Agama dan Budaya dalam Dialektika Kontemporer*; Menakar Ketahanan Spiritualitas di Era Global

  • 09:53 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Di zaman ketika konten viral lebih dipercaya daripada kitab suci, di situlah agama mulai ditantang dari akarnya. Pernyataan ini bukan hiperbola, melainkan cerminan realitas bahwa otoritas keagamaan kini berada dalam tekanan hebat dari gelombang budaya populer, media digital, dan nilai-nilai global yang seringkali tidak sejalan dengan ajaran-ajaran spiritual. Budaya hari ini tidak lagi hadir sebagai pelengkap agama, tetapi dalam banyak hal menjelma sebagai kompetitor nilai, membentuk pandangan dunia masyarakat secara masif dan instan.

Fenomena ini bukan sekadar gejala sosial biasa, melainkan bagian dari perubahan mendasar yang terjadi ketika agama dan budaya saling berhadapan dalam ruang dialektika kontemporer. Di satu sisi, agama hadir sebagai warisan transendental yang menuntut ketaatan, kedalaman makna, dan ketenangan batin. Di sisi lain, budaya modern yang kini semakin dikendalikan oleh industri hiburan, media sosial, dan globalisasi, menawarkan kecepatan, sensasi, dan kebebasan berekspresi. Keduanya beradu pengaruh dalam membentuk orientasi hidup masyarakat hari ini.

Realitas ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja bagaimana generasi muda lebih tertarik mengikuti tren fashion religi di Instagram ketimbang mendalami tafsir Al-Qur’an atau kitab-kitab klasik. Mereka bisa mengenakan gamis atau hijab syar’i dengan gaya Korea, sambil tetap menari-nari mengikuti irama remix lagu-lagu pop barat yang tak jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sebuah ironi yang menunjukkan bahwa simbol keagamaan telah mengalami estetisasi yaitu berubah dari makna spiritual menjadi gaya hidup visual. Bukan berarti hal ini sepenuhnya buruk, tetapi menjadi bukti bahwa spiritualitas sedang dinegosiasikan ulang oleh selera budaya.

Contoh lainnya dapat ditemukan dalam cara dakwah disampaikan. Ustaz atau dai kini dituntut tampil menarik di depan kamera, memakai bahasa yang santai, memes yang lucu, bahkan kadang melontarkan komentar satir demi menaikkan engagement. 

Tak bisa dimungkiri bahwa dalam gempuran budaya yang begitu massif, masih ada titik-titik perlawanan dan kreativitas dari agama. Beberapa komunitas keagamaan justru menjadikan media sosial sebagai ladang dakwah baru yang produktif. Misalnya, gerakan “Ngaji Literasi” yang menggabungkan diskusi keagamaan dengan pembacaan buku-buku filsafat dan sastra, telah menarik perhatian kaum muda urban. Atau komunitas "Hijrah Squad" yang mengemas perjalanan spiritual anak muda dengan pendekatan sinematik, desain grafis keren, dan musik latar yang menyentuh. Mereka memanfaatkan budaya sebagai jembatan, bukan penghalang.

Dialektika antara agama dan budaya memang tidak melulu berbentuk konflik. Dalam banyak kasus, keduanya saling mempengaruhi dan saling bertransformasi. Agama mencoba memasuki ruang budaya agar tidak ditinggalkan, sementara budaya juga terkadang mengambil inspirasi dari nilai-nilai agama untuk memberi makna pada ekspresi kontemporer. Fenomena modest fashion kini menjadi tren global. Busana yang dulu diasosiasikan dengan konservatisme kini tampil di panggung-panggung internasional, menyandingkan nilai spiritualitas dengan estetika modern.

Meski begitu, tidak sedikit pula yang merasa resah. Banyak tokoh agama mempertanyakan keaslian spiritualitas yang muncul dalam kemasan budaya. Apakah ini hanyalah bentuk lain dari komersialisasi agama? Apakah kita sedang kehilangan substansi karena terlalu sibuk merawat tampilan? Kekhawatiran ini valid. Budaya modern yang serba cepat dan instan seringkali tidak memberi ruang pada refleksi yang mendalam, sementara agama justru menuntut kontemplasi, ketekunan, dan komitmen jangka panjang. Maka, tantangan terbesar agama hari ini bukan hanya mempertahankan eksistensinya, tetapi juga mempertahankan makna di tengah derasnya simbol dan bunyi yang menyesakkan.

Dalam konteks globalisasi, tantangan menjadi semakin kompleks. Nilai-nilai Barat yang menjunjung tinggi individualisme, relativisme, dan kebebasan ekspresi seringkali bertabrakan dengan nilai-nilai agama yang berbasis komunal, absolut, dan terikat pada norma-norma wahyu. Maka tak jarang terjadi konflik batin dalam diri individu yang hidup di antara dua dunia tersebut. Mereka mencintai agama sebagai identitas, tetapi juga terpesona oleh kebebasan budaya. 

Pergolakan ini menimbulkan berbagai bentuk spiritualitas baru, sebagian tidak terikat institusi agama, namun tetap mencari makna dan keheningan dalam kehidupan yang hiruk-pikuk.

Maka dari itu, pertanyaan besar yang harus diajukan adalah seberapa kuat spiritualitas kita bertahan dalam arus budaya global? Apakah agama masih sanggup menjadi pusat orientasi hidup, atau hanya menjadi ornamen simbolik dalam pesta besar budaya kontemporer? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menuntut kajian yang mendalam, kritis, dan interdisipliner. Diperlukan pendekatan sosiologis untuk memahami perubahan struktur masyarakat, pendekatan antropologis untuk membaca pergeseran makna simbol, dan kajian media untuk menelisik bagaimana pesan-pesan agama dikonstruksi dan dikonsumsi hari ini.

Dengan menyelami dialektika antara agama dan budaya, kita tidak hanya sedang menakar daya tahan spiritualitas, tetapi juga sedang merumuskan wajah keberagamaan masa depan apakah ia akan menjadi lebih kontekstual dan inklusif, atau justru terkikis dan tercerabut dari akarnya. Jawaban ini penting bukan hanya bagi ilmuwan, tetapi bagi semua pencari makna di zaman yang terus berubah.

Sungguminasa 4 Juli 2025