Lapar atau Mismanajemen?

  • 09:17 WITA
  • Administrator
  • Artikel

“Berbondong-bondong demi sebungkus nasi, sembako, atau zakat, lalu pulang tinggal nama. Nyawa manusia harus tumbang hanya karena sekantong beras atau sebungkus nasi"

Tragedi kemanusiaan kembali terjadi. Beberapa hari lalu, dalam pesta rakyat yang digelar pada resepsi pernikahan anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, tiga orang meregang nyawa, salah satunya anggota Polri. Pesta yang semestinya menjadi momentum sukacita justru berubah jadi duka. Ini tentu bukan kehendak sahibul hajat (Kang Dedi), ataupun mereka yang datang. Ini diluar keinginan kita semua. Hanya saja ketidakinginan atau ketidaksukaan kita itu kadang tidak disertai dengan mitigasi yang baik.

Fenomena ini bukan yang pertama. Kita sering menyaksikan kejadian serupa di setiap musim zakat, pembagian sedekah, atau aksi derma sosial dari para dermawan yang kaya harta, dan kadang kaya pencitraan. Ribuan orang datang, berdesakan, saling dorong, bahkan saling injak, demi satu paket sembako atau paket zakat. Kadang, yang pulang bukan membawa bantuan, tapi jenazah.

Pertanyaannya, apakah rakyat kita sebegitu lapar hingga nyawa pun dipertaruhkan demi sebungkus nasi atau beberapa kilo beras? Atau jangan-jangan, bukan soal lapar semata melainkan salah urus, salah niat, dan salah cara dalam mendistribusikan kebaikan?

Dalam banyak kasus, insiden ini bukan semata soal kelaparan yang ekstrem, tetapi kegagalan manajemen acara. Tidak adanya sistem antrean yang tertib, tidak ada pembagian waktu yang terstruktur, dan tak ada skenario mitigasi jika kerumunan membludak.

Begitu pula acara "bagi-bagi" yang lebih menonjolkan siapa pemberinya, bukan apa manfaatnya. Yang ingin ditonjolkan adalah kemuliaan tangan di atas, bukan keberdayaan tangan di bawah. Jika niat utama adalah membantu, maka seharusnya distribusi dilakukan dengan penuh pertimbangan, bukan lewat kerumunan yang tidak terkendali.

Rakyat yang datang kadang memang bukan yang paling lapar secara fisik, tapi paling haus akan keadilan sosial. Mereka sudah lelah dengan kesenjangan. Maka ketika ada celah untuk merasa diperhatikan, mereka rela datang berbondong-bondong, walau harus mempertaruhkan tubuh ringkihnya.

Dari sejumlah tragedi yang terjadi, saya menyimpulkan bahwa ini bukan persoalan lapar atau ambisi personal, tapi lebih kepada kesalahan manajemen dalam mendistribusikan paket sosial. Kita belum terbiasa dengan mitigasi bencana yang terorganisir. Kita hanya terbiasa dengan menyesali apa yang telah terjadi, tapi tidak melakukan sebuah pre-emtif yang dapat mengurangi resiko bencana.

Pertanyaan reflektifnya, apakah benar disebut memberi jika memberi merenggut nyawa orang lain.

Di negara kita memang banyak orang yang lapar secara fisik, tapi tidak sedikit juga orang yang lapar akan pengakuan.

Hasanuddin Airport, 21 Juli 2025