Agama dan Sains di Era Revolusi Industri 4.0

  • 08:35 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pendahuluan

Harus diakui bahwa di satu sisi perkembangan teknologi informasi dan sejenisnya membawa berkah dan kemudahan bagi manusia. Masyarakat dengan mudah dan cepat mengakses informasi. Akan tetapi, di sisi lain kehadirannya menimbulkan kegelisahan. Masyarakat seakan terhempas oleh gelombang modernitas yang begitu dahsyat. Dunia materialisme menghancurkan tatanan dan nilai sendi-sendi kehidupan. Akibatnya, masyarakat panik, pegangan hidup mulai goyah dan jalan hidup pun mulai kehilangan arah. Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan ideologi kapitalisme ini menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan megamekanis. Pemberian nilai-nilai edukatif orang tua kepada anak di rumah tangga perlahan namun pasti telah diambil alih oleh peran media elektronik yang sering menyajikan kekerasan, dendam, romantisme, dan pergaulan bebas. Tugas tukang pos yang dulu seringkali datang ke rumah untuk mengantar surat-surat atau kartu lebaran, digantikan oleh aplikasi media sosial yang begitu cepat tiba di tangan orang yang dituju. Semua ini merupakan contoh konkret efek samping perkembangan teknologi yang dapat mempengaruhi kultur dan nilai kehidupan bermasyarakat.
Fisikawan kenamaan Albert Einstien pun merasa gundah. Ilmu dan teknologi yang mestinya membuat kehidupan sosial menjadi mudah justeru membawa nestapa. Manusia dibuat orang saling meracun, membantai dan menjegal, bahkan menurut G. J. Whitro (1977; 55) manusia semakin dikejar dengan waktu dan penuh ketidakpastian.
Galbrait (1958; 275) pernah berkata: To have failed to solve the problem of producing goods would have been to continue man in his oldest and grievious misfortune. But to fail to see that we have solved it and to fail to proceed thence to the next task would be fully as tragic.
Mengomentari statement Galbrait di atas, Nurcholis Madjid (1992;449) menyatakan bahwa kegalauan Galbrait tersebut merupakan realitas kehidupan modern. Orang mempertanyakan tindak lanjut modernisasi, mau dikemanakan arah kehidupan manusia ini? Sebagai anggota masyarakat Amerika, Galbrait membuat kesimpulannya itu berdasarkan pembahasan terhadap masyarakat yang sudah berhasil menjalankan modernisasi. Tetapi secara retrospektif, kesimpulan Galbrait itu relevan bagi semua masyarakat yang telah maupun belum makmur.
Di era modernisme ini, manusia-manusia dihinggapi oleh sikap individualistik dan materialistik yang selalu ingin mencari jalan pintas (short-cut). Tata nilai agama mulai lentur dan luntur, bahkan ada tendensi agama hanya dianggap sebagai suatu kepentingan “kifayah” dan bukan kebutuhan pribadi. Dekandensi moral terjadi di mana-mana. Struktur kehidupan sudah kehilangan magnet religiositasnya sebagai efek dari perkembangan sosial politik dan budaya.
Mencermati kondisi masyarakat yang serba tidak terarah, maka sesungguhnya keinginan Einstien yang pernah dia lontarkan di hadapan mahasiswanya, ternyata jauh dari cita-cita sucinya. Sebaliknya modernisasi dengan perkembangan Iptek yang seharusnya merupakan keberkatan justeru menjadi “bumerang” bagi manusia dengan mengalirkan arus globalisasi dan informasi yang demikian dahsyat bahkan menurut Hosen Nasr (1994; 194), ilmu akhirnya menjadi penguasa dan mendominasi alam.
Tulisan ini ingin mencari benang merah untuk merajut kembali hubungan agama dan sainteks yang tampak dewasa ini sudah kehilangan nilai.

