Antara Bencana Teologis dan Harapan Esok: Relevansi Agama di Era Ketidakpastian

  • 12:32 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pengukuhan guru besar kali ini  berkaliber internasional karena dihadiri oleh beberapa tamu mancanegara; Mesir, Singapura, dan Brunei...demikian penegasan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. H. Hamdan Juhannis, MA, Ph.D saat memberikan sambutan pada agenda pengukuhan guru besar pada Rabu 9 Juli 2025

Tulisan ini merupakan refleksi kritis atas orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Andi Aderus, Lc., MA, profesor di bidang teologi Wasathiyah dengan judul Teologi Wasathiyah; Solusi Berbangsa dan Bernegara.

Dia menyampaikan sebuah statemen yang menggugah di awal orasinya; ...Bencana teologis lebih dahsyat dari bencana ekologis (lingkungan),  sebuah tesis yang tak hanya mengejutkan, tetapi sekaligus menggugah kesadaran kita akan sumber krisis terdalam umat manusia hari ini.

Dalam pembukaan orasinya, Prof.Andi Aderus menegaskan bahwa jika bencana ekologis bersifat jangka pendek, berdampak pada alam dan lingkungan sekitar, maka bencana teologis adalah malapetaka jangka panjang, yang merusak kesadaran, meracuni nilai, dan menggerogoti jati diri umat secara perlahan namun pasti. Kerusakan ekologis bisa dipulihkan dengan teknologi dan kebijakan, tapi kerusakan teologi hanya bisa diperbaiki dengan perenungan spiritual, penyucian pemikiran, dan pembaruan nilai keagamaan.

Teologi, dalam hal ini bukan sekadar sistem keyakinan, tetapi juga energi pembentuk cara pandang, moralitas, dan relasi sosial. Ketika teologi dimanipulasi menjadi alat untuk menghakimi dan mengafirkan, maka lahirlah bencana teologis yang berwujud ekstremisme, sektarianisme, dan terorisme. Dalam titik inilah Prof. Aderus menekankan urgensi Teologi Wasathiyah yakni teologi yang moderat, seimbang, toleran, dan menjunjung keadaban bersama.

Sejarah umat Islam memberi pelajaran berharga tentang bagaimana penyimpangan teologi bisa menimbulkan kehancuran besar. Salah satu contohnya adalah munculnya paham Khawarij, sebuah sekte yang dikenal karena fanatisme keagamaannya yang ekstrem, serta kecenderungannya mengafirkan sesama Muslim yang berbeda pandangan. Pandangan takfiri mereka tidak hanya membunuh individu, tetapi juga merusak solidaritas umat, membelah masyarakat, dan menciptakan ketakutan yang meluas.

Paham Khawarij tidak mati di masa lalu. Ia terus bereinkarnasi dalam berbagai bentuk di masa kini baik dalam bentuk gerakan radikal bersenjata, kelompok fundamentalis yang mengklaim monopoli kebenaran, maupun individu yang menyebarkan kebencian dan penghakiman melalui mimbar dan media sosial. Semua ini berakar dari bencana teologi, keyakinan yang tereduksi menjadi amarah, agama yang kehilangan cinta, dan kebenaran yang dijadikan senjata.

Di sinilah pentingnya Teologi Wasathiyah sebagai antitesis dari teologi kebencian. Wasathiyah bukan hanya jalan tengah dalam pemikiran, melainkan sikap spiritual yang menolak ekstremisme dan fanatisme, sekaligus merawat keseimbangan antara iman, akal, dan kemanusiaan. Ia adalah teologi yang tidak hanya menyelamatkan akidah, tetapi juga menyelamatkan peradaban.

Prof. Andi Aderus menegaskan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, umat terbaik, dengan syarat ekonomi harus kuat, politik harus adil, sains harus maju, dan teknologi harus progresif. Artinya, kemuliaan umat tidak cukup hanya dengan klaim teologis, tapi harus disertai kontribusi nyata dalam peradaban dunia. Agama bukan hanya untuk menegaskan identitas, tetapi juga menjadi sumber solusi atas krisis kemanusiaan.

Di tengah era ketidakpastian, dengan krisis global, konflik ideologis, dan ketegangan antar-agama, agama harus hadir sebagai pelita, bukan sebagai bahan bakar kebencian. Harapan masa depan umat manusia sangat bergantung pada kemampuan kita mengembalikan agama kepada misi aslinya: membawa rahmat, bukan laknat; menumbuhkan cinta, bukan caci-maki.

Solusinya bukanlah penyeragaman, tapi pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan. Itulah jalan wasathiyah, jalan tengah, yang mengedepankan dialog, bukan dogma; hikmah, bukan ego.

Prof. Andi Aderus menutup orasinya dengan memberi harapan baru bahwa selama masih ada ruang untuk tafsir yang sehat, diskusi yang terbuka, dan pemimpin-pemimpin spiritual yang mencerahkan, bencana teologis bisa diubah menjadi momentum transformasi. Dunia tidak sedang kekurangan orang beragama, tapi kekurangan orang yang menghadirkan agama dengan akhlak, kasih sayang, dan kebijaksanaan.

Samata, 11 Juli 2025