Agama dan Kebangsaan: Dua Pilar Tak Terpisahkan

  • 01:02 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Malam ke-26 Ramadan saya ceramah di masjid Agung takalar. Sengaja ceramah saya persingkat dari 15 atau 20 menit menjadi 10 menit. Saya sampaikan kepada jamaah ini untuk memberi kesempatan kepada mereka menyaksikan Timnas berlaga melawan Bahrain. Selepas shalat tarawih sekitar pukul 21.10 para jamaah menyalami saya, dan berkata ceramah saya sangat bagus. Saya bertanya kenapa bagus? Mereka bilang, disamping kontennya, juga karena ceramah nya singkat.

Malam itu saya memang berbicara tentang agama dan kebangsaan. Saya sampaikan bahwa agama dan kebangsaan adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya membentuk identitas yang melekat dalam diri seseorang. Ketika kita bepergian ke luar negeri, hal pertama yang dicari adalah paspor, simbol  kebangsaan kita. Paspor menunjukkan dari negara mana kita berasal, bukan apa agama kita. Ini menegaskan bahwa kebangsaan memiliki peran dominan dalam interaksi global, meskipun agama tetap menjadi bagian penting dari kehidupan pribadi seseorang.

Untuk memahami bagaimana agama dan kebangsaan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihatnya melalui dunia olahraga, khususnya sepak bola. Sepak bola adalah olahraga yang mampu menyatukan masyarakat tanpa memandang latar belakang agama. 

Dalam pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain, kita melihat bahwa dukungan terhadap sebuah tim tidak ditentukan oleh agama, tetapi oleh kebangsaan. Bahrain adalah negara mayoritas Muslim, dan sebagian besar pemainnya beragama Islam. Sebaliknya, Timnas Indonesia memiliki keberagaman agama, dengan mayoritas pemainnya bukan Muslim. Namun, ketika pertandingan berlangsung, suporter Indonesia tetap mendukung Timnas Indonesia, bukan Bahrain.

Tapi jika tidak ada kaitannya dengan kebangsaan kita, jika yang bermain misalnya timnas Arab vs Rusia, maka umumnya masyarakat muslim mendukung Arab. Ini karena ada sintemen agama. Tapi jika tendensi agama dihadapkan pada nasionalisme, biasannya nasionalisme lebih diutamakan.

Ini menunjukkan bahwa dalam konteks nasionalisme, kebangsaan lebih menonjol dibandingkan dengan identitas agama. Kita tidak bertanya tentang agama pemain sebelum memberikan dukungan, melainkan kita melihat mereka sebagai bagian dari bangsa kita. Inilah esensi kebangsaan yang sebenarnya—menyatukan masyarakat di bawah satu identitas nasional, tanpa melihat perbedaan keyakinan.

Namun, bukan berarti agama tidak penting. Justru agama dapat menjadi fondasi moral bagi individu dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam dunia olahraga. Pemain yang taat beragama akan menjunjung tinggi sportivitas, disiplin, dan etika dalam bermain. Agama dan kebangsaan bisa berjalan berdampingan, saling menguatkan, dan membentuk karakter bangsa yang tangguh.

Oleh karena itu, kita harus melihat agama dan kebangsaan sebagai dua pilar yang saling melengkapi. Agama memberikan nilai-nilai moral dan spiritual, sementara kebangsaan menyatukan masyarakat dalam identitas yang lebih luas. Seperti dalam sepak bola, kebangsaan menjadi kekuatan pemersatu yang menempatkan perbedaan agama di bawah semangat nasionalisme. Dengan demikian, kita dapat hidup berdampingan dalam keberagaman, tetap setia pada agama, tetapi juga mencintai bangsa dengan sepenuh hati.

Sungguminasa 26 Ramadhan 1446 H