Gusdur; Oase Harmoni di Tengah Keragaman

  • 12:54 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Beberapa hari lalu saya diundang ke sebuah agenda Bedah Buku "Oase Gusdur" yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Makassar. Kegiatan yang dihadiri langsung oleh penulis buku Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi yang sering disebut Mas Inung ini dihadiri oleh ratusan peserta baik, tokoh agama, cendekiawan, dan anggota organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

Gus Dur merupakan cahaya di batas zaman yang yang menyalakan lentera keindonesiaan, di tengah riuh minoritas yang sering tak didengar. "Pribumisasi," katanya, bukan sekadar istilah, tapi jalan pulang pada akar. Menurutnya Islam tak harus tampak Arab,

Ia bisa berpakaian batik, berdendang gamelan, wayang hingga dangdutan.

Budaya lokal tak dia anggap musuh iman, melainkan ladang subur menyemai nilai Tuhan. Budaya adalah khazanah memperkaya kebersamaan dan kebersesamaan. Toleransi bukan jargon baginya, tapi napas yang menghidupkan sesama.

Intinya agenda ini merefleksikan kembali bagaimana Gus Dur memberikan penguatan kepada bangsa untuk menjaga dan merawat persatuan di tengah keragaman.

Kita harus meyakini bahwa keragaman yang tidak dikelola dengan bijak bukanlah anugerah, melainkan bara dalam sekam yang siap menghanguskan persatuan. Pernyataan ini mencerminkan kenyataan pahit yang telah melanda banyak bangsa. Konflik berkepanjangan di Suriah, perpecahan di Irak, dan krisis kemanusiaan di Yaman menjadi bukti bahwa keberagaman suku, agama, dan budaya dapat menjadi ancaman nyata bagi eksistensi sebuah negara ketika tidak dikelola dengan hati-hati dan penuh kearifan. Di negara-negara tersebut, identitas kelompok menjadi senjata politik, sementara rasa kebersamaan perlahan terkikis oleh rasa curiga, diskriminasi, dan kekerasan. Tidak sedikit negara di Timur Tengah atau bahkan di kawasan Balkan yang akhirnya runtuh karena kegagalan membangun harmoni dalam keberagaman.

Di tengah tantangan global seperti itu, Indonesia justru tampil sebagai contoh negara multikultural yang tetap kokoh dalam keutuhannya. Dengan lebih dari 1.300 suku bangsa, ratusan bahasa daerah, dan beragam agama, Indonesia bisa saja mengalami nasib serupa jika tidak memiliki fondasi sosial yang kuat. Namun, hingga hari ini, Indonesia tetap utuh. Salah satu kekuatan utama yang menjaga keutuhan tersebut adalah kohesi sosial yang dibangun di atas prinsip saling menghargai dan menerima perbedaan. Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak sekadar menjadi slogan, melainkan menjadi nilai hidup bersama yang diinternalisasi dalam masyarakat. Pendidikan multikultural, baik formal maupun kultural, membantu memperkuat pandangan bahwa perbedaan bukan ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirayakan. Peran tokoh agama dan adat juga sangat penting dalam meredam potensi konflik, sementara budaya gotong royong yang melekat dalam kehidupan sehari-hari menjadi perekat sosial yang sangat efektif.

Meski demikian, harmoni sosial tidak hadir tanpa tantangan. Keretakan bisa terjadi kapan saja ketika identitas dipolitisasi, saat ketimpangan ekonomi menciptakan kecemburuan sosial, atau ketika radikalisme menyusup ke ruang-ruang kesadaran. Apalagi di era digital saat ini, disinformasi dan hoaks sangat mudah tersebar, memprovokasi emosi dan memperuncing perbedaan. Oleh karena itu, merawat keragaman adalah pekerjaan kolektif yang tidak bisa ditunda. Ini bukan semata tentang menjaga warisan leluhur, melainkan tentang menjamin masa depan anak cucu kita. Indonesia yang damai dan harmonis harus terus dibangun dengan kesadaran bahwa perbedaan adalah takdir, tetapi hidup berdampingan dalam damai adalah pilihan yang harus diperjuangkan bersama.

Sungguminasa 5 Mei 2025