Trans disipliner studies bermakna upaya meniadakan pemisahan antara ilmu umum dengan ilmu agama dan semua ilmu yang dikembangkan disadari saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Demikian salah satu ide penting yang disampaikan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar Prof. Hamdan Juhannis, MA., Ph.D dalam pada agenda International Conference on Sains and Islamic Studies yang diselenggarakan oleh PPs UIN Alauddin Makassar 25 November 2024. Gagasan transdisiplinary studies ini merupakan pengembangan dari agenda integrasi keilmuan yang saat ini menjadi landscap pengembangan ilmu di UIN Alauddin Makassar.
Islam sebagai agama universal dan akan terus berlaku sepanjang zaman tersurat dalam QS. Al-Maidah/5; 3, dan QS. al-Anbiya/23; 107. Yang pertama menyebut bahwa Islam adalah nikmat Allah yang telah disempurnakan, dan yang kedua menyatakan bahwa Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam. Sebagai agama rahmat, Allah swt memberikan metode kepada umat Islam melalui tiga perintah utama. Pertama, perintah membaca sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Alaq; 1-5. Kedua, perintah menulis sebagaimana terdapat dalam QS. A-Qalam; 1, dan ketiga, perintah Allah kepada umat Islam untuk menjadi umat terbaik (QS. Ali Imrah; 110). Lalu sudahkan umat Islam menjalankan amanah ini? Pada periode klasik dan abad pertengahan lalu iya. Bahkan umat Islam meraih the golden age (masa kejayaan). Lalu bagaimana dengan kondisi umat Islam sekarang di tengah perkembangan sains dan teknologi modern.
Akbar S. Ahmad menyebut situasi saat ini sebagai sebagai era postmodernisme, sementara Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai abad megamekanis, sebuah era dimana peran-peran manusia perlahan namun pasti mulai digantikan oleh peran mesin. Interaksi sosial yang dahulu dilakukan secara komunal mulai digantikan oleh aplikasi seperti whatsapp, instagram, facebook, youtube, tik-tok, twitter dan sejenisnya. Terjadi perubahan pola hidup yang sangat drastis. Interaksi sosial khususnya pada anak-anak atau milenial dirampas oleh kehadiran teknologi digital ini. Tidak aneh, jika internalisasi nilai-nilai edukatif orang tua kepada anak di rumah tangga perlahan namun pasti juga mulai diambil alih oleh mesin.
Era disrupsi digital memosisikan umat Islam berhadapan dengan serangkaian tantangan baru yang mungkin tidak pernah disadari sebelumnya. Saat globalisasi informasi terjadi dan menyapa berbagai kalangan, berbagai persoalan baru pun teridentifikasi dan menjadi bahan diskusi dan perdebatan, misalnya kesadaran akan nilai penting dimensi kemanusiaan di samping dimensi ketuhanan. Demikian halnya kesadaran akan perlunya pola keberagamaan yang membumi di samping pola yang melangit, dan juga kesadaran akan pentingnya pembumian kitab suci untuk mengatasi berbagai wacana kontemporer.
Di tengah hempasan gelombang disrupsi, Ziauddin Sardar mengingatkan bahwa masalah terbesar umat Islam saat ini; Pertama, ketidakmampuan mengapresiasi kekuatan diri. kedua, gagal memahami realitas dunia kontemporer, dan ketiga, ketidakmampuan merespon perkembangan dunia dengan cepat. Akibatnya, umat Islam terjebak dalam sikap yang reaktif, lari dari satu jalan buntu, ke jalan buntu lain, dari satu lorong ke lorong lain tanpa menemukan ruang bebas yang menghantarkan umat Islam dapat berionvasi dengan pemikiran-pemikiran kreatif dan progresif