Belum berakhir ramainya film Walid yang menggambarkan bagaimana agama bisa dijadikan topeng mengelabui masyarakat, tadi malam media televisi merilis berita seorang "ustadz" melakukan pelecehan seksual kepada anggota jemaahnya. Tentu saja berita ini heboh menyusul berita-berita sebelumnya dengan kejadian yang hampir saya.
Saya tertegun sejenak kenapa hal semacam ini dilakukan oleh orang yang disebut ustadz, ataukah penyebutan itu mestinya ditiadakan karena status otoritas keilmuannya jauh dari kualitas ustadz sesungguhnya.
Dalam konteks keislaman di Indonesia, istilah "ustadz" memang memiliki tempat yang istimewa. Ia bukan sekadar gelar, melainkan simbol kepercayaan, teladan, dan otoritas moral. Ustadz adalah mereka yang digugu lan ditiru—didengar nasehatnya, diteladani akhlaknya. Sayangnya, istilah ini mengalami pergeseran makna yang cukup mencemaskan sebagai efek dari generalisasi sebuah kesalahan.
Terdapat sejumlah kasus amoral yang mengatasnamakan sosok "ustadz" mencuat ke permukaan: pelecehan seksual, penipuan berkedok pengobatan, hingga praktik menyimpang yang dibungkus dengan jubah agama. Mirisnya, ketika ditelusuri, ternyata pelaku hanyalah sebatas bisa mengajar mengaji sebagai kegiatan sampingan, atau dukun yang menyelipkan unsur pengajian agar terlihat religius. Di sisi lain, ada pula padepokan-padepokan dengan praktik ritual tak jelas yang menyematkan "ustadz" kepada tokoh sentralnya. Semua ini menyebabkan kebingungan publik dan mencoreng marwah para pendakwah sejati.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebutan “ustadz” telah menjadi label bebas tanpa standar yang jelas. Siapa saja yang bisa membaca Al-Qur'an atau mengutip satu-dua ayat, lalu mengenakan baju koko dan peci, bisa saja langsung disebut ustadz oleh lingkungannya. Tak ada proses verifikasi keilmuan, akhlak, atau sanad keilmuan yang diikuti. Ini menjadi celah yang rawan disalahgunakan.
Maka, sudah saatnya kita melakukan redefinisi terhadap sebutan ustadz. Redefinisi ini bukan semata soal gelar, tapi demi menjaga kemuliaan dakwah, kehormatan para ulama, dan keselamatan umat dari tokoh-tokoh agama gadungan. Ustadz semestinya disematkan kepada mereka yang memang memiliki kapasitas keilmuan yang teruji, memiliki akhlak yang terpuji, dan memiliki legitimasi dari komunitas atau lembaga kredibel.
Dengan redefinisi ini, diharapkan masyarakat tidak lagi gampang melabeli seseorang sebagai ustadz hanya karena bisa memimpin tahlilan atau pandai berbicara agama. Di saat yang sama, para pendakwah yang benar-benar tulus dan kompeten akan terlindungi dari dampak degradasi makna yang merugikan.
Sungguminasa 16 Mei 2025