Era Post-Truth: Menggeser Landasan Kebenaran

  • 09:12 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Minggu lalu saya berada di sebuah  kampus negeri di Yogyakarta. Saya hadir karena diundang untuk menjadi narasumber pada kegiatan workshop Pembukaan prodi Kajian Budaya dan Informasi. Kegiatan dihadiri oleh dosen, mahasiswa, dan stakeholder.

Sebelum agenda resmi dimulai peserta yang hadir menginformasi kepada saya untuk klarifikasi terkait  kasus uang palsu. Hampir semua mereka berpersepsi bahwa (a)16 orang (saat itu) yang ditangkap adalah orang UIN Alauddin, dan (b) UIN punya percetakan uang. Persepsi ini terjadi karena melihat opini/berita yang diulang-ulang di platfrom media.

Saya pun menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi sesuai dengan fakta-fakta bahwa dari 16 itu hanya 2 orang dari UIN dan percetakan bukan juga miliki UIN Alauddin. Mereka pun baru mengerti dan menyampaikan terimakasih atas klarifikasi saya.

Hari ini kita tengah memasuki Era post-truth, sebuah era dimana kebenaran tidak lagi berbasis data, kepada opini yang diulang-ulang.

Kebenaran tidak lagi merujuk kepada fakta, tetapi mengacu pada keadaan di mana fakta objektif dan data cenderung diabaikan dalam pembentukan opini publik, lalu digantikan oleh emosi dan keyakinan pribadi. Dalam konteks ini, kebenaran menjadi relatif, dan sering kali ditentukan oleh narasi yang paling menarik perhatian atau memperkuat pandangan tertentu, bukan berdasarkan bukti empiris. 

Era post-truth ini diperkuat oleh kemajuan teknologi dan media sosial yang memungkinkan penyebaran informasi (atau disinformasi) dengan cepat tanpa melalui proses verifikasi dan validasi yang memadai. Orang cenderung mencari informasi yang sesuai dengan pandangan mereka (confirmation bias) dan mengabaikan bukti yang bertentangan. 

Era post-truth sering memicu perpecahan karena opini pribadi menjadi sangat kaku. Opini didasarkan atas sebuah asumsi atau dugaan-dugaan yang tidak diperkuat dengan data. Karenanya di era post-truth berita palsu dan hoaks menyebar lebih cepat daripada fakta, lalu membentuk opini publik secara salah, dan melahirkan berbagai dugaan yang tidak berdasar dan cenderung mengarah ke fitnah

Karena itu, masyarakat akademik harus selalu meningkatkan kemampuan memilah informasi, mencari  sumber berita yang kredibel, memeriksa fakta melalui platform verifikasi, dan menghindari mempercayai informasi hanya karena sesuai dengan keyakinan pribadi.

Di era post-truth, emosi sering digunakan untuk memanipulasi opini. Karena itu,  setiap individu sejatinya harus lebih bertanggung jawab terhadap informasi yang diterima dan disebarkan. Dengan memperkuat literasi informasi, berpikir kritis, dan menghargai data, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih sehat dan mengurangi dampak negatif dari era ini. Kebenaran harus tetap menjadi landasan bersama untuk membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkemajuan.

Jumat 27 Desember 2024