Kehidupan sering kali mempertemukan manusia dengan berbagai peristiwa yang tak terduga. Dalam perspektif agama, peristiwa-peristiwa ini dipandang sebagai bagian dari "skenario Tuhan" yang mengandung hikmah tersembunyi bagi siapa pun yang mampu mengambil pelajaran.
Salah satu kasus menarik baru-baru ini terjadi adalah kontroversi seputar narasi "goblok" yang dilontarkan oleh Gus Miftah, seorang ulama dan tokoh publik kepada Bapak Sunhaji, seorang pedagang es keliling. Sontak saja, peristiwa ini ini menjadi viral di media sosial, dan menuai berbagai komentar nitizen. Empati pun berdatangan kepadanya. Ada yang menjanjikannya umrah bersama istri di awal Ramadhan, ada yang langsung memberi uang cash Rp. 100.000.000,-, ada pula yang memberinya motor matic dan masih banyak pemberian masyarakat kepada Bapak Sunhaji sebagai bentuk empati kepadanya.
Bapak Sunhaji mendapatkan berkah dari sebuah peristiwa yang sama sekali tidak pernah dipikirkan apalagi direncanakan. Seandainya, ujaran “goblok” itu dilontarkan oleh orang biasa, maka bapak Sunhaji tidak akan sepopuler sekarang ini. Banyak orang yang ingin viral di media sosial, tetapi tidak pernah terwujud, sebaliknya, Bapak Sunhaji yang tidak pernah memikirkan tentang keviralannya, justru diangkat Tuhan derajatnya melalui ucapan seorang Gus Miftah. Bapak Sunhaji hanyalah sosok sederhana. Orang miskin yang hidup secukupnya. Menurut penuturan tetangganya, dia suka membantu orang lain, sering kali juga dia azan di masjid dan senang ikut pengajian sambil menjajakan es dan air mineral di area pengajian
*Perspektif Komunikasi Publik*
Bagi masyarakat umum, ujaran seperti yang dilontarkan oleh Gus Miftah memang tidak wajar, mengatributkan sebuah kondisi negatif kepada seseorang yang tentu bisa berdampak buruk kepada kejiwaan. Itu sebabnyak nitizen dari empat penjuru mata angin melayangkan protes keras terhadap Gus Miftah melalui media sosial, bahkan ada petisi yang meminta agar Presiden Prabowo mencopot jabatannya.
Namun di sisi lain, dalam telaah komunikasi publik, percakapan atau diksi yang disampaikan seseorang kadang memiliki makna yang berbeda dari apa yang dipahami orang lain. Tidak semua orang dapat memahami sebuah diksi apalagi dalam frame tertenty secara substantif. Misalnya pepatah arab berbunyi; Bul al-zam-zam, fatu’raf (Kencingilah air zam-zam, maka engkau akan terkenal), bukan bermakna bahwa pepatah ini menyuruh orang untuk kencing di sumur zam-zam, justeru kalimat ini seseungguhnya adalah larangan keras untuk mengencingi air zam-zam. Begitu pula ketika seorang ayah yang menimang bayinya dengan penuh kasih saya, tiba-tiba sang ayah dengan begitu gemas berkata…eee cantiknya, putih, bersih…anak siapa? Narasi ini seakan menanyakan siapa yang punya anak cantik, bersih dan putih? Tapi bagi orang yang paham, dia akan tahu apa makna sesungguhnya.
Dalam ilmu komunikasi, terdapat pula sebuah ujaran negatif yang bermakna kearaban, bukan sebagai permusuhan. Ketika seseorang sangat takjub dengan sahabatnya yang memiliki presitasi luar biasa, dia berkata….Gila kamu!!!! Apakah narasi "Gila Kamu" dikategorikan penghinaan atau sebuah ketakjuban. Saya kira di sejumlah daerah, terdapat kearifan lokal yang masing-masing dituturkan dalam kalimat negatif tetapi bisa bermakna positif
Terlepas apakah ujaran yang disampaikan oleh Gus Miftah sebuah penghinaan, kelakar atau justeru sebuah keakraban, yang jelas terdapat hikmah besar dari peristiwa ini. Bapak Sunhaji mendadak viral dan mendapatkan banyak empati masyarakat. Dalam perspektif sufistik, kasus ini dapat dilihat sebagai bagian dari "skenario Tuhan" yang mengandung pelajaran mendalam, baik bagi Gus Miftah, Bapak Sunhaji, maupun masyarakat secara umum. Bagi Bapak Sunhaji, peristiwa ini membuktikan bahwa Tuhan memiliki cara tersendiri untuk mengangkat derajat hamba-Nya. Kesabarannya menghadapi situasi ini menjadi teladan bahwa ketulusan dan kerendahan hati dapat menarik simpati dan kebaikan dari banyak pihak. Dalam tasawuf, ini adalah manifestasi dari sifat tawakal dan sabar yang membawa keberkahan.
Kasus Gus Miftah dan Bapak Sunhaji mengingatkan kita pada pentingnya menjaga keseimbangan antara lisan, hati, dan perbuatan. Dalam kehidupan, sering kali kita dihadapkan pada skenario Tuhan yang menguji karakter dan akhlak kita. Apa yang terjadi antara Gus Miftah dan Bapak Sunhaji adalah sebuah pelajaran berharga tentang arti kesabaran, kerendahan hati, dan pentingnya menjaga tutur kata.
Seperti yang diajarkan dalam tasawuf, setiap peristiwa adalah tanda (ayat) yang mengarahkan manusia untuk mengenali kebesaran Tuhan. Dalam hal ini, ujaran kontroversial yang sempat menimbulkan keresahan ternyata membawa hikmah besar, baik bagi individu yang terlibat maupun masyarakat luas.
Mari belajar dari "skenario Tuhan" ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dengan selalu menjaga lisan, memperbanyak empati, dan memanfaatkan setiap peristiwa sebagai ladang untuk meningkatkan kualitas diri
Sungguminasa 7 Desember 2024