Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. datang di tengah gelombang kegelisahan global yang semakin deras. Dunia saat ini seperti sedang bernafas dalam kepanikan, modernitas yang melesat tanpa arah telah melahirkan alienasi spiritual, dan di sudut lain dunia, dentuman perang antara Iran dan Israel kembali mengguncang harapan akan perdamaian. Dalam suasana yang penuh ketidakpastian ini, Tahun Baru Islam seharusnya tidak sekadar menjadi penanda kalender, tetapi menjadi momen reflektif untuk mengingat kembali makna hijrah yang sesungguhnya: perubahan menuju kondisi yang lebih baik—baik secara personal, sosial, maupun global.
Modernitas, dengan segala kecanggihan teknologinya, memang menjanjikan kemudahan dan kecepatan. Namun, di sisi lain, ia seringkali menciptakan jarak antar manusia dan kekeringan makna dalam kehidupan. Banyak masyarakat, terutama generasi muda, merasa terasing di tengah kemajuan. Ketika kehidupan hanya dinilai dari produktivitas dan pencapaian materi, maka krisis eksistensi tak terelakkan. Nilai-nilai kemanusiaan, spiritualitas, dan kebersamaan mulai terkikis oleh individualisme dan hasrat instan.
Sementara itu, perang Iran-Israel menjadi simbol ketegangan geopolitik yang mengancam stabilitas kawasan dan dunia. Konflik ini tidak hanya bersifat militer, tetapi juga ideologis dan religius, menciptakan luka baru di antara bangsa-bangsa dan memperlebar jurang ketidakpercayaan antar umat manusia. Dunia seakan kehilangan kompas moralnya, suara perdamaian tertutupi oleh dentuman senjata, dan upaya diplomasi tenggelam dalam kubangan kepentingan.
Dalam konteks inilah, Tahun Baru Islam 1447 H menghadirkan momentum untuk berhenti sejenak dan bertanya, ke mana arah hijrah kita sebagai umat manusia? Apakah kita ingin terus terperangkap dalam lingkaran kekerasan dan alienasi? Ataukah kita bersedia memulai babak baru dengan membangun nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan solidaritas lintas batas?
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah bukan sekadar perpindahan geografis, tetapi transformasi sosial dan spiritual. Di Madinah, Nabi membangun masyarakat yang berlandaskan toleransi, kerja sama lintas suku, dan keadilan. Nilai-nilai inilah yang semestinya kita bawa dalam menghadapi tantangan zaman modern. Kita perlu melakukan "hijrah kultural", yaitu berpindah dari masyarakat yang terpecah dan konsumtif menuju masyarakat yang berkeadaban dan berbelas kasih.
Tahun Baru Islam harus menjadi panggilan untuk membangun kembali harapan. Harapan bahwa dunia bisa lebih damai jika manusia memilih berdialog, bukan berperang. Harapan bahwa teknologi bisa menyatukan, bukan memecah. Harapan bahwa agama bisa menjadi sumber inspirasi perdamaian, bukan alasan permusuhan. Dan harapan bahwa setiap jiwa, sekecil apapun kontribusinya, dapat menjadi cahaya dalam kegelapan zaman.
Tahun baru Islam sejatinya dijadikan sebagai tonggak perubahan. Dimulai dari dalam diri: memperbaiki niat, memperkuat empati, dan memperluas cakrawala cinta kasih. Jika setiap individu berhijrah menuju nilai-nilai kebaikan, maka masyarakat pun akan bergerak menuju kedamaian.
Sungguminasa 1 Muharram 1447 H