“Bayangkan Wajah Walid; Kultus Personal dan Manipulasi Ritual”

  • 12:12 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Kapan konten tik-tok menjadi viral? Jika konten itu diserbu oleh komentar netizen, baik yang pro maupun kontra. Jadi jika ingin viral jangan takut dengan komentar netizen.

Serial Bidaah juga saat ini menjadi trending topik, dan  viral menembus jutaan viewer. Serial ini  bukan sekadar drama religi biasa, tapi cerita tentang bagaimana agama dijadikan komoditas untuk mengambil keuntungan tertentu. 

Film serial ini menyuguhkan kritik tajam terhadap fenomena keberagamaan yang sering kali jatuh pada jebakan simbol dan kultus personal. Disutradarai Pali Yahya dan ditulis oleh Eirma Fatima, Bidaah menjadi cermin satir terhadap bagaimana agama bisa diselewengkan oleh figur-figur kharismatik yang memanfaatkan kehausan spiritual masyarakat untuk mengukuhkan kuasa.

Tokoh Walid Muhammad Mahdi Ilman, pemimpin Jihad Ummah yang mengklaim diri sebagai Imam Mahdi, tampil bukan hanya sebagai antagonis, tetapi sebagai simbol bagaimana kultus individu dapat menghipnotis nalar umat. Kalimatnya yang viral, “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid,” menjadi parodi sekaligus kritik: betapa agama bisa dikaburkan oleh personifikasi kekuasaan, di mana wajah pemimpin lebih penting daripada ajaran.

Fenomena ini tidak asing di tengah masyarakat kita. Tak jarang umat lebih tunduk pada simbol—baik itu jubah, gelar, atau sosok tertentu—daripada substansi ajaran agama itu sendiri. Kepatuhan menjadi absolut bukan karena kebenaran, tapi karena pesona. Ritual menjadi tujuan, bukan jalan. Padahal, spiritualitas sejatinya mengajak berpikir, bukan sekadar ikut.

Suatu hari sebelum ada media sosial, saya ceramah di sebuah desa yang hanya mengenal nama saya, belum pernah melihat wajah saya. Saya menggandeng Qari yang akan mengaji dalam agenda maulid di desa tersebut. Saya pakai helm sementara Qari yang notabene mahasiswa saya memakai peci hitam, sorban dan jas.

Sesampai di desa tersebut, jemaah mesjid yang menunggu semua berdiri menyambut kedatangan ust. Tapi bukan saya yang disambut, tapi mahasiswa yang memakai atribut simbol keagamaan, dia kawal masuk mesjid sementara saya harus menepi memarkir sepeda motor... hehehe.

Kembali ke Bidaah. Kisah Hambali, yang pulang dari Yaman dan menyadari penyimpangan ajaran Walid, memperlihatkan pentingnya pendidikan agama yang kritis. Ia dan Baiduri menjadi representasi penting bahwa melawan penyimpangan bukan sekadar soal keberanian, tetapi soal pemahaman. Ini relevan dengan realitas hari ini, di mana banyak praktik menyimpang diselimuti justifikasi keagamaan—dari poligami eksploitatif, kekerasan berbasis tafsir, hingga sekte-sekte eksklusif yang menutup pintu diskusi.

Yang membuat Bidaah lebih menarik, mungkin justru respons netizen. Meme dan parodi yang menjamur menunjukkan dua hal: pertama, bahwa masyarakat sebenarnya punya sensitivitas terhadap kebodohan kolektif yang dibalut agama; dan kedua, ada peluang edukasi di balik viralitas. Ketika “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid” menjadi bahan lelucon, ia sekaligus menyadarkan bahwa simbol tidak layak disakralkan tanpa akal.

Bidaah adalah refleksi—tentang bagaimana iman bisa jadi alat kuasa, bagaimana simbol bisa membutakan, dan bagaimana masyarakat perlu lebih beragama secara rasional daripada emosional. Serial ini mengajak kita bukan sekadar menonton, tapi merenung: selama ini, kita menyembah Tuhan, atau menyembah representasi Tuhan?

Sungguminasa, 21 April 2025

Barsihannor