Swifting Intellectual Distracted

  • 08:00 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Prof. Qasim Mathar, di pagi hari mengirimkan tulisan di grup Whatsapp, yang berisi kritik dan refleksi yang dimulai dengan kecemasan dan kegelisahan seorang mahasiswanya atas matinya budaya akademik di ruang-ruang kampus. Betapa banyak kegiatan menulis penelitian sekarang di masa ini, terasa menjadi beban dan kewajiban struktural saja, begitu kering tanpa tulisan dan penelitian tadi ada yang mengkaji dan mendiskusikannya lebih dalam oleh kalangan masyarakat luas. Sebab, karena memang tulisan yang masuk di jurnal atau terbitan misal seperti Scopus hanya bisa dinikmati segelintir orang saja, sebab biaya aksesnya yang amat mahal. Olehnya, distribusi intelektual terganggu dan terhenti di kalangan elit intelektual saja dan mereka yang memiliki sumber daya.

Bahkan menurut saya, jika di kampus saja situasinya demikian maka apalagi di sekolah, yang notabenenya berada di level bawah; seperti sekolah dasar dan menengah yang ada saat ini. Sekolah menengah setidak-tidaknya harus mengembangkan literasi siswa dan siswi. Apalagi di kurikulum nasional dan deep-learning saat ini sedang baru saja digencarkan, untuk tidak hanya membaca materi saja, tapi juga mampu memproduksi diskusi, karya fiksi cerpen, novel, puisi, drama, pun karya non-fiksi seperti tulisan-tulisan ilmiah atas dasar menstimulasi pengembangan cara mereka berpikir kritis, terlibat aktif dalam berkarya dan belajar, dan terlibat dengan dunia nyata. 

Sehinga siswa tidak hanya belajar “apa”, tapi juga tahu dan paham “bagaimana yang dipelajari?”, dan mampu sadar “mengapa” ia belajar atas topik yang ada di hadapannya di dalam sekolah. Ini tantangan, sebab kita melompati target yang levelnya atas, di saat kebiasaan membaca saja kita masih di bawah. Tapi, kita semua harus terus terlibat mencoba dan menyusun strategi untuk menghidupkan iklim intelektual dan akademik yang pendidikan kita miliki saat ini.

Begitu banyak cara dan metode untuk itu, setidaknya juga saat ini karena melimpahnya intormasi di era teknologi dan internet membuat kita mengalami distraksi dan disrupsi. Membuka tantangan untuk adaptasi, inovasi, dan menyesuaikan dan internalisasi kebutuhan literasi akan digital dan keterampilan yang cocok dengan dunia kerja saat ini. 

Namun jika ingin berbagi, saya memiliki beberapa metode yang relevan dan barangkali bisa dikembangkan lebih lanjut untuk menghadapi dan berdialog dengan era disrupsi sekarang.

Saat masa mahasiswa dulu, awal 2014, iklim akademik setidaknya yang saya saksikan pun rasakan masih begitu hidup dan lancar penuh etos. Gairah mencipta begitu besar; entah menciptakan diskusi, berdebat, dan menulis tanpa beban. Mirip simposium yang terjadi di Yunani, dalam versi keindonesiaan.

Majalah Shautul Adab dari Fakultas Adab & Humaniora (FAH) masih terus diproduksi, cerpen dan esai kami dimuat dan dikaji. Majalah UNIVERSUM yang diterbitkan kampus juga masih sering terbit esai dan artikel kami, beberapa dosen dan mahasiswa (mahasiswa dari kalangan UKM Washilah saat itu yang terlihat semangat menerbitkan laporan juga tulisan) menghiasi budaya produksi intelektual. Dan kajian melalui shelter mini, saung, gazebo, selasar hingga di berbagai sudut kampus.

Tapi sekarang gazebo (bale-bale, untuk istilah Makassar) itu dilarang lagi dibangun tanpa penggantian fasilitas yang khas lagi nyaman untuk dijadikan pengganti tempat diskusi, atau jangan-jangan memang mahasiswa sekarang yang sudah tidak lagi bergairah diskusi dan membangun kembali iklim akademik yang sudah lama mati dan sepertinya tidak terlihat lagi hari-hari ini.

