Pernyataan walikota terpilih Zohran Mamdani yang tegas, lugas dan retoris, bahkan berani "menyerang" Presiden Donald Trump membuat decak kagum masyarakat dunia. Ia terpilih mengalahkan dua kandidat lainnya. Keterpilihan Mamdani sebagai walikota merupakan sejarah baru di dunia politik dan demokrasi Amerika.
Di panggung kemenangan ia menyatakan dengan tegas *I am a Moslem, I am immigrant, and powered by immigrant, no islamophobia*. Ketika Zohran Mamdani yang lahir di Kampala, Uganda, dari keturunan India dan tumbuh besar di Amerika Serikat mengucapkan kalimat demikian, maka kita tidak hanya mendengar pengumuman pribadi, melainkan sebuah manifesto makna.
Dalam perspektif semiotika, setiap kata dalam kalimat itu berfungsi sebagai tanda (sign) yang berpijak pada latar sosial, budaya, dan politik. “Moslem” bukan hanya identitas agama, ia menjadi simbol sejarah perjuangan Muslim dalam ruang publik Barat, sekaligus menghadirkan pembacaan ulang dari stigma yang melekat. Begitu pula penyataan “Immigrant” bukan sekadar status migrasi, melainkan lambang keberanian, gelombang perubahan, dan potensi yang selama ini dipinggirkan. Kalimat “powered by immigrant” lalu membalik relasi, bukan imigran sebagai objek bantuan, melainkan sebagai subjek penggerak, penguat kota dan komunitas. Dan “no islamophobia” tidak sekadar penolakan, tapi klaim etis terhadap ruang bersama yang bebas dari prasangka.
Hermeneutika mengajak kita memasuki lapisan makna di balik teks tersebut, bagaimana ia ditafsirkan dalam konteks sejarah, identitas, dan harapan. Ketika Mamdani menyebut dirinya sebagai Muslim dan imigran, ia tidak hanya menyebut siapa dirinya, tetapi juga menafsir ulang narasi yang biasanya melekat pada orang seperti dirinya. Boleh jadi selama ini “imigran” dianggap beban; “Muslim” dianggap radikal, terkebelang, dan lain-lain. Ia memilih untuk meresapkan identitasnya dalam kerangka penguatan, bukan pembatasan. Ia menafsir ulang bahwa menjadi Muslim tidak membatasi partisipasi publik, dan imigran bukan harus tetap di pinggiran.
Kalimat “I am a Moslem” merujuk langsung kepada keberadaan yang selama ini sering disamarkan atau dituntut untuk “tak kelihatan”. Ia menjadi pengakuan yang lugas, dan dalam itu, sekaligus perlawanan. Dalam semiotik sosial, pengakuan identitas ini memberitahukan bahwa tanda “Muslim imigran” sekarang sedang diregenerasi dari margin ke pusat, dari objek ke subjek.
Dalam perspektif hermeneutikan, Ia mengundang audiens untuk menafsir ulang bagaimana mereka membaca “Muslim”, “imigran”, dan “kekuatan”.
Ketika ia menegaskan “I am immigrant, and powered by immigrant”, ada tindakan retoris yang kuat. Ia mengajak kita membaca peran imigran secara aktif. Mereka bukan semata tiba dan menyesuaikan diri, tetapi mereka membawa energi, membawa kontribusi, membangun ruang. Tanda “immigrant” yang selama ini dibingkai sebagai terlambat, asing, tergantung kini direposisikan menjadi penggerak, dan pemberdaya. Dalam hermeneutika, ini adalah pembalikan makna yaitu narasi lama dilawan dengan interpretasi baru.
Pernyataan “no islamophobia” sebuah frase yang tampak sederhana namun berat muatannya. Ia bukan hanya menolak diskriminasi, melainkan menegaskan harapan akan ruang publik yang inklusif. Simbol islamophobia adalah estetika prasangka yang melekat di banyak komunitas. Mamdani menolak untuk hanya melawan islamofobia, tetapi ia menandai bahwa dunia tanpa islamofobia adalah sesuatu yang bisa diwujudkan dan diproklamasikan. Dalam semiotik, frase ini berfungsi sebagai kode moral, seruan sekaligus visi. Dalam hermeneutika, ia mengundang interpretasi bagaimana masyarakat akan beroperasi ketika prasangka digantikan oleh penghormatan?
Ucapan tegas Mamdani bukan sebatas retorika organik untuk menyampaikan fakta, tetapi menciptakan realitas. Ia mengajak kota, komunitas, dan dunia untuk melihat imigran dan Muslim sebagai kekuatan, bukan hambatan bahkan sebagai kekuatan bersama. Ini adalah pembacaan ulang tanda dan makna yang berdasarkan paradigma hermeneutik perubahan.
Dari sudut sosial-politik, pernyataan Mamdani menegaskan bahwa identitas tidak sekadar latar belakang personal, melainkan sumber daya strategis dalam agenda publik. Semiologi identitas di sini berfungsi sebagai simbol mobilisasi, identitas Muslim, imigran yang secara tradisional dimarginalkan kini menjadi aset politik dan kultural. Hermeneutika identitas menegaskan bahwa siapa kita bukan hanya soal kelahiran atau asal, tetapi bagaimana kita memilih untuk menafsirkan diri dan diterjemahkan dalam aksi publik.
Ucapan Mamdani adalah deklarasi diri, manifesto identitas, dan undangan perubahan yang memiliki resonansi besar. Ia menulis ulang makna melalui kalimat sederhana namun penuh bobot. Sepertinya dia akan menjadi pemimpin besar di masa mendatang.
Sungguminasa 7 Nopember 2025

