Di sebuah sekolah di Amerika bagian utara, terdapat sebuah institusi pendidikan setingkat SD dan SMP. Sebagaimana biasa, di sini diselenggarakan proses pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik. Tetapi ada hal yang menarik dari proses pendidikan di tempat ini yaitu pendidikan pola mindset dan internalisasi kesadaran kosmik.
Dalam setiap triwulan, sekolah ini menyelenggarakan event perlombaan dan pertandingan baik akademik maupun non akademik. Setiap event dilaksanakan, masing-masing grup atau individu didampingi oleh guru pendamping/mentor atau orang tua mereka. Uniknya di semua perlombaan dan pertandingan, setiap peserta wajib membaca doa sebelum pertandingan/perlombaan dimulai.
Tahukan anda, kira-kira doa apa yang mereka pinta? Doa dan harapan apa yang mereka panjatkan? Doa kemenangan?....ooh ternyata tidak. Mereka tidak diajarkan untuk meminta doa kemenangan sebagaiman lazimnya kebanyakan orang berdoa. Mereka diajarkan berdoa untuk selalu kuat dan sabar jika menelan kekalahan.
Kenapa mereka berdoa demikian? Mereka menyadari teori kosmos bahwa manusia ini memang terlahir sebagai pemenang. Setiap manusia yang lahir, dia adalah petarung yang memenangkan perlombaan dari miliaran peserta yang akan menjadi manusia. Jadi sudah ada doktrin dan mindset di dalam diri manusia bahwa mereka adalah makhluk pemenang. Itu sebabnya, jika seseorang kalah dalam sebuah kontestasi, dia memiliki banyak alasan untuk membela diri. Dia akan mengatakan orang di luar dirinya yang melakukan kecurangan, tidak sportif, dan lain-lian.
Lihat saja sejumlah contoh di sekitar kita, pilkada misalnya? Mereka yang kalah biasanya belum mau mengakui kekalahan. Mereka masih melakukan pembelaan diri dan berargumen untuk menyudutkan factor eksternal di luar dirinya. Ini lumrah terjadi, karena memang mindset manusia seperti itu. Dia belum memiliki kesadaran kosmik bahwa kalah-menang itu adalah sunnatullah, juga belum memahami hakikat kekalahan dan kemenangan sebagai sebuah dinamika kosmik.
Hakikat kekalahan dan kemenangan dalam sebuah kontestasi, terutama dalam konteks politik atau kehidupan secara umum, tidak semata-mata terletak pada hasil akhir, tetapi pada makna, pelajaran, dan nilai yang dapat diambil dari proses tersebut. Kedua hal ini adalah dua sisi dari perjalanan manusia yang mengajarkan kebijaksanaan, kedewasaan, dan pemahaman mendalam tentang kehidupan.
Kekalahan, secara lahiriah, sering kali dianggap sebagai sebuah kegagalan atau akhir dari perjuangan. Namun, dalam hakikat yang lebih mendalam, kekalahan adalah sarana introspeksi diri. Kekalahan adalah momen yang memaksa seseorang untuk merenung dan mengevaluasi dirinya sendiri, baik dalam hal strategi, niat, maupun cara menghadapi situasi. Hal ini menciptakan ruang untuk memperbaiki kekurangan dan mempersiapkan diri lebih baik. Kekalahan juga pada hakikatnya untuk menguji sejauh mana seseorang mampu menerima takdir dengan lapang dada dan tetap berusaha tanpa kehilangan semangat. Dalam Islam, kekalahan adalah salah satu bentuk ujian dari Allah swt yang bukan menjadi akhir segalanya, tapi justru, awal baru. Kekalahan adalah pengingat bahwa setiap perjalanan memiliki titik balik, dan kekalahan hari ini bisa menjadi pijakan untuk kemenangan di masa depan.
Di sisi lain, kemenangan yang sering dianggap sebagai puncak keberhasilan bukanlah sebuah superioritas, karena di atas langit masih ada langit. Kemenangan pada hakikatnya adalah menempatkan kesadaran kosmik bahwa yang bersangkutan memikul sejumlah amanah dan reputasi yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam Islam, kemenangan bukanlah sekadar prestasi pribadi, melainkan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan adil dan bijaksana .
Oleh karenanya, baik kemenangan maupun kekalahan merupakan medium titik tolak untuk bertumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih arif. Keduanya merupakan guru terbaik dalam kurikulum kehidupan. Belajarlah dari Presiden Prabowo, dan tokoh lainnya yang malang melintang dalam dunia kegagalan, tetapi akhirnya sukses mewujudkan impian.
Sungguminasa 2 Desember 2025