kebisingan notifikasi sambil berharap jiwa tetap tenang. Jiwa butuh ruang. Butuh hening. Butuh perjumpaan dengan Penciptanya.
Mari menjadikan duka bangsa ini sebagai titik balik. Jika bumi yang kita pijak saja bisa retak, apalagi hati yang tak pernah kita rawat? Jika alam saja bisa menangis, mengapa kita masih sibuk mengejar notifikasi yang tak memberi makna?
Bangsa yang berduka memerlukan hati-hati yang jernih dan jiwa-jiwa yang kuat. Dan itu hanya bisa lahir dari keberanian untuk hening.
Semoga dari keheningan inilah Indonesia menemukan kembali kekuatan spiritualnya, bangkit dengan iman yang lebih kokoh, empati yang lebih dalam, dan harapan yang tak pernah padam.
Sungguminasa 12 Desember 2025