Pergumulan Sains dan Agama di Abad Modern

Kemajuan material sebagai hasil dari kemajuan dan kecanggihan ilmu dan teknologi dewasa ini telah mempermudah hidup dan kehidupan manusia. Menurut Asmaran (1994; 1) banyak kesenangan dan fasilitas hidup dapat dinikmati dengan bertambahnya setiap penemuan baru di bidang teknologi, bahkan menurut Marshal (1974; 200) persoalan teknologi ini sesungguhnya bukanlah hal baru, tetapi sejak 5000 tahun yang lalu orang sudah memanfaatkan teknologi, sesuai dengan ukuran zamannya.
Saat ini lebih tepat disebut era teknologi. Nurcholis (1992; 452) menyebunya sebagai zaman teknik, disebabkan peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme tersebut. Wujud keterkaitan itu antara segi teknoligis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman modern sekarang ini.
Akan tetapi fenomena dominasi Iptek yang dipaketkan dengan ideologi kapitalisme menyebabkan manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya yang hakiki di tengah kehidupan megamekanis. Peran-peran manusia telah digantikan oleh dominasi mesin yang bersifat atomistis, bahkan pemberian nilai-nilai edukatif orang tua di rumah tangga sekalipun, diambil alih oleh peran media elektronik. Jika pada masa lalu, anak tertidur di dalam belaian ibunya, diiringi dengan senandung religius, budaya atau dongeng sebelum tidur., fenomena sekarang menunjukkan sebaliknya. Tidak sedikit anak tertidur di depan tayangan sinetron televisi yang menyajikan kekerasan, dendam, romantisme, pergaulan bebas dan lain-lain.
Menurut Harifuddin Cawidu (1994; 6) akibat itu semua maka tujuan hidup mulai kabur, ekosistem dikacaukan, masyarakat diracuni oleh posmodernisme, lembaga perkawinan tidak dianggap lagi sakral, rumah tangga berantakan, adat dan tradisi menjadi rusak dan iman telah lama menguap dari lubuk hati manusia. Mereka terasing dari dirinya sendiri, dari lingkungan dan dari Tuhannya. Terjadilah apa yang diistilahkan ahli psikologi sebagai dislokasi kejiwaan, disorientasi dan deprivasi relatif. Mereka merasa tersingkir, terhempas dalam ketidakberdayaan. Eskapisme ini akhirnya mengambil bentuk mabuk-mabukan, penyalahgunaan zat-zat adiktif, selingkuh (memburu “kesenangan” di luar rumah tangganya) dan ada juga yang lari ke agama atau ke pseudo agama yang menjanjikan ketenteraman batin.
Lebih jauh Harifuddin menyatakan, masyarakat modern (diwakili oleh Barat) didominasi oleh pandangan hidup materialistik, pragmatis dan sekularistik. Pandangan hidup semacam ini amat menjunjung tinggi nilai material dan menafikan aspek spiritual. Akibatnya terjadi desakralisasi kehidupan. Realitas hidup adalah “kini/kekinian” dan “di sini/kedisinian”. Masa depan, apalagi hidup sesudah mati, merupakan hal yang nisbi. Jika mereka beragama, tampaknya agama hanya dianggap sebagai sebuah identitas simbolik, bukan sebagai suatu nilai yang tercermin dalam perilaku. Konsekuensinya terjadilah pembusukan nilai agama akibat agama melekat pada individu yang mengartikulasikan nilainya sebatas simbol/topeng.
Pandangan hidup seperti di atas berpadu dengan falsafah humanistik esktrem yang menjadikan manusia sebagai pusat dan ukuran segala-galanya. Di satu sisi mereka mengagungkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang termulia, tetapi di sisi lain justeru menginjak-injak harkat dan martabat manusia itu sendiri. Di samping itu humanisme hipokrit juga melanda dunia modern. Pada waktu tertentu, atas nama demokrasi dan keadilan, terdapat sekelompok bangsa perkasa menindas, membantai bahkan menghancurleburkan peradaban bangsa lain, tetapi di sisi lain, juga atas nama keadilan dan demokrasi bangsa perkasa tersebut juga membiarkan kejahatan kemanusiaan terjadi di depan batang hidungnya.
Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-nilai kemanusiaan. Agama dan Tuhan seakan diabaikan, iman menguap bahkan ada kecenderungan manusia modern memerankan dirinya sebagai “tuhan” di atas bumi dan membuang dimensi transcendental dari kehidupannya. Manusia mengucapkan selamat tinggal kepada Tuhan. Jembatan Golden Gate di Amerika Serikat sebagai simbol kemajuan Intelegence Qoutient (IQ) manusia, justeru saat ini menjadi saksi bisu tewasnya ribuan manusia akibat terjun bebas dari jembatan tersebut.
