Tauhid adalah fondasi paling dasar dan utama dalam Islam. Ia bukan sekadar ajaran teologis, melainkan napas dalam kehidupan seorang Muslim. Kalimat La ilaha illallah bukan hanya rangkaian kata yang dihafal sejak kecil, tetapi sumpah suci bahwa tiada tuhan yang layak disembah, dicintai, dan diandalkan kecuali Allah semata. Dalam kalimat itu, terkandung penolakan terhadap segala bentuk ketuhanan palsu—baik berupa berhala fisik maupun berhala batin seperti harta, kekuasaan, status sosial, bahkan keinginan diri sendiri.
Tauhid adalah bentuk tertinggi dari cinta yang jujur—cinta yang tidak bercabang dan tidak menyimpan syarat tersembunyi. Ia menuntut penyerahan total, bukan hanya kepada kehendak Allah, tetapi juga kepada keagungan-Nya yang melampaui logika manusia. Maka tak heran jika La ilaha illallah menjadi syarat pertama dalam keislaman seseorang. Ia adalah titik mula perjalanan spiritual dan kompas dalam setiap keputusan hidup. Namun, tauhid bukan sekadar pengakuan di mulut, melainkan harus terbukti dalam tindakan. Di sinilah komitmen cinta kepada Allah diuji.
Komitmen cinta adalah bentuk cinta yang tidak goyah, cinta yang tetap kokoh meski diterpa badai ujian. Cinta kepada Allah bukanlah cinta manis yang cukup diungkap lewat syair atau ritual kosong, melainkan cinta yang nyata—yang sanggup mengorbankan apa pun demi-Nya. Kita mengenal banyak kisah dalam sejarah Islam tentang cinta semacam ini, tapi yang paling agung dan menggetarkan hati adalah kisah Nabi Ibrahim AS.
Ibrahim disebut sebagai bapak tauhid karena ia menunjukkan cinta kepada Allah dalam bentuk yang paling tulus dan ekstrem. Dalam perjalanan hidupnya, ia meninggalkan ayah dan kaumnya demi keyakinannya, merobohkan berhala-berhala yang diagungkan manusia, hingga dibakar hidup-hidup karena mempertahankan kebenaran. Namun ujian terberatnya bukan saat ia menantang penguasa, melainkan ketika ia diuji untuk mengorbankan anak yang sangat ia cintai: Ismail.
Bayangkan, setelah sekian lama menanti kehadiran seorang anak, Allah memerintahkannya untuk menyembelih anak itu. Sebuah perintah yang tidak hanya mengoyak perasaan seorang ayah, tetapi juga menguji sejauh mana komitmen cinta Ibrahim kepada Allah. Dan Ibrahim memilih untuk taat. Ia bersiap menyembelih Ismail tanpa ragu, karena ia tahu bahwa cinta kepada Allah harus berada di atas cinta kepada anak, harta, bahkan nyawa sendiri. Ketika Allah melihat keikhlasan itu, sembelihan itu pun diganti dengan seekor domba, dan sejak itulah kurban menjadi syariat tahunan umat Islam.
Kisah ini bukan dongeng, bukan legenda kosong. Ia adalah pelajaran besar bagi kita, bahwa cinta kepada Allah harus dibuktikan dengan pengorbanan. Jika cinta kepada manusia saja ditunjukkan lewat hadiah, perhatian, dan kesetiaan, apalagi cinta kepada Allah—Zat yang menciptakan kita, memberi hidup, dan menyiapkan surga.
Dalam konteks modern, ujian cinta kepada Allah tidak selalu datang dalam bentuk perintah menyembelih anak. Namun setiap hari, kita diuji dengan bentuk-bentuk pengorbanan kecil: ketika kita memilih jujur meski itu merugikan secara materi, ketika kita menyisihkan waktu untuk salat di tengah kesibukan, ketika kita menahan amarah padahal bisa membalas, ketika kita rela membantu orang lain dengan harta yang sebenarnya kita butuhkan.
Salah satu wujud nyata komitmen cinta kepada Allah di masa kini adalah ibadah kurban. Allah tidak meminta kita untuk menyerahkan nyawa, tapi hanya meminta kita untuk berbagi sebagian harta—yang sebenarnya juga milik-Nya—demi menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim dan menyatakan cinta kita secara nyata. Berkurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tetapi menyembelih ego, menyisihkan keserakahan, dan melatih keikhlasan.
Terkadang, manusia begitu sayang kepada hartanya. Padahal, cinta sejati kepada Allah mengharuskan kita untuk tak terikat pada apa pun selain Dia. Kurban adalah latihan tahunan untuk melepas keterikatan itu, untuk membuktikan bahwa kita sanggup berbagi, bahwa cinta kita kepada Allah lebih besar daripada cinta kita pada benda-benda duniawi. Kurban bukan beban, melainkan kesempatan emas untuk menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari keturunan Ibrahim—mereka yang siap berkorban demi cinta kepada Sang Pencipta.
Maka saat Idul Adha tiba, jangan lihat harga kambing atau sapi sebagai angka semata. Lihatlah itu sebagai pengukur cinta kita. Karena Allah tidak butuh daging atau darah, tapi Dia melihat keikhlasan hati. Kurban bukan tentang jumlah, tapi tentang komitmen. Bukan tentang besar atau kecilnya hewan, tapi besar kecilnya cinta yang kita tanamkan dalam pengorbanan itu.
Mari kita jadikan tauhid bukan sekadar slogan, tapi komitmen cinta yang hidup dalam setiap amal. Dan mari kita jadikan kurban sebagai simbol bahwa kita masih mencintai Allah, lebih dari dunia dan seisinya.
Sungguminasa 26 Mei 2025