Sebagai anggota civitas akademika UIN Alauddin Makassar, saya merasa bangga dengan anugerah yang diberikan Pemerintah RI melalui Kemenkumham kepada UIN Alauddin Makassar sebagai Kampus Kebangsaan. Penghargaan ini sangat prestesius mengingat dari ribuan Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia, hanya 5 kampus yang mendapatkan penghargaan tersebut, dan para rektor perguruan tinggi tersebut langsung diundang ke Jakarta untuk menerima anugerah tersebut.
Anugerah prestesius ini saya yakini tidak lepas dari kinerja Rektor UIN Alauddin Prof. Dr. Hamdan Juhannir, MA, bersama seluruh civitas akademika yang terus menerus menggaungkan Pancacita Rektor di antaranya; tradisi yang mengakar dan moderasi beragama sebagai pilar komitmen kebangsaan. Kedua pancacita ini menjadi icon utama dalam meneguhkan pilar kebangsaan.
Kampus dengan orientasi kebangsaan memegang peran vital dalam meneguhkan persatuan bangsa. Dalam konteks Indonesia, dengan keberagaman suku, agama, dan budaya, kampus menjadi miniatur dari masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu, kampus harus menjadi pusat pengembangan nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Perguruan Tinggi harus menjadi laboratorium yang menghasilkan bibit dan serum dalam meneguhkan komitmen kebangsaan.
Kenapa saat ini kita harus terus menyuarakan pentingnya meneguhkan kebangsaan? Di awal masa pembentukan negara RI, semangat kebangsaan masih mendominasi kehidupan masyarakat. Demi persatuan dan kesatuan bangsa, umat Islam bahkan merelakan untuk menghapus tujuh kata penting tentang syariat Islam di dalam Piagam Jakarta. Bahkan NU dalam muktamar XI di Banjarmasin 9 Juni 1935 menyebut Hindia Belanda (Indonesia) sebagai “Darussalam” (negeri yang damai) bukan Darul Islam (negara Islam), bahkan begitu kuat tertancam di dalam sanubari mereka hadis Nabi; “Hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman)
Akan tetapi seirama dengan perjalanan waktu, masyarakat mengalami krisis berbangsa, akibat berbagai kepentingan, ambisi, kekuasaan dan keserakahan. Muncullah pertikaian antar umat beragama, separatisme, pencurian uang negara, mafia kasus, dan lain-lain. Ironisnya masyarakat pada kenyatannya cenderung memandang persoalan kebangsaan tidak ada kaitannya dengan agama. Soal pahala-dosa hanya dikaitkan dengan ibadah-ibadah yang telah ditetapkan di dalam hukum Islam (fikih). Paradigma semacam ini tentu tidak saja memengaruhi cara berpikir masyarakat tentang realitas, tetapi juga mengatur cara mendekati dan bertindak atas realitas.
Ancaman separatisme (pemisahan diri dari NKRI) merupakan sebuah realitas yang dihadapi bangsa ini. Penghinaan simbol-simbol negara melalui berbagai cara, sangat lazim ditemukan dalam setiap unjuk rasa. Kasus pengrusakan rumah-rumah ibadah, pelanggaran terhadap lampu/rambu-rambu lalu lintas, pembakaran ban di jalan raya yang seringkali menghalangi perjalanan orang lain tempak menjadi sebuah tradisi yang dibiarkan.
Kampus kebangsaan mencoba menawarkan gagasan-gagasan kontemporer dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Kampus yang berorientasi kebangsaan terletak pada kemampuannya untuk menjadi wadah dialog antarbudaya. Di kampus, mahasiswa dari berbagai latar belakang bertemu dan berinteraksi, sehingga mereka dapat belajar untuk saling memahami dan menghargai perbedaan. Melalui kegiatan akademik dan non-akademik, seperti diskusi, seminar, dan organisasi mahasiswa, kampus dapat menanamkan nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan kesetaraan.
Dalam era globalisasi, tantangan untuk menjaga persatuan bangsa semakin besar. Pengaruh budaya asing dan perkembangan teknologi informasi yang pesat dapat mengikis nilai-nilai kebangsaan jika tidak disikapi dengan bijak. Oleh karena itu, UIN Alauddin harus menjadi benteng pertahanan yang menjaga dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Dengan menjadikan kampus sebagai pusat pengembangan nilai-nilai kebangsaan, kita dapat meneguhkan persatuan bangsa dan memastikan bahwa keberagaman yang dimiliki Indonesia menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Samata, 19 Juli 2024