Kondisi seperti ini terjadi akibat tidak adanya keseimbangan antara dimensi zikir dan pikir, rasa dan rasio. Akal tidak diharmoniskan dengan wahyu, aspek individu tidak diimbangi dengan sosial, kreativitas tidak dibarengi dengan cita, cinta kasih dan sebagainya. Akibatnya, manusia modern (perkotaan) terhempas dalam badai kehampaan. Oleh karena itu, agama menawarkan jalan alternatif (khususnya) di dalam ajaran Islam melalui pintu sufisme/tasauf yang lebih mengedapankan kasih sayang, humanisme, peradaban, kesamaan yang berorientasi kepada persaudaraan universal.
Kamaruddin Hidayat (2005; vi) mencatat beberapa cara pandang mengapa urban sufism (Sufisme perkotaan) semakin berkembang terutama di kota-kota besar. Dalam kaitan ini, Kamaruddin Hidayat memberikan beberapa catatan penting. Pertama, sufisme di perkotaan lahir sebagai bentuk dari pencarian makna hidup (searching for meaning) akibat menguatnya paham dan gaya hidup materialisme yang menyisakan ruang hampa dan kering dalam lubuk hati seseorang. Kedua, maraknya spritualitas pada masyarakat perkotaan mungkin juga sebagai medium catarsis dari rasa dosa yang melilit kehidupan sosial serta sebagai pelarian diri dari kepengapan hidup di kota modern yang penuh kompetisi (Psychological Escapism). Ketiga, maraknya fenomena sufisme juga dilihat sebagai respons dan kritik terhadap wacana keagamaan yang kering dan legalisitik yang kurang memberikan ruang imajinasi dan eskplorasi rasa keagamaan, sehingga ruang agama terasa sempit dan penuh ancaman neraka yang menakutkan. Keempat, pendekatan tasauf dirasakan sebagai jalan termudah dan ternyaman untuk menemukan identitas keberagamaan bagi kelas menengah kota yang selama ini merasa jauh dari agama.
Lebih jauh Kamaruddin Hidayat menyatakan bahwa sufisme perkotaan yang tumbuh saat ini lebih merupakan ekspressi dan minat orang pada ajaran agama yang menekankan dimensi spiritual-psikologis yang jelas berbeda dari pendekatan fikih, politik, teologi dan filsafat yang memang lebih mapan dalam tradisi kajian keislaman. Kritik yang sering dilontarkan kepada sufisme perkotaan adalah bahwa mereka mencari jalan pintas dan nyaman untuk mendekati agama tanpa harus bersusah payah melakukan kajian intelektual secara mendalam. Yang penting kebutuhan psikologis keagamaan terpenuhi, sementara dahaga intelektual agak terlupakan.
Berbeda dengan sufisme konvensional, gerakan sufisme perkotaan berasal dari kelas menengah ke atas. Sufisme yang pernah dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam, bertentangan dengan etos modernisme dan dianggap sebagai infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam, kini justeru menjadi trend di kalangan orang-orang ”berada” di perkotaan.
Tekanan kepada dimensi kemanusiaan (humanisme) menurut Nurchalis (1992; xviii) menjadikan sufisme semakin relevan dan mendesak diaplikasikan dalam mengadapi era globalisasi ini, yaitu zaman yang menyaksikan proses semakin menyatunya peradaban seluruh umat manusia berkat kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi.
Humanisme yang diajarkan dalam sufisme adalah humanisme transcendental yang berbasis tauhid. Menurut Harun Nasution (1995; 211), dari ajaran dasar tauhid ini timbullah paham bahwa segenap makhluk ini seluruhnya bersaudara, meski berbeda warna kulit, bahasa dan agama. Tuhan adalah objek pengabdian dan penghambaan yang sama bagi segenap makhluk. Di hadapan Tuhan, semua makhluk pada hakikatnya sama, kecuali takwa yang membedakannnya. Bahkan dalam filsafat Ibn 'Arabi (w.638 H/1240 M) yang ada hanyalah Allah, sebagai wujud yang hakiki. Selain Allah pada dasarnya tidak mempunyai wujud sendiri karena wujudnya tergantung kepada wujud Allah.
Bertolak belakang dengan konsep humanisme sufistik yang transcencdental, humanisme rasional juga memperlihatkan kontradiksi pada dirinya, khususnya pada tingkat implementasi. Di negara-negara industri yang memproklamirkan diri sebagai berpaham humanisme, justru kekerasan, sadisme, pemerkosaan, pembunuhan dan kriminalitas lainnya jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Superioritas dan hegemoni menyebabkan mereka merasa berhak untuk memaksakan kehendaknya dan mendikte serta menghakimi negara-negara lain atas nama humanisme dan hak asasi. Inkonsistensi ini terjadi karena menurut Ibn Arabi (1972; 223) landasan pijakannya hanya pada sudut humanisme rasional, bukan transcendental.

Rekonsiliasi Sains dan Agama

Syahrul Alim (1999; 67) menyatakan dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan perkembangannya, dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan sains?
Bruno Guiderdoni (2004:41) membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi yaitu;
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan“mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Efendi Arianto mengutip tulisan F. Budi Hardiman (2007) yang ditulis di harian Kompas, dengan judul Sains dan Pencarian Makna menyatakan, secara garis besar, ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam pencarian makna dan kebenaran. Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dan sains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam pencarian makna, dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
Lebih lanjur Efendi Arianto (2007) menyatakan bahwa Tuhan sesungguhnya mempersilahkan manusia untuk memikirkan dan mengeksplorasi alam semesta. Hal ini sejalan dengan petunjuk sejumlah ayat Al-Quran maupun hadis yang memberikan kesempatan kepada manusia untuk melakukan pemikiran dan eksplorasi terhadap alam semesta. Upaya penaklukan ruang angkasa menurut Efendi harus dilihat sebagai suatu ibadah manusia yang ditujukan selain untuk memahami rahasia alam, juga demi masa depan kehidupan manusia. Pencarian ilmu bagi manusia agamis adalah kewajiban sebagai bentuk eksistensi keberadaannya di alam semesta ini. Ilmu pengetahuan dapat memperluas cakrawala dan memperkaya bahan pertimbangan dalam segala sikap dan tindakan. Keluasan wawasan, pandangan serta kekayaan informasi akan membuat seseorang lebih cenderung kepada obyektivitas, kebenaran dan realita. Ilmu yang benar dapat dijadikan sarana untuk mendekatkan kebenaran dalam berbagai bentuk.

Penutup

Dari beberapa uraian di atas yang dibutuhkan sesungguhnya adalah sebuah proses dialog dan integrasi antara agama dan sains. Dialog menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.

Di sisi lain kedua kekuatan ini harus saling mengisi dalam proses integrasi. Paradigma ini akan melahirkan hubungan yang lebih bersahabat dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Untuk mencapai itu semua, baik sains maupun agama harus memiliki dua wajah, yaitu: intelektual dan sosial. Agama dapat didekati dengan rasional dan empiris dan tidak melulu urusan hati saja [spritualisme semata]. Sains pun sebaliknya dapat berwajah sosial, artinya tidak melulu urusan rasional dan empiris semata. Sains mungkin telah berhasil melayani kemanusiaan, tetapi sains juga menimbulkan hal-hal negatif bagi manusia yang justru mengingkari kemanusiaan.