Diskursus tentang perempuan agaknya tidak pernah berakhir. Masalah perempuan telah muncul sebagai masalah yang sangat penting di seluruh dunia di segala sektor kehidupan. Selama berabad-abad hukum alam telah menetapkan bahwa perempuan harus berada di bawah dominasi dan bayang-bayang kaum laki-laki demi alasan kelancaran dan kelestarian kehidupan keluarga.
Penggunaan term ”melayani (untuk istri) dan mengayomi (untuk suami)” menunjukkan persepsi kultural masyarakat tentang relasi kuasa, posisi dan fungsi kedua jenis kelamin berbeda. Kedua istilah di atas tidak berhenti dalam pembedaan fungsi tetapi juga menggambarkan kesadaran sekaligus pengakuan tentang posisi yang tidak setara satu dengan lainnya (Djohan Effendi; viii)
Konstruksi budaya (baca;patriarki) yang menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki diperkuat dengan sejumlah bias teologis yang dikembangkan oleh para ulama yang pernah menulis sejumlah kitab klasik yang oleh komunitas pesantren biasa disebut ”Kitab Kuning”. Kitab dengan lembaran kekuning-keningan ini berisi sejumlah penafsiran dan penjabaran ajaran Islam dengan pola pikir yang terformat sesuai dengan zamannya.
Menurut Masdar F. Mas’udi, sejumlah kitab kuning memandang perempuan sebagai makhluk yang hanya separo harga dari laki-laki. Hal ini tampak dalam sejumlah ketentuan yang dimuat di dalam fikih antara lain;
a) Dalam ajaran Islam, setiap orang tua dianjurkan menyembelih hewan aqiqah untuk anaknya yang baru dilahirkan. Bagi anak laki-laki minimal dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor kambing.
b) Seperti ketika baru lahir, perempuan dihargai separo harga laki-laki, demikian pula ketika mati terbunuh. Dalam fikih, apabila nyawa seseorang terbunuh, keluarganya berhak menuntut ganti rugi terhadap si pembunuh dan atau keluarganya. Ganti rugi ini disebut diyat. Untuk nyawa seorang laki-laki diyat-nya mencapai 100 ekor unta, sedangkan untuk nyawa seorang perempuan hanya 50 ekor unta saja.
c) Dalam hal kesaksian. Harga kesaksian dua orang perempuan sederajat dengan kesaksian satu orang laki-laki. Terdapat asumsi bahwa umumnya perempuan ketika itu tidak terbiasa berurusan dengan persoalan orang lain di luar rumah tangganya, sehingga mudah lupa.
d) Dalam hal pembagian warisan, bagian perempuan adalah separo bagi laki-laki. Alasannya laki-laki memiliki dan memikul tanggungjawab yang lebih besar dari perempuan. (Masdar F. Masudi;157)
Karena harganya hanya separo dari kaum laki-laki, maka dalam kehidupan masyarakat, perempuan dinilai tidak pada tempatnya mengambil tanggungjawab kepemimpinan. Hadis Nabi yang berbunyi ”tidak beruntung suatu kaum jika menjadikan perempuan sebagai pemimpin” pun dijadikan landasan teologis untuk menghalangi perempuan menjadi pemimpin. Menurut Ashgar Ali, hadis ini berstatus ahad, karena diriwayatkan hanya oleh segelintir sahabat. Menurutnya, hadis ahad tidak mengikat dan tidak perlu dijadikan alasan (hujjah) dan landasan tindakan.
Maulana Umar Ahmad Usmani menunjukkan bahwa hadis ini tidak muncul sebelum perang unta (Jamal) yang dipimpin oleh Aisyah (istri Nabi) sebagai panglima perang. Abu Bakra yang meriwayatkan hadis ini baru mengingatnya setelah perang mulai berkecamuk dan Aisyah dianggap panglima perang yang melawan Khalifah (Ali r.a). Bahwa Abu Bakra tidak mengingatnya sebelumnya, menurut Ashgar Ali menunjukkan bukti kuat bahwa hadis ini sengaja dipalsukan dalam konteks perang tersebut. (Ashgar Ali; 108)
Sejumlah stereotype terhadap perempuan yang terdapat di dalam kitab kuning menurut Masdar disebabkan hampir semua kitab tersebut ditulis oleh laki-laki, sehingga prasangka dan kepentingan laki-laki boleh jadi mewarnai pembahasannya. Seandainya pakar fikih dan tauhid yang perempuan mengembangkan kembali fikih baru dan doktrin-doktrin keimanan, berdasarkan nash yang sama, boleh jadi content-nya berbeda dengan teks yang berkembang sekarang ini (Masdar F. Masudi; 168)
Fatimah Mernissi, tokoh jender dari Maroko mencoba mengeksplorasi dinamika peran dan kiprah perempuan sepanjang sejarah. Ia menemukan fakta bahwa berdasarkan sumber Islam masa awal, sikap Nabi Muhammad terhadap perempuan sangat arif, terbuka dan toleran. Suasana seperti ini berlanjut hingga pada zaman keemasan Islam. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Islam dan mundurnya pemikiran Islam, nasib perempuan kembali ke titik nol sama seperti sebelum kedatangan Nabi. Hal ini diperparah dengan munculnya tokoh dalam umat Islam yang memiliki sikap hampir bertolak belakang dengan sikap Nabi dalam memosisikan perempuan.
Khuzaimah. T mengungkap sejumlah peran perempuan di masa klasik yang menunjukkan bahwa perempuan menempati posisi terhormat dan memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan. Mereka antara lain;
a) Khadijah binti Khuwailid (w. 619) merupakan wanita pertama masuk Islam dan seorang saudagar dengan lingkup bisnis mancanegara pada zamannya;
b) Aisyah binti Abi Bakar (w. 678) adalah periwayat hadis dan panglima perang Jamal (perang berunta)
c) Al-Syifa (Ummu Sulaiman binti Abdullah) merupakan guru perempuan pertama di zaman Nabi, pernah menjadi penasehat Khalifah Umar dan mendapat tugas mengurusi pasar.
d) Rufaidah merupakan tokoh pendiri rumah sakit pertama di zaman Nabi untuk menampung korban perang dan inspirator lahirnya Palang Merah yang kemudian didirkan oleh J. H. Dunant.
e) Zubaidah (w. 831 M) seorang sosiolog kenamaan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, pembuat saluran air dari sungai Tigris Bagdad sampai Arafah di Mekkah. Saat ini saluran itu dikenal dengan nama Ain Zubaidah. Ia juga seorang desainer waduk irigasi dan jembatan di Hijaz dan Syam.
f) Qahramanah, hidup di masa pemerintahan al-Muqtadir, merupakan hakim perempuan pertama.
g) Syajarut Dur (w. 1250 M) seorang penguasa Mesir yang bergelar Islamuddin.
h) Bazmi Alim seorang tokoh sosiolog yang membangun rumah sakit ”Yamki Baghcha di Istambul
i) Qara Fatimah Khanun, pelopor emansipasi wanita yang menjadi pemimpin risemen tentara Kurdistan. (Huzaimah T; 29-33)
Fakta di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Jika terdapat doktrin teologis yang tampak bertentangan dengan nilai kesetaraan dan keadilan sebagaimana semangat Al-Quran, maka diperlukan tafsir ulang terhadap pemahaman tersebut.
Sungguminasa 7 Oktober 2024