Dulu setiap kali saya selesai khatam membaca sebuah buku, senior saya (yang sekarang telah jadi PNS) selalu kami ajak bicara dan diskusi. Saya memang terbiasa saat itu membaca saja, tanpa memvalidasi dan membenturkan apa yang saya baca dengan pendapat dan argumen dari orang-orang yang lebih cakap. Bahkan baru dua atau tiga lembar buku apa saja yang kami baru membaca, kami selalu menemui dosen, senior, atau bahkan rekan sesama mahasiswa yg dianggap jago ilmunya untuk langsung diajak berdiskusi. Tentang apa saja. Dan beruntungnya, para civitas akademikanya saat itu, senior sekalipun justru amat senang dan bersemangat diajak diskusi.

Masih ingat betapa dulu fasilitas kampus II Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) yang ada di daerah Gowa perparkiran kendaraan begitu padat dan tidak rapinya motor dan mobil letaknya, namun ruang diskusi tiap sudut begitu juga sama padatnya. Hilir mudik ke sana kemari, mahasiswa dan mahasiswi menghadiri diskusi dari satu lingkaran ke lingkar diskusi lain. Entah ada yang sekadar lewat dan justru sering ikut ke dalam tengah diskusi.

Bahkan ruang diskusi itu terjadi di tempat parkir, kami semua saling duduk di atas sadel motor yang entah milik siapa, dengan jarak motor yg berdekatan sehingga kedekatan emosional dan intelektual terasa begitu hidup.

Jika tidak, saya biasanya memulai diskusi dengan memanggil senior di mana saja yang saya temui. Jika ketemu di parkir saya sapa dengan hormat untuk diajak berdiskusi tentang teori, pemikiran, ucapan, atau apa saja yang perlu saya mendapatkan pencerahan dari orang yang dianggap lebih hebat dari saya.

Diskusi itu bahkan terjadi berjam-jam, hanya dengan kami berhadap-hadapan berdua. Karena tipikal suara saya yang bervolume cukup tinggi (sebab geographical dan culture saya yang berasal dari Bima-NTB) membuat diskusi begitu alot, panas, dan menambah gairah api diskusi, bahkan berakhir menjadi perdebatan. Kalau diingat, itu sering menjadi debat sengit. Sebab, saat itu kami saling melempar argumen (bukan melempar batu atau kayu seperti dalam bentrok). Dan saya terbiasa menghafal nama penulis buku, judul buku, kemudian menyebutkan halaman buku, bahkan menghafal letak paragraf ke berapa tempat saya mengutip argumen. 

Maka saat itu, saya sudah terbiasa meresensi isi buku, artikel, dan diskusi. Setiap ada argumen yang penting, saya tulis tangan di buku catatan merek Sidu yang sederhana yang kita kenal itu. Begitu juga, jika saya menemukan ada paragrap atau kalimat yang masih kabur maknanya akan saya tulis tangan di buku catatan saya. Sebab saya tahu, otak manusia akan lebih mudah dan cepat mengingat apa yang dipelajari dan dibaca, ketika kita menulisnya kembali ke dalam media lain seperti di buku catatan atau media lain.

Sebab yang saya tahu sejak saat itu, menulis dengan tangan ilmu apa saja lebih cepat terserap dan tersimpan di otak ketimbang mengetik. 

Kesimpulan tersebut didapatkan dari penelitian di Norwegian University of Science and Technology yang terbit di jurnal Frontiers in Psychology. Seluruh syaraf yang ada di kedua tangan kita saat menulis adalah langsung memerlukan dan menghubungkan komunikasi antara motor otak, sensori, dan korteks visual.

