Saat
akan ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional 22 Oktober, saya membayangkan
bahwa momen itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi seluruh santri di
Indonesia. Sebut sajalah Hari Santri Nasional adalah hari raya santri, hari
kemenangan santri, hari senang-senang dan happy nya santri. Pokoknya
pada hari itu ya santri harus berbahagia dan dibahagiakan. Sebagaimana
Rasulullah menyatakan jangan ada umatnya yang tidak berbahagia di hari raya
Idul Fitri, maka negara mestinya memastikan jangan ada satu santri pun yang
tidak berbahagia pada Hari Santri.
Saya membayangkan saat itu, pada setiap Hari Santri
seperti ini, santri-santri dibebaskan dari beban tugas belajar,
pesantren-pesantren diliburkan dari proses belajar-mengajar, santri dibayarkan
makan enak di restoran ternama, makan kambing guling, sekedar melepaskan
kejenuhan tenggorokan mereka. Santri yang setiap hari dan malam duduk
melekukkan kaki, bersabar menahan pegalnya punggung dan kesemutannya kaki,
bersimpuh di hadapan kiai sambil memelototi baris-baris kecil kitab kuning.
Mereka butuh kesempatan untuk merefresh raga dan jiwa mereka dari kepenatan dan
menikmati suasana happy dan fun,
meski sehari saja.
Jika tidak demikian halnya, lantas untuk apa dan untuk
siapa Hari Santri itu diadakan dan diperingati di mana-mana?
Adanya Hari Santri, dalam pandangan penulis, bukanlah
ditujukan untuk men’santri’kan semua orang seketika. Santri dan pesantren telah
ada dan eksis jauh sebelum adanya Republik Indonesia ini. Sejak saat itu hingga
sekarang, santri bisa menjadi apapun dan siapapun, tetapi tidak siapapun bisa serta-merta
menjadi santri. Hari Santri diperingati pada hakikatnya bertujuan pada dua hal.
Pertama, negara ingin menegaskan bahwa santri dan pesantren memiliki
peran besar dan penting pada berdirinya NKRI, serta berkontribusi tak sedikit
pada perjuangan mempertahankan sekaligus mengisi kemerdekan. Maka pesantren
tidak semestinya dipandang sebelah mata atau dianaktirikan, diperlakukan tidak
sebanding dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Jika anggaran pendidikan,
katanya, berkisar 20 persen dari keseluruhan APBN, maka porsi untuk pesantren
dan madrasah semestinya proporsional. Nilai dari Hari Santri memang tidak
murah.
Kedua,
Hari Santri memberi makna lebih dalam, lebih dari sekedar kegiatan apel, kirab,
Fun Run 5K, seminar, zikiran dan sebagainya. Negara menginginkan nilai-nilai
ke-Santri-an mengejawantah dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Pesantren telah teruji sebagai lembaga pendidikan yang diandalkan untuk
mencetak generasi yang, tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi bermoral
baik dan memiliki kemandirian hidup, yang sulit dibentuk di level pendidikan manapun.
Jadi yang diharapkan bukan hanya berlagak atau berpenampilan santri, tetapi
yang lebih utama dan substansial adalah bermoral dan berbudaya santri. Salah
satu budaya santri Nusantara adalah bersarung atau sarungan. Sarung
adalah busana khas santri Nusantara. Meski ilmu dan keislamannya berbasis pada
literasi kitab Arab, tetapi mereka tidak menjadikan gamis Arab sebagai busana
khas santri.
Ada beberapa nilai kultural di balik sarung santri
yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: 1) Ke-tawadhu’-an.
Bersarung atau sarungan menampilkan kebersahajaan, kesederhanaan dan
ketawadhuan, jauh dari kesan angkuh dan kesombongan. Kecuali jika sarungnya
diangkat di tengah betis dan mengklaim dirinya lebih sunnah dari muslim lain. 2)
Ke-praktis-an yang menyeluruh (overall practicality). Sarung, bagi
santri, adalah segalanya. Belajar pakai sarung, beribadah pakai sarung,
ngumpul ngopi pakai sarung, tidur kedinginan atau banyak nyamuk pakai
sarung, mandi pakai sarung, main bola pakai sarung, menangkap ikan di sungai
pakai sarung dan bahkan berantem pun pakai sarung. Sarungan mengajarkan
kita bagaimana hidup praktis. Hidup bersarung adalah hidup dengan apa adanya
dan mensyukuri apa adanya. Jangan lihat sarungnya, tetapi apa di balik sarung
itu. Kata orang “tidak usah neko-neko kalo tidak sanggup.” 3) Sarungan
mengandung nilai kemudahan dan memudahkan. Beda dengan celana, apalagi jeans,
sarung mudah pakainya mudah melepasnya dan memudahkan pemakainya dalam segala
kondisi dan pekerjaan. Pasangan pengatin baru pun mengakui betapa bernilainya
sarung dalam memudahkan aktivitas mereka. Kemudahan bersarung dalam budaya
santri memberi makna bahwa sesuatu urusan jika dasarnya mudah jangan
dipersulit, dan jika sulit maka mudahkanlah. Jangan sebaliknya. Selamat Hari
Santri Nasional 2024.