Tidak berselang lama setelah kasusnya viral di media social, Gus Miftah secara resmi mengundurkan diri dari jabatan sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Keputusan mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden disampaikan Gus Miftah dalam konferensi pers di Pondok Pesantren Ora Aji di Dusun Tundan, Purwomartani, Kalasan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (6/12/2024).
Keputusan mundur ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab moral dan sosial terhadap masyarakat dan negara. Seorang pemimpin memang tidak sekadar duduk dan memimpin sebuah komunitas atau institusi, tetapi juga berani menghadapi konsekuensi dari sebuah keputusan yang diambil,.
*Tradisi Jepang*
Bagi bangsa Jepang, tradisi mundur dari jabatan memiliki akar yang dalam dalam budaya kehormatan (honor culture) dan nilai-nilai tanggung jawab sosial. Konsep ini sering dikaitkan dengan *gaman* (ketahanan) dan budaya malu yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan diri dan komunitas. Ketika seorang pemimpin gagal memenuhi harapan atau terlibat dalam kontroversi, mundur dianggap sebagai cara untuk menunjukkan rasa tanggung jawab dan mengembalikan kepercayaan publik. Bagi mereka, mundur adalah sebuah kehormatan, baik di mata yang bersangkutan juga di masyarakat. Tradisi mundur dari jabatan ini tidak hanya mencerminkan rasa tanggung jawab pribadi tetapi juga tanggung jawab kolektif. Dalam masyarakat Jepang, individu menjadi bagian integral dari kelompok. Oleh karena itu, kegagalan seorang pemimpin dianggap mencoreng reputasi institusi atau komunitas yang diwakilinya. Dengan mundur, pemimpin tersebut menunjukkan bahwa ia menghormati norma sosial dan berupaya meminimalkan dampak buruk bagi institusi atau masyarakat yang lebih luas.
Yukio Hatoyama, Perdana Menteri Jepang pada tahun 2009-2010, mundur setelah gagal memenuhi janjinya untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa. Janji ini menjadi salah satu pilar kampanye politiknya. Ketika ia tidak mampu mewujudkannya, Hatoyama memilih untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab. Naoto Kan Perdana Menteri pengganti Yukio Hatoyama juga mengundurkan diri setalah merasa gagal mengtasi dampak sunami. Kita tahu bahwa Jepang diterjekang sunami dahsyat pada 2011 menelan puluhan ribu jiwa yang melayang. Saat itu perdana menteri meminta waktu enam bulan untuk memperbaiki infrastruktur termasuk perbaikan instalasi pembangkit listrik. Setelah 6 bulan, hampir semua fasilitas dibenahi. Pujian internasional ditujukan kepadanya. Tetapi terdapat sebuah wilayah (Fukushima) yang mengalami masalah listrik akibat kerusakan reaktor nuklir. Di wilayah ini sering terjadi pemadaman bergilir. Merasa gagal, Perdana menteri pun menyatakan mundur dari jabatan.
Tradisi ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana seorang pemimpin dapat menunjukkan tanggung jawab moral melalui tindakan, bukan hanya kata-kata. Dalam konteks kepemimpinan global, tradisi ini menjadi teladan tentang bagaimana integritas, transparansi, dan keberanian menghadapi konsekuensi harus menjadi prinsip dasar seorang pemimpin. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengunduran diri bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan moral untuk mengakui kesalahan dan memprioritaskan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi.
Kemunduran Gus Miftah sebagai salah satu tokoh publik yang dikenal luas di Indonesia juga dapat dilihat dari sudut pandang budaya tanggung jawab sosial dan moral, yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan dengan tradisi Jepang. Walaupun konteks budaya dan agama yang melingkupi Gus Miftah berbeda dengan tradisi Jepang, nilai-nilai integritas, penghormatan kepada masyarakat, dan pengakuan atas tanggung jawab merupakan benang merah yang menghubungkan kedua fenomena tersebut.
Kasus yang terjadi antara Gus Miftah dan Bapak Sunhaji merupakan kerukunan kehidupan yang telah Allah desain sedemikian rupa. Keduanya mendapatkan pendidikan uang terba