Sebab strategi saya belajar yang demikian, menbuat saya mampu menghafal dan memahami banyak buku. Maka saat itu saya begitu sombong, saya akan mengaggap kurang penting jika ada orang berbicara dalam forum diskusi tapi tanpa menyebutkan dengan jelas asal-usul dan tanpa menguatkan argumennya dengan penelitian atau sumber dari buku atau artikel yang kredibel. Tapi benar saja, sejak beberapa waktu kemudian saya mulai memahami ucapan Umar bin Khattab, yaitu orang yang baru belajar yang berada tahap pertama (awal) akan merasa sombong terhadap ilmu yang dimilikinya. Di tahap kedua, akan menjadi tawadhu atau rendah hati, dan tahap yang berikutnya yaitu ketiga ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya di hadapan ilmu alam raya ini yang amat luas dan dalam. Maka saya sering di masa itu membenturkan pikiran atau persepsi saya dengan mengajak orang lain berdiskusi dan belajar.

Seperti yang saya sampaikan di awal tadi, saya mengajak senior saya yang saya temui di mana saja. Bahkan di tempat parkir fakultas sekalipun. Biasanya diskusi saya dimulai yang awalnya hanya saya dengan orang yang sedang diajak diskusi, bertambah orang yg mendengarkan dan ikut di dalam obrolan kami. Satu bertambah dua, dua bertambah jadi tiga, tiga hingga bahkan lebih dari tidak pernah kurang dari enam hingga sepuluh orang membentuk lingkaran.

Yang menurut saya luar biasa bahkan sebagian orang yang datang mendengarkan saya dengan senior yang sedang berdebat sengit itu, adalah orang atau mahasiswa lain yang tidak saya kenal. Dan diskusi itu sering terjadi berjam-jam. Amat serunya juga, orang-orang atau mahasiswa yang baru datang itu juga saling membantah, memberi argumen, menguatkan, mensintesiskan alur topik diskusi kami mulai itu. Dan dengan posisi kami semua masih tetap membentuk lingkaran dan tetap dalam posisi berdiri. Peristiwa itu sangat sering dilakukan. 

Jika diingat dan dipikirkan lagi, kenapa ya kami harus terus berdiri? Padahal kami bisa saja duduk atau memilih tempat lain yang dianggap nyaman untuk berdiskusi dari sudut pandang secara fasilitas. Tentu saja, itu sebab kami tidak lagi memikirkan kedua kaki kami yang capek atau pegal karena berdiri dari awal diskusi sampai akhir selesai diskusi.

Itulah betapa berharganya dan senangnya waktu itu, saya mengelukan budaya itu. Saya bersyukur tidak didistraksi oleh dumbphone, untuk menjelaskan istilah smartphone yang kita miliki di akhir-akhir ini tanpa mampu kita kendalikan intensitas penggunaannya, dan kita yang menjadi bodoh oleh juga sisi negatifnya yang membuat kehidupan kita yang jika saya bisa membuat istilah baru, yaitu mengalami swifting intellectual distracted. Yaitu kondisi tekad dan intelektual kita yang lemah untuk terus menghidupkan kegiatan dan kerja-kerja pengembangan iklim dan aktivitas akademik yang lebih baik dan maju, dan yang terpenting adalah lebih hidup serta berkesinambungan diusahakan secara maksimal.

Dan ya sebagai alumni, kami mengecam diri sendiri, dan civitas akademika yang saat ini masih terinfeksi penyakit swifting intellectual distracted, untuk kembali sadar dan bertobat agar dapat membuka lagi diskusi di ruang-ruang yang bukan hanya kelas tapi juga mendayagunakan latar digital dan fasilitas-fasilitas kampus yang tidak hanya kelihatan saja megah dan bagus itu.

Sebab kampus dan sekolah itu bukan saja tentang megah, tapi yang lebih esensial adalah terus terjadinya simposium seperti yang dicontohkan oleh para pemikir masa Yunani kuno. Tidak berhenti di situ, bahkan dialektika terus diartikulasikan dalam perdebatan dan pertemuan sosial yang dimulai dan yang dihidupkan. Bukan hanya yang dikonsepkan dan atau diawang-awangkan dalam pikiran, tapi harus dimulai kembali dari sekarang. Di mana saja, dan kapan saja, apalagi kampus pun sekolah itu seharusnya menjadi laboratorium pikiran.


Oleh:Muhammad Syarif Hidayatullah (Alumni Bahasa dan Sastra Inggris & Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute)