I.
Pendahuluan
Sebelum Islam
masuk di Sinjai, masyarakatnya telah memegang budaya lokal seperti pada
pelaksanaan upacara mappattoanging arajang, mattuppa anak/mappalejja tana,
mapparape’ tau malasa, mapparape tau pole, ma’jama tana, mangoloe
botting, pagelaran kesenian genrang jong dan elong ugi, ma’rimpa
salo dan mattula bala, mappanre tasi, ma’paduppa hassele, dan mappabotting.
Mappabotting (perkawinan) yang di dalamnya ditemukan serangkaian prosesi
perkawinan, merupakan budaya lokal khas masyarakat Sinjai yang berbeda dengan
daerah-daerah lain. Budaya tersebut merupakan adat istiadat mereka yang diatur
dalam sistem pangadereng. Ini dapat dilihat mulai dari tahap: mammanu’manu, madduta, mappettuada, mappacci, tudang-botting dan marola.
Budaya mappabotting dalam masyarakat Bugis Sinjai mengikuti tradisi adat istiadat yang
disertasi ritual tradisional keagamaan. Tradisi tersebut sebagai nilai budaya yang terpola secara
otomatis dan memiliki kekuatan legislasi dalam sistem budaya lokal yang disebut dengan pangadereng.
Sehubungan dengan hal tersebut, Sayyed Hosein Nasr menyatakan bahwa
tradisi/budaya lokal bisa dikatakan al-sunnah dalam pengertian yang
seluas luasnya, mencakup semua aspek tata kehidupan yang melembaga di
tengah-tengah masyarakat.[1]
Pendapat tersebut di atas memperkuat pendapat bahwa telah terjadi integrasi
dan asimilasi antara Islam dan budaya lokal dalam masyarakat Bugis di Sinjai
yang tentu saja sangat menarik untuk dijadikan obyek penelitian khususnya yang
bekenaan dengan masalah perkawinan sebagaimana yang telah banyak disinggung
dalam uraian sebelumnya, sehingga penelitian tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui berbagai aspek budaya lokal Bugis Sinjai yang terintegrasi dengan
pranata keagamaan yang disebut sara’ sebagai salah satu unsur pangadereng.
Dengan demikian, masalah pokok yang dikemukakan di sini adalah, bagaimana eksistensi Islam dalam kaitannya dengan
budaya lokal adat perkawinan masyarakat Bugis Sinjai. Sub-sub masalahnya,
adalah bagaimana proses islamisasi Sinjai, bagaimana prosesi perkawinan Bugis
dalam budaya lokal Sinjai, dan bagaimana integrasi budaya lokal
dalam perkawinan Bugis terhadap ajaran Islam di Sinjai.
Metode penelitian yang digunakan dalam disertasi ini berdasar pada field research dengan jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Metode pendekatan yang digunakan adalah kualitatif holistik dengan
menekankan tinjauan sejarah. Data yang dikumpulkan bersumber dari lapangan
menggunakan metode populasi dan sampel, metode survey, dokumentasi dan
wawancara. Untuk data pustaka digunakan metode katalog, indeks, bibliogarfi,
kemudian dibuatkan ikhtisar, kutipan, dan ulasan. Metode pengolahan dan
analisis data yang digunakan adalah deduktif, induktif, dan komparatif.
Penelitian ini
bertujuan untuk merumuskan konsep perkawinan bugis dan budaya lokal Sinjai,
mengungkap prosesi perkawinan bugis dalam budaya lokal Sinjai, dan mendeskripsikan intergrasi budaya lokal
dalam Perkawinan Bugis terhadap ajaran agama Islam di Sinjai. Kegunaan ilmiah
dari penelitian ini diharapkan memiliki sumbangsih yang berharga bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi kemajuan khasanah keislaman dalam
bidang ilmu sejarah Islam dan budaya, yang terkait dengan masalah perkawinan. Ditinjau dari
segi kegunaan praktisnya, adalah sebagai bahan untuk memahami secara akurat
tentang integrasi agama dan budaya lokal di Sinjai.
Secara teoretis
keragamaan budaya, tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan lokal masyarakat
Sinjai yang terwariskan sejak masa lampau dan dijadikan tradisi secara turun
temurun. Bagi
masyarakat Bugis Sinjai, perkawinan merupakan salah satu upacara yang sakral
dalam kehidupannya. Adat perkawinan di kalangan
masyarakat Bugis Sinjai disebut “botting
ade”, yang proses melalui beberapa fase sebagaimana yang telah
disebutkan, dan menimbulkan implikasi maupun persepsi yang berbeda-beda.
A.
Proses
Islamisasi Masyarakat Sinjai
Masyarakat
Sinjai jauh sebelum datangnya Islam, sudah mengenal nama Tuhan sebagai Dewata.
Tuhan tersebut dikenal dengan nama Dewata SeuwaE. Sebelum Islam datang mereka
menganut paham animisme yang percaya terhadap makhluk halus dan roh sebagai
sumber kekuatan spiritual. Kepercayaan animisme tersebut bertumpu pada paham akan kesaktian
Puang Lohe atau sering disingkat menjadi Pallohe yang berarti Yang Maha Besar
atau Berkuasa. Bentuk kepatuhan mereka adalah dengan aktif menjalankan
beberapa ritual kuno seperti Marumatang, yakni mengundang roh-roh leluhur
untuk datang meyaksikan aktivitas mereka sebagai manifestasi akan kecintaannya
kepada leluhur.
Sejarah perkembangan Islam di Sinjai, dapat
dilihat pada dimensi waktu, yang dapat diklasifikasi atas tiga periode atau,
yakni masa kerajaan dan pasca kerajaan. Perkembangan Islam di Kabupaten Sinjai
pada masa kerajaan memperlihatkan top down, ini terjadi
sampai tahun 1670-an. Memasuki tahun 1700-an di wilayah Sinjai hadir seorang
ulama bernama, Syaikh Abdul Rahman Puangta Imam Timurung, turut memperkuat
perkembangan Islam.
Selanjutnya perkembangan Islam pasca kerajaan di Sinjai,
bermula sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, dan ditetapkannya Sinjai sebagai
kabupaten pada tanggal 20 Oktober 1959. Mulai saat itu, tampillah ulama-ulama
yang mengembangkan Islam, dan tokoh utama ulama yang banyak disebutkan dalam
usaha pengembangan Islam pasca kerajaan atau setelah Indonesia merdeka di
Sinjai adalah Kiai Ahmad Marzuki. Periode berikutnya, terutama tahun 1968-an
Kiai Ahmad Marzuki mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat untuk
mengembangkan pendidikan Islam, akhirnya tercetuslah idenya untuk mendirikan
Pesantren Darul Istiqamah. Dari sini
kemudian tampil ulama lain yang mengembangkan Islam di Sinjai seperti H. Abd.
Razak, H. Muhammad Kasim, dan H. Muhammad Ali, ketiganya pernah tinggal dan
belajar di Mekkah. Mereka dalam mengembangkan Islam di Sinjai lebih menitikkan
pada metode dakwah dan pengajian pada satu kampung ke kampung lain, mereka
memilih tempat yang sangat memerlukan pendidikan agama.
Pengembangan
Islam di Sinjai dipusatkan pula di masjid-mesjid, dan lembaga pendidikan
lainnya, ulama Sinjai yang terkenal pokus pada kegiatan ini berdasarkan
informasi yang banyak berkembang di tengah-tengah masyarakat adalah K. H.
Muhammad Tahir, K. H. Muhammad Hasan, K. H. Muhammad Yakub, K. H. Muhammad
Ramli, K. H. Muhammad Mustari. Di antara nama yang disebutkan, ini K. H.
Muhammad Yakub mengembangkan Islam di Sinjai dengan pokus pada Yayasan
Pendidikan yang didirikannya, dan mendirikan pesantren Darul Hikmah
Lenggo-lenggo, yang berlokasi di Kampung Maroanging Kecamatan Sinjai Timur.
B.
Prosesi
Perkawinan Bugis Masyarakat Sinjai
Proses perkawinan dalam masyarakat Bugis,
khususnya di Sinjai menjadi semacam arena untuk melihat bagaimana masyarakat mengaktualisasikan kearifan lokal yang ada di daerah itu. Dalam prosesi perkawinan itu
terdapat beberapa tahap yang dilalui, mulai yakni mammanu’manu’, madduta,
mappettuada, mappaccing, tudangbotting, dan marola.
1. Mammanu’manu’
Istilah
mammanu’manu’ dalam masyarakat Bugis Sinjai biasa pula di-sebut mappese-pese,
mabbaja laleng atau mattiro, yaitu menyelidiki hal ihwal seorang
gadis yang ingin dipinang. Biasanya dilakukan secara diam-diam oleh pihak calon
mempelai pria. Pada proses mammanu’manu’ itu, sudah dapat diketahui
dengan jelas nama lengkap gadis tersebut dan nama orang tua, serta keluarganya.
Menurut
tokoh masyarakat setempat, idealnya perjodohan di lingkungan masyarakat Sinjai
tetap menganut tradisi asli Sinjai, dan adat harus diutamakan, yakni pemilihan
jodoh dan perkawinan terjadi antar kalangan yang berstatus sosial sama. Tidak
di-inginkan perkawinan yang tidak sederajat, maksudnya bangsawan dengan
bangsawan, orang biasa dengan orang biasa, budak dengan budak, bahkan
diutamakan perkawinan antar keluarga agar keturunannya tetap terjaga.[2]
Namun
seiring perkembangan zaman, terdapat beberapa perubahan dalam tahapan ini. H.
Najamuddin Marsuki menyatakan bahwa Perkawinan masa sekarang tidak mesti
memakai adat, termasuk dalam pen-jodohan yang membudaya dengan adanya istilah
bangsawan dengan bangsawan harus diberlakukan, tetapi seharusnya kembali pada
ajaran agama yang tidak membedakan antar manusia dari segi status sosialnya
kecuali dari segi ketakwaannya. Perkawinan dengan segala prosesnya, seharusnya
merujuk pada apa yang dicontohkan Rasulullah, dan inilah perkawinan yang
sebenarnya yang harus dicontohi.
2. Madduta
Madduta biasa pula diistilahkan massuro¸yakni meminang, pinangan itu
diterima atau tidak, kalau diterima pihak keluarga laki-laki datang
membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam perkawinan utamanya uang belanja
yang disebut doi menre’ atau mappenre balanca. Selain uang
belanja, atau mahar bagi darah bangsawan Sinjai, disiapkan pula kerbau/sapi
atau yang seharga dengan kerbau/sapi tersebut. Untuk proses madduta diadakan
dengan acara mallino, yakni terang-terangan mengatakan suatu yang
tersembunyi. Jadi madduta di sini bisa dikatakan sebagai prosesi resmi
keluarga laki-laki ke rumah perempuan untuk menyampaikan amanat secara
terang-terangan apa yang telah dirintis sebelumnya pada waktu mammanu’manu.
Pada
prosesi madduta, berdasarkan survei penulis ditemukan nuansa keakraban,
para tamu duduk bersila pada tikar yang telah disediakan. Pada masa lalu, raja
disediakan tappere boddong massusung berbentuk bundar persegi. Bagi
bangsawan, dalam pelaksanaan mappetu ada semuanya diatur oleh adat
termasuk pakaian, tempat duduk dan posisi yang tepat untuk juru bicara kedua
belah pihak.
3. Mappettuada
Mappettuada
yakni menetapkan pembicaraan setelah proses madduta
dilaksanakan. Pada acara mappettuada, biasanya juga ditindak lanjuti
dengan mappasierekeng yakni menyimpulkan kembali kesepakatan-kesepakatan
yang telah dibicarakan bersama pada proses madduta. Mappettuada ini
sudah merupakan lamaran resmi dan biasanya disaksikan oleh keluarga kedua calon
mempelai dan kenalan yang lebih ramai lagi.
Pada
kesempatan itu diserahkan oleh pihak laki-laki pattenre’ ada atau passio
(pengikat) berupa cincin, beserta sejumlah benda simbolis lainnya, misalnya
tebu, sebagai simbol sesuatu yang manis, buah nangka (panasa) yang
mengibaratkan harapan (minasa); dan lain sebagainya. Apabila waktu perkawinan
akan dilaksanakan dalam waktu singkat, maka passio ini diiringi
passuro mita yang diserahkan setelah pembicaraan telah disepakati.
Pada
saat mappettuada dibicarakan secara terbuka segala sesuatu terutama
mengenai hal-hal yang prinsipil, terutama jumlah mahar (sompa) yang
disebut dui menre (uang naik) dan sompa (persembahan). Mahar atau
sompa di kalangan masyarakat Sinjai, berdasarkan data yang ditemukan, dapat
dibedakan menurut tingkat kebangsawanan terdiri atas sompa arua polona arua
rellah (88 reall) untuk golongan raja. Sompa enneng pulona enneng rella (66
real) untuk golongan arung yang tidak memerintah. Sompa patappulo eppa rella
(44) untuk to deceng. Sompa duappulo dua rella (22) untuk golongan ata malebbi.
Sompa seppulo dua rella (12) untuk ata matuna.
Untuk
zaman sekarang sesuai hasil survei penulis, besarnya uang naik untuk status
sosial menengah ke bawah di kalangan masyarakat Sinjai sebesar kisaran Rp. 15 - 50 juta. Sedangkan untuk yang
memiliki status sosial tinggi dari
kalangan bangsawan, orang kaya dan anak gadisnya memiliki pekerjaan yang mapan
bisa mencapai kisaran Rp. 100-500 jt.
4. Mappaccing
Mappaccing, yakni suatu kegiatan bertujuan untuk membersihkan segala sesuatu pada
calon pengantin. Kegiatan ini dalam budaya masyarakat Sinjai
dirangkaian dengan acara mandi kembang pada sore harinya dan mappanretemme pada
malam harinya yang disebut tudangpenni. Acara ini dilaksanakan secara
terpisah antara calon pengantin perempuan dengan laki-laki di rumah
masing-masing.
Mandi
kembang dalam istilah masyarakat Sinjai adalah cemme botting atau lebih
lazim lagi disebut cemme majang, yang menurut tradisi mereka majang untuk
menghilangkan segala kotoran di badan, juga bermanfaat untuk mensucikan diri
dari roh-roh jahat dari kedua mempelai dan akan mendapatkan rezki yang halal.
Setelah mandi kembang, maka calon penganting berganti pakaian, selanjutnya
didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju Bodo, tope (sarung pengantin)
atau lipa’
sabbe, serta aksesories lainnya untuk mengikuti prosesi tudang
penni, yang diawali dengan membaca doa-doa, sebagian masyarakat
mentradisikan barazanji dan khatam al-Qur’an yang disebut mappanre
temme.
Pada prosesi mappaccing, di kalangan
masyarakat Sinjai dalam meletakkan daun Pacci disesuaikan dengan tingkat
stratifikasi calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi
jumlahnya 2 x 9 orang atau dua kasera. Untuk golongan menengah 2 x
7 orang ”dua kapitu”, sedang untuk golongan dibawahnya lagi 1 x 9 orang
atau 1 x 7 orang. Tetapi pada waktu sekarang ini tidak ada lagi
perbedaan-perbedaan dalam jumlah orang yang akan melakukan acara ini.
5. Tudangbotting
Tudangbotting adalah upacara pernikahan, yang sebelumnya dirangkai dengan acara penting,
yaitu akad nikah dengan beberapa prosesi mulai dari madduppa botting,
mappenre botting, mengucapkan akad nikah, dan berlanjut ke mappasikarawa
botting.
Pada prosesi maduppa botting di kalangan
masyarakat Sinjai, diusahakan agar pengantin laki-laki berangkat dari rumahnya
menuju ke tempat perempuan pada waktu pagi, ini lazimnya di masyarakat Sinjai
sejak masa lalu, tapi sekarang bisa sore atau siang dan tempatnya pun bisa
digedung-gedung yang sengaja disewa. Selanjutnya pada proses mappenre botting,
yakni mengantar naik ke acara untuk pelaksanaan akad nikah, dan pada acara
akad tersebut bapak atau wali calon mempelai perempuan imam kampung atau salah
seorang yang ditunjuk oleh pihak Kementerian Agama, seorang saksi dari pihak
keluarga perempuan dan laki-laki. Pengantin laki-laki duduk bersila di depan
imam untuk dinikahkan, kemudian setelahnya adalah mappasikarawa, yaknti
menyentuh, sentuhan pertama pengantin laki-laki ke kepada pengantin perempuan. Sentuhan
ini diharuskan menyentuh ke bahagian tubuh istrinya yang paling halus, biasanya
ada tiga sentuhan. Pertama, ubun-ubun, agar laki-laki tidak diperintah
istrinya, kedua bagian atas dada agar kehidupan suami istri dapat mendatangkan
rezki seperti gunung, ketiga jabat tangan atau ibu jari artinya suami
isteri saling mengerti sehingga tidak terjadi pertengkaran, atau saling
memaafkan bila terjadi kesalahpahaman.[3]
6. Marola
Setelah
pesta perkawinan, maka yang terakhir adalah marola atau mapparola,
yakni kunjungan balasan dari pihak mempelai perempuan ke rumah mempelai
laki-laki. Pengantin perempuan diantar oleh iring-iringan yang biasanya membawa
hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai perempuan
dan pengiringnya tiba di rumah mempelai laki-laki, mereka langsung disambut
oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan.
Kedua orang tua mempelai laki-laki segera menemui menantunya untuk memberikan
hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda
kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa
cincin atau kain sutera kepada mempelai perempuan, kemudian disusul oleh tamu
undangan memberikan passolo (kado).
Setelah
marolah dan semua rangkaian upacara perkawinan dilangsung-kan, di
kalangan masyarakat Sinjai berdasarkan temuan penulis masih terdapat sejumlah
kegiatan yang masih menjadi budaya dan tradisi mereka di antaranya adalah mallukka,
ziarah kubur, dan massita béseng (pertemuan besan).
C.
Integrasi Islam
dengan Perkawinan Lokal Sinjai
Integrasi budaya adalah proses penyesuaian diantara unsur
kebudayaan yang saling berbeda, sehingga mencapai keserasian fungsinya dalam
kehidupan masyarakat.[4]
Proses integrasi budaya biasanya menyebabkan beberapa karakteristik dari
komunitas budaya asli terserap, karena terjadi persentuhan yang saling
membutuhkan, baik secara kultural,[5]
maupun spiritual.[6]
Pada segi kultural menyangkut adaptasi budaya sehingga terjadi kesamaan yang membentuk
kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Sedangkan pada segi
spiritual, menyangkut adaptasi budaya yang berkenaan dengan nilai-nilai
keagamaan sehingga kelihatan membentuk kebudayaan baru padahal yang sebenarnya
tetap ada perpaduan di antara keduanya.
1.
Integrasi Kultural Spiritual
Secara kultur masyarakat Bugis Sinjai
sangat berpegang teguh pada sistem pangngaderreng.[7] Dalam masyarakat tersebut terdapat seperangkat
tata nilai pangngaderreng yang secara kultur merupakan etika hidup
yang diyakini dan menjadi frame of reference (rujukan utama) tentang
bagaimana seharusnya seseorang berbuat, bersikap dalam kehidupan sosial.
Nilai-nilai itulah yang mempengaruhi dan kadang-kadang dapat dikatakan membentuk
keseluruhan sikap masyarakat seperti yang terdapat dalam prosesi perkawinan
mereka, yang kemudian terintegrasi ke dalam pangadereng, yakni adat istiadat
mereka.
Secara kultur masyarakat Bugis Sinjai sangat
berpegang teguh pada sistem pangngaderreng yang berkaitan dengan sarak
sehingga dalam konteks perkawinan ditemukan segi-segi integrasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Seperti pada
proses mammanu’-manu’ yang mereka berpegang teguh pada adat-istiadat, maka guna mendapatkan jodoh yang tepat harus di kalangan yang
berstatus sosial sama. Dalam syariat Islam pun diharuskan demikian, sebagaimana
sabda Nabi Muhmmad saw., dalam hadisnya bahwa
عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لِأَرْبَعٍ لِحَسَبِهَا وَ لِمَالِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
(رواه
أبوداود)
Term
“لِحَسَبِهَا”
dalam hadis itulah yang menegaskan bahwa dalam memilih jodoh, didasarkan pada
segi “sama-sama keturunan bangsawan”. Jadi sarak di sini mensyaratkan adanya aturan adat mencari pasangan yang setara dari segi
asal-usul keturunan. Dengan berasimilasi budaya dengan ajaran Islam, maka
sesuai pula realitasnya masyarakat Bugis Sinjai dalam memilihkan jodoh anak-anak
dan keluarganya lebih cenderung mempersyaratkan faktor agama sesuai hadis
tersebut dan tetap melihat segi keturunan atau kebangsawanannya.
Selanjutnya pada prosesi madduta, yakni prosesi
meminang mengandung harapan serta nilai-nilai spiritual keislaman yang sangat
mendalam, karena itu pihak laki-laki dalam meminang perempuan dengan baik-baik melalui
keluarganya. Islam tidak mengizinkan seorang gadis menikah sendiri tanpa adanya
wali atau tanpa sepengetahuan keluarganya. Demikian pula mas kawin, yakni mahar
atau sompa, dalam Islam dianggap sebagai ungkapan kasih saying dan bentuk
pengakuan terhadap kemanusiaan dan kemuliaan perempuan sebagaimana dalam Q.S.
al-Nisa/4: 4, yakni:
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَرِيئًا
Oleh
karena itu perkawinan dalam masyarakat Sinjai mewajibkan adanya mas kawin
(mahar). Kemudian pada upacara mandi kembang, oleha masyarakat Sinjai dianggapnya
sebagai upaya pembersihan jasmani dan rohani yang dianjurkan oleh sarak, pada
mappaccing itu juga dilibatkan kerabat dan keluarga sebagian bagian dari
ajang silaturahim berdasarkan syariat. Dalam kegiatan itu pula, setelah
Islam dating diadakan doa-doa dan tradisi khatam qur’an sebagian
masyarakat juga melaksanakan pembacaan barazanji yang dianggap sebagai
bagian dari amalan sarak.
Demikian pada acara tudangbotting yang dahulunya tidak dikenal ceramah walimatul urusy, setelah masuknya Islam maka ceramah tersebut diagendakan dalam acara tudangbotting, sehingga ditemukan integrasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam. Selanjutnya pada prosesi mapparola mengandung nilai-nilai ajaran Islam dalam hal memperkuat tali silaturrahmi antara dua keluarga besar.