ADA APA DI BALIK SARUNG SANTRI? (Mempertanyakan Nilai Peringatan Hari Santri)

  • 07:04 WITA
  • Administrator
  • Artikel

          Saat akan ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional 22 Oktober, saya membayangkan bahwa momen itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi seluruh santri di Indonesia. Sebut sajalah Hari Santri Nasional adalah hari raya santri, hari kemenangan santri, hari senang-senang dan happy nya santri. Pokoknya pada hari itu ya santri harus berbahagia dan dibahagiakan. Sebagaimana Rasulullah menyatakan jangan ada umatnya yang tidak berbahagia di hari raya Idul Fitri, maka negara mestinya memastikan jangan ada satu santri pun yang tidak berbahagia pada Hari Santri.

Saya membayangkan saat itu, pada setiap Hari Santri seperti ini, santri-santri dibebaskan dari beban tugas belajar, pesantren-pesantren diliburkan dari proses belajar-mengajar, santri dibayarkan makan enak di restoran ternama, makan kambing guling, sekedar melepaskan kejenuhan tenggorokan mereka. Santri yang setiap hari dan malam duduk melekukkan kaki, bersabar menahan pegalnya punggung dan kesemutannya kaki, bersimpuh di hadapan kiai sambil memelototi baris-baris kecil kitab kuning. Mereka butuh kesempatan untuk merefresh raga dan jiwa mereka dari kepenatan dan menikmati  suasana happy dan fun, meski sehari saja.

Jika tidak demikian halnya, lantas untuk apa dan untuk siapa Hari Santri itu diadakan dan diperingati di mana-mana?

Adanya Hari Santri, dalam pandangan penulis, bukanlah ditujukan untuk men’santri’kan semua orang seketika. Santri dan pesantren telah ada dan eksis jauh sebelum adanya Republik Indonesia ini. Sejak saat itu hingga sekarang, santri bisa menjadi apapun dan siapapun, tetapi tidak siapapun bisa serta-merta menjadi santri. Hari Santri diperingati pada hakikatnya bertujuan pada dua hal. Pertama, negara ingin menegaskan bahwa santri dan pesantren memiliki peran besar dan penting pada berdirinya NKRI, serta berkontribusi tak sedikit pada perjuangan mempertahankan sekaligus mengisi kemerdekan. Maka pesantren tidak semestinya dipandang sebelah mata atau dianaktirikan, diperlakukan tidak sebanding dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Jika anggaran pendidikan, katanya, berkisar 20 persen dari keseluruhan APBN, maka porsi untuk pesantren dan madrasah semestinya proporsional. Nilai dari Hari Santri memang tidak murah.

Kedua, Hari Santri memberi makna lebih dalam, lebih dari sekedar kegiatan apel, kirab, Fun Run 5K, seminar, zikiran dan sebagainya. Negara menginginkan nilai-nilai ke-Santri-an mengejawantah dan mewarnai sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Pesantren telah teruji sebagai lembaga pendidikan yang diandalkan untuk mencetak generasi yang, tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi bermoral baik dan memiliki kemandirian hidup, yang sulit dibentuk di level pendidikan manapun. Jadi yang diharapkan bukan hanya berlagak atau berpenampilan santri, tetapi yang lebih utama dan substansial adalah bermoral dan berbudaya santri. Salah satu budaya santri Nusantara adalah bersarung atau sarungan. Sarung adalah busana khas santri Nusantara. Meski ilmu dan keislamannya berbasis pada literasi kitab Arab, tetapi mereka tidak menjadikan gamis Arab sebagai busana khas santri.

Ada beberapa nilai kultural di balik sarung santri yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu: 1) Ke-tawadhu’-an. Bersarung atau sarungan menampilkan kebersahajaan, kesederhanaan dan ketawadhuan, jauh dari kesan angkuh dan kesombongan. Kecuali jika sarungnya diangkat di tengah betis dan mengklaim dirinya lebih sunnah dari muslim lain. 2) Ke-praktis-an yang menyeluruh (overall practicality). Sarung, bagi santri, adalah segalanya. Belajar pakai sarung, beribadah pakai sarung, ngumpul ngopi pakai sarung, tidur kedinginan atau banyak nyamuk pakai sarung, mandi pakai sarung, main bola pakai sarung, menangkap ikan di sungai pakai sarung dan bahkan berantem pun pakai sarung. Sarungan mengajarkan kita bagaimana hidup praktis. Hidup bersarung adalah hidup dengan apa adanya dan mensyukuri apa adanya. Jangan lihat sarungnya, tetapi apa di balik sarung itu. Kata orang “tidak usah neko-neko kalo tidak sanggup.” 3) Sarungan mengandung nilai kemudahan dan memudahkan. Beda dengan celana, apalagi jeans, sarung mudah pakainya mudah melepasnya dan memudahkan pemakainya dalam segala kondisi dan pekerjaan. Pasangan pengatin baru pun mengakui betapa bernilainya sarung dalam memudahkan aktivitas mereka. Kemudahan bersarung dalam budaya santri memberi makna bahwa sesuatu urusan jika dasarnya mudah jangan dipersulit, dan jika sulit maka mudahkanlah. Jangan sebaliknya. Selamat Hari Santri Nasional 2024.