Saya tertawa sendiri ketika membaca satu perdebatan hangat di salah satu sosmed. Apa pasalnya? Ada yang memposting di statusnya gambar satu pasang sandal jepit yang bertuliskan kata-kata arab. Cukup unik memang. Sandal sebelah kanan bertuliskan “yamiin” dan sebelah kiri bertuliskan “syimaal.” Dalam bahasa arab, kata yamiin bermakna kanan, dan kata syimaal bermakna kiri. Namun, dari diskusi yang muncul ternyata banyak yang memprotes adanya tulisan tersebut di atas sandal. Ada yang menuduh menginjak ayat Al-Qur’an lah, melecehkan agama lah, menghina Arab lah, bahkan sumpah serapah dan hinaan kotor dilontarkan kepada di pemilik status. Padahal, anak santri tingkat dasar saja tahu bahwa dua kata itu bukan ayat atau hadis, tapi cuma pertunjuk mana sandal kanan mana sandal kiri.
Ini adalah fenomena keberagamaan atau religiusitas yang meruak di era di mana media sosial mulai menggeser forum-forum diskusi ilmiah. Sikap emosional tanpa analisa yang rasional, kecerdasan dan pemahaman yang mendalam lebih dominan, mendorong untuk saling menyalahkan. Ada gejala simbolisme lebih dipentingkan dari pada substansi dan akal sehat, sehingga semua persoalan diposisikan vis a vis, kalau anda berbeda dari saya, dan saya membela ‘sandal Allah’ maka anda adalah musuh Allah, dan otomatis adalah musuh saya juga.
Dari perspektif psikologi agama, religiusitas itu ditandai dengan adanya dua unsur. Pertama, adanya simbol-simbol dan materi-materi yang dianggap berkaitan dengan keyakinan agama, atau merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kultus penghormatan kepada Tuhan yang diimani. Islam memiliki simbol bulan sabit dan bintang, Kristen dengan salib, demikian pula agama-agama lain memiliki simbol-simbol yang merepresentasikan keyakinan mereka. Kiswah Ka’bah, kaligrafi ayat kursi, tasbih, kerudung dan cadar sudah dipatenkan sebagai simbolisasi Islam yang harus dimuliakan.
Kedua, adanya keterikatan emosional kepada simbolisme tersebut, sehingga materi-materi atau lambang-lambang tertentu harus dimuliakan dan dihormati sebagai bagian dari penghormatan kepada agama itu sendiri. Kita tidak boleh melihat mushaf Al-Qur’an sekedar buku cetakan, seperti halnya umat Kristiani melihat tanda salib sekedar gambar atau pahatan. Umat beragama tentunya lumrah, bahkan semestinya, marah jika simbol-simbol agama dilecehkan dan diinjak-injak tanpa alasan.
Pola keberagamaan sebagian kita umat muslim terasa mengalami pergeseran kepada hal-hal yang simbolistik, bahkan cenderung berlebihan (overdose). Kita semakin tidak mampu membedakan mana simbol agama, mana hasil budaya dan mana budaya yang telah disimbolisasikan sebagai agama. Kasus hujatan terhadap sandal jepit bertulis arab itu contoh dari religiusitas yang over dosis. Di sinilah emosi lebih dominan dari pada nalar sehat.
Membunyikan speaker mesjid keras-keras sampai memekakkan telinga, menganggap semua nyanyian arab adalah lagu islami, menjadikan model busana tertentu atau model jenggot sebagai standar kualitas keislaman seseorang, kalimat tauhid dijadikan bendera dan dicetak di topi lalu dijadikan sebagai representasi ‘pasukan Allah’, mencela wanita tidak berhijab sebagai calon penghuni neraka, menyalahkan lalu menuduh sesat orang yang berbeda paham dan pengamalan agama atas nama sunnah, menyebut non muslim sebagai najis dan sebagainya adalah fenomena religiusitas, yang sebenarnya belum tentu baik, tetapi justru over dosis. Obat dari dokter saja pastinya baik dan menyembuhkan, tetapi jika over dosis tentunya akan berakibat sebaliknya.