Ini adalah tulisan saya yang kedua dalam merespons kiprah progresif dan positif Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Tulisan pertama saya hadir ketika beliau menyambut kedatangan Paus Fransiskus, sebuah momentum monumental yang memancarkan pesan kuat bahwa Indonesia mampu berdiri sebagai rumah dialog lintas iman. Hari ini, saya kembali menuliskan apresiasi atas penghargaan detikcom Award 2025 yang diberikan kepada beliau sebagai Tokoh Kerukunan Nasional.
Apresiasi ini bukan sekadar selamat yang dituliskan secara formal, tetapi pengakuan mendalam atas perjalanan panjang seorang ulama, cendekiawan, dan negarawan yang memaknai keragaman bukan sebagai beban, melainkan sebagai rahmat yang harus dirawat dengan penuh kecintaan. Penghargaan dari detik.com hanyalah salah satu dari banyak penanda keberhasilan Prof. Nasaruddin Umar dalam menjaga harmoni kebangsaan melalui langkah-langkah yang konsisten dan terukur.
Keberhasilannya dalam merawat kerukunan nasional tidak lepas dari penguatan moderasi beragama, yang sejak awal menjadi kompas kebijakan Kementerian Agama. Moderasi beragama tidak berhenti sebagai wacana akademik atau sebaris slogan birokrasi. Di tangannya, moderasi beragama dipraktikkan sebagai gerakan budaya, gerakan yang merangkul, mendidik, dan mengajak masyarakat untuk melihat sesama bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai sesama ciptaan Tuhan yang setara dalam martabat kemanusiaan.
Selain itu, dialog lintas iman yang beliau terus dorong telah membuka ruang-ruang perjumpaan yang selama ini sering tertutup oleh prasangka sosial maupun sekat ideologis. Dalam konteks ini, Prof. Nasaruddin menampilkan sosok pemimpin agama yang tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi menghidupkannya melalui tindakan. Dia hadir dalam banyak forum lintas agama, menyatukan pandangan, dan membangun jembatan spiritual melalui bahasa kemanusiaan universal.
Salah satu kontribusi paling penting yang beliau popularisasi adalah gagasan Trilogi Kerukunan, yang mencakup kerukunan antarumat beragama, kerukunan intern umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah. Trilogi ini menjadi fondasi kokoh bagi pembangunan kehidupan sosial yang harmonis, karena memandang kerukunan sebagai ekosistem yang harus dijaga dari berbagai sisi, bukan hanya satu arah.
Di luar kerangka konseptual tersebut, saya melihat bahwa Prof. Nasaruddin Umar membawa pendekatan yang jauh lebih mendalam yaitu pendekatan teosofis. Pendekatan ini memadukan kedalaman spiritual, kearifan metafisik, dan kesadaran kosmologis yang menghadirkan nuansa baru tentang apa yang disebut co-existence. Ia bukan sekadar hidup berdampingan, tetapi hidup saling menyinari. Teosofi yang beliau kembangkan tidak elitis, tidak rumit, dan tidak eksklusif. Justru sebaliknya, ia mengalir ke dalam kebijakan, program, serta gerakan sosial yang memberi dampak nyata bagi kohesi masyarakat.
Salah satu wujud nyata yang lahir dari pendekatan tersebut adalah Kurikulum Cinta, sebuah terobosan yang memberi energi baru bagi pendidikan karakter dan spiritualitas anak bangsa. Kurikulum ini menekankan bahwa cinta adalah bahasa universal yang mampu mengatasi luka sosial, prasangka, bahkan intoleransi. Dalam Kurikulum Cinta, setiap peserta didik diajak memahami bahwa keberagaman bukan ruang untuk saling menguji kekuatan, tetapi ruang untuk belajar memberi; memberi hormat, memberi ruang, dan memberi keindahan kepada orang lain.
Tak mengherankan jika detik.com Award 2025 memberikan penghargaan tertinggi kepada beliau sebagai Tokoh Kerukunan Nasional. Sebab kerukunan bukan hanya tema yang beliau suarakan, tetapi juga jejak yang beliau tinggalkan. Penghargaan ini adalah penanda bahwa di tengah zaman yang sering diwarnai konflik identitas, masih ada figur pemersatu yang menetapkan arah bangsa;arah menuju kedamaian, kesalingpahaman, dan keutuhan Indonesia.
Semoga apresiasi ini semakin menguatkan tekad kita semua untuk terus menebarkan rahmat dan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari. Kerukunan tidak lahir dari pidato, tetapi dari kesediaan hati untuk memahami dan menerima. Dan melalui keteladanan Prof. Nasaruddin Umar, kita belajar bahwa kerukunan adalah seni merangkai perbedaan menjadi harmoni.
“Kerukunan adalah cahaya. Ia tidak memaksa, tetapi menerangi. Siapa yang berjalan dengan cahaya, tidak akan tersesat.”
Sorong 28 Nopember 2025

