Pagi lebaran, hamparan manusia berkumpul di mesjid atau lapangan luas. Gema takbir dari berbagai penjuru saling bersahutan. Ribuan umat Islam berbondong-bondong datang, mengenakan pakaian terbaik mereka, membawa sajadah, dan sebagian besar, selembar koran sebagai alas duduk.
Shaf demi shaf tersusun rapi, menciptakan lautan putih yang khusyuk dalam sujud dan doa. Wajah-wajah penuh syukur, tangan-tangan saling menjabat, memohon maaf dalam kebersamaan yang hangat. Namun, seiring berlalunya waktu, ketika jemaah mulai meninggalkan lapangan, kadang pemandangan lain tersaji: koran-koran tertinggal begitu saja, terbawa angin, berserakan tanpa arah.
Panitia masjid yang masih bertahan di tempat hanya bisa menghela napas, mulai memunguti lembar demi lembar yang tercecer. Padahal, jika setiap orang membawa kembali korannya, lapangan itu akan tetap sebersih ketika mereka datang. Ironi dari sebuah perayaan kesucian: di satu sisi, hati dibersihkan dari dosa, namun lingkungan ditinggalkan dalam ketidakteraturan. Lapangan yang semula bersih berubah menjadi lautan kertas koran yang berserakan. Seakan-akan jejak ibadah yang suci harus diakhiri dengan pemandangan yang jauh dari makna fitrah. Padahal, jika kita ingin benar-benar mengamalkan fitrah—yang dalam Islam berarti kesucian dan kebersihan—maka meninggalkan sampah begitu saja bukanlah bagian darinya.
Sejatinya, kebersihan bukan sekadar ritual, tetapi bagian dari spiritualitas. Jika setiap jemaah berkenan membawa kembali korannya, panitia tidak perlu lagi sibuk mengumpulkan tumpukan kertas yang tercecer. Tindakan kecil ini bukan hanya soal disiplin, tetapi juga wujud penghormatan terhadap tempat ibadah, lingkungan, dan nilai-nilai yang kita agungkan. Fitrah bukan hanya tentang kembali bersih dari dosa, tetapi juga menjaga kebersihan dalam setiap aspek kehidupan.
Namun, lebih dari sekadar koran yang berserakan, ada sampah lain yang harus kita bersihkan: sampah dalam hati. Dendam yang mengendap, iri yang menggerogoti, kesombongan yang menggunung, riya yang menyelinap halus—semua itu jauh lebih berbahaya daripada sampah fisik. Jika kita ingin benar-benar merayakan Lebaran dalam makna yang utuh, mari kita bersihkan hati sebagaimana kita membersihkan lingkungan. Sebab, kebersihan sejati bukan hanya tentang apa yang tampak di mata, tetapi juga tentang kejernihan jiwa yang menuntun kita kepada kesejatian.
Idulfitri bukan sekadar kembali berbaju baru, tetapi kembali kepada jati diri yang suci. Ia adalah momen penyucian, di mana kita belajar melepaskan beban dunia, mengikhlaskan kesalahan, dan merangkul sesama dengan hati yang lapang. Seperti bayi yang lahir dalam kepolosan, Idulfitri memberi kita kesempatan untuk memulai lembaran baru, bebas dari dendam, iri, dan segala noda jiwa yang membelenggu.
Idulfitri adalah tentang kembali ke fitrah—kebersihan hati dan juga kebersihan sekitar. Seperti halnya kita berusaha menghapus dendam dan iri dari hati, seharusnya kita juga menjaga kebersihan tempat yang kita gunakan untuk beribadah. Karena sejatinya, kebersihan bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang kesadaran dan tanggung jawab bersama.
Selamat Idul Fitri 1446 H mohon maaf lahir dan batin
Sungguminasa 30 Ramadhan 1446 H