Natal dalam Kacamata yang Berbeda

  • 08:22 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pro dan kontra perayaan Natal bersama di lingkungan Kementerian Agama kerap menjadi pintu masuk perdebatan yang lebih luas tentang ucapan Natal di ruang publik. Setiap menjelang Desember, wacana ini kembali mengemuka, seolah menjadi ritual tahunan yang tak pernah benar-benar menemukan titik temu. Sebagian memandang perayaan dan ucapan Natal sebagai bentuk toleransi dan penghormatan antarumat beragama, sementara sebagian lain melihatnya sebagai wilayah sensitif yang perlu dibatasi demi menjaga kemurnian keyakinan. Perbedaan sikap ini bukanlah hal baru, dan justru mencerminkan keragaman cara pandang umat beragama dalam memahami relasi antara iman, sosial, dan negara.

Narasi tentang ucapan Natal sesungguhnya tidak berdiri di ruang hampa. Ia bertumpu pada rujukan teologis, historis, dan sosiologis yang berbeda-beda. Bagi kelompok yang membolehkan, ucapan Natal dipahami sebagai ekspresi sosial, bukan pengakuan teologis. Ia ditempatkan dalam bingkai muamalah, relasi kemanusiaan, dan etika hidup bersama di tengah masyarakat plural. Perspektif ini sering merujuk pada prinsip-prinsip umum tentang perdamaian, persaudaraan, dan kewajiban menjaga harmoni sosial. Dalam konteks negara majemuk, ucapan selamat dipandang sebagai bahasa publik untuk merawat kebersamaan, bukan mencampuradukkan akidah.

Di sisi lain, kelompok yang menolak ucapan Natal juga memiliki landasan yang tidak bisa dianggap remeh. Penolakan tersebut umumnya berangkat dari kehati-hatian teologis, kekhawatiran akan terjadinya pergeseran batas antara toleransi dan sinkretisme. Bagi mereka, ucapan Natal berpotensi dimaknai sebagai pengakuan terhadap keyakinan teologis agama lain, meskipun tidak diniatkan demikian. Rujukan yang digunakan pun jelas, baik dari tafsir keagamaan, pendapat ulama, maupun fatwa lembaga otoritatif. Sikap ini lahir bukan dari kebencian atau penolakan terhadap umat lain, melainkan dari upaya menjaga konsistensi iman sesuai pemahaman yang diyakini.

Masalah sering kali muncul bukan pada perbedaan pendapat itu sendiri, melainkan pada cara perbedaan tersebut disikapi. Perdebatan ucapan Natal kerap berubah menjadi ajang saling menyalahkan, melabeli, bahkan menghakimi. Yang memilih mengucapkan dianggap kurang menjaga akidah, sementara yang memilih tidak mengucapkan dicap intoleran. Padahal, kedua sikap tersebut sama-sama berangkat dari niat baik menurut sudut pandang masing-masing. Ketika perbedaan rujukan dipahami sebagai ancaman, ruang dialog pun menyempit, dan yang tersisa hanyalah kebisingan opini.

Dalam konteks Kementerian Agama, pro dan kontra perayaan Natal bersama seharusnya dibaca dengan kacamata yang lebih dewasa. Kemenag bukan hanya rumah bagi satu agama, melainkan institusi negara yang menaungi seluruh umat beragama. Kebijakan atau praktik yang muncul di dalamnya tidak selalu identik dengan pilihan teologis personal, tetapi sering kali merupakan bentuk pelayanan publik dan simbol kehadiran negara bagi semua. Di titik ini, penting membedakan antara ranah institusional dan ranah keyakinan individu. Tidak semua yang bersifat simbolik negara harus ditarik ke wilayah hukum iman personal.

Ucapan Natal, dengan demikian, adalah pilihan etis dan keagamaan yang bersifat personal. Ia tidak layak dipaksakan, baik untuk dilakukan maupun untuk ditinggalkan. Menghormati perbedaan berarti memberi ruang bagi setiap orang untuk konsisten dengan keyakinannya tanpa harus merasa terancam oleh pilihan orang lain. Toleransi bukan berarti menyeragamkan sikap, melainkan mengelola perbedaan agar tidak berubah menjadi konflik.

Perdebatan tahunan ini seharusnya bisa menjadi cermin kedewasaan beragama. Bahwa dalam keberagaman referensi, umat beragama diajak untuk rendah hati mengakui keterbatasan sudut pandang masing-masing. Tidak semua yang berbeda harus diseragamkan, dan tidak semua yang tidak sama harus dipertentangkan. Selama perbedaan itu berangkat dari argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, maka sikap saling menghargai adalah jalan paling bijak.

Pada akhirnya, ucapan Natal bukanlah ukuran tunggal toleransi, sebagaimana tidak mengucapkannya bukan indikator pasti intoleransi. Toleransi sejati justru tampak pada kemampuan menerima kenyataan bahwa orang lain bisa sampai pada kesimpulan yang berbeda dengan referensi yang sama-sama sah menurut keyakinannya. Di sanalah kedewasaan beragama diuji, bukan pada siapa yang paling keras menyuarakan pendapat, tetapi pada siapa yang paling mampu menjaga adab dalam perbedaan.

Sungguminasa 19 Desember 2025