Pagi ini, selaku ASN saya ikut apel pagi dalam rangka memperingati hari pahlawan 10 November. Apel ini tentu bukan sebatas semionial tetapi pemaknaan atas setiap tetesan darah dan keringat para pahlawan yang berkorban membela nusa-bangsa.
Ir. Soekarno pernah berkata, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Kalimat ini bukan sekadar slogan monumental yang terpahat di dinding sejarah, melainkan sebuah peringatan moral agar bangsa ini tidak kehilangan arah dan jiwa. Pahlawan bukan hanya mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang berjuang dalam senyap, menegakkan nilai keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan di tengah kehidupan berbangsa.
Jenderal Sudirman menambahkan pesan yang begitu dalam: “Jangan terlalu banyak mengeluh, tetapi perbanyaklah bersyukur agar kita bisa mengisi kemerdekaan.” Ucapan ini seperti menampar kesadaran kita hari ini. Sebab di tengah kebebasan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata, masih banyak di antara kita yang lebih suka mengeluh daripada berbuat, lebih banyak mengkritik tanpa kontribusi, dan lebih sibuk menuding tanpa memberi solusi.
Hari Pahlawan 10 November bukan hanya agenda tahunan untuk mengenang peristiwa heroik di Surabaya tahun 1945. Ia adalah momentum untuk bertanya kepada diri sendiri: apakah semangat kepahlawanan itu masih hidup dalam jiwa kita? Apakah kita masih memiliki nyala api yang membuat bangsa ini berdiri tegak di tengah badai zaman?
Bangsa ini dibangun di atas idealisme, bukan pragmatisme. Para pendiri republik tidak memikirkan keuntungan pribadi, tetapi masa depan generasi. Mereka sadar bahwa kemerdekaan bukan tujuan akhir, melainkan pintu gerbang menuju cita-cita besar, mewujudkan masyarakat adil dan makmur, berdaulat, serta bermartabat di hadapan dunia. Itulah sebabnya visi-misi bangsa ini terus diarahkan menuju Indonesia Emas 2045, sebuah impian kolektif di mana Indonesia genap berusia satu abad merdeka.
Visi Indonesia Emas 2045 bukan sekadar retorika politik, tetapi cita-cita strategis yang memadukan kekuatan ekonomi, sumber daya manusia, dan karakter kebangsaan. Pada tahun itu, diharapkan Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia, dengan kualitas pendidikan yang unggul, pemerintahan yang bersih, serta masyarakat yang berdaya dan berakhlak mulia. Namun, lebih dari itu, Indonesia Emas bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi, melainkan soal kualitas manusia yang memiliki jiwa pahlawan, pekerja keras, jujur, disiplin, dan berjiwa gotong royong.
Kita sering bicara tentang bonus demografi, teknologi, dan modernisasi, tetapi lupa bahwa semua itu tak berarti tanpa nilai perjuangan. Kemerdekaan sejati bukan diukur dari seberapa megah gedung yang kita bangun, melainkan seberapa tinggi semangat kita membangun manusia. Di sinilah nilai-nilai kepahlawanan perlu dihidupkan kembali dalam konteks kekinian: pahlawan di era digital adalah mereka yang menjaga integritas di tengah banjir hoaks, pahlawan di dunia pendidikan adalah mereka yang mengajarkan kejujuran dan cinta tanah air, pahlawan di bidang ekonomi adalah mereka yang berjuang membangun kemandirian dan keadilan sosial.
Refleksi Hari Pahlawan menuntun kita untuk memahami bahwa bangsa besar tidak dibangun oleh keluhan, tetapi oleh kerja keras dan rasa syukur. Seperti pesan Jenderal Sudirman, syukur bukan berarti pasrah, melainkan semangat untuk terus mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Syukur adalah energi positif yang membuat kita kuat menghadapi tantangan, dan mengubah kesulitan menjadi peluang.
Kini, tantangan kita bukan lagi penjajah berseragam, tetapi kemalasan, korupsi, apatisme, dan kehilangan arah moral. Jika dahulu pahlawan berperang dengan senjata dan bambu runcing, maka kini kita dituntut berperang melawan ketidakpedulian dan ketidakjujuran. Setiap profesi memiliki ladang perjuangan. Guru, petani, dokter, peneliti, wirausaha, hingga aparatur negara, semua punya ruang untuk menjadi pahlawan masa kini.
Maka pada Hari Pahlawan ini, mari kita renungkan kembali pesan Bung Karno dan Jenderal Sudirman. Jangan biarkan semangat mereka terkubur dalam upacara dan karangan bunga semata. Jadikan semangat kepahlawanan sebagai denyut kehidupan bangsa. Karena masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh siapa yang paling banyak bicara, tetapi oleh siapa yang paling banyak bekerja dengan hati.
Kita mungkin tidak bisa menjadi pahlawan besar seperti mereka, tetapi kita bisa menjadi pahlawan kecil di ruang hidup kita masing-masing. Pahlawan bagi keluarga, bagi masyarakat, dan bagi bangsa. Sebab bangsa yang besar bukan hanya menghargai jasa para pahlawannya di masa lalu, tetapi juga melahirkan pahlawan-pahlawan baru di setiap generasi.
Di setiap langkah kecil yang tulus, lahir kembali semangat besar yang mengantarkan kita menuju Indonesia Emas 2045, sebuah negeri yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga agung dalam budi, berkarakter dalam iman, dan berdaulat dalam kemanusiaan.
Sungguminasa 10 Nopember 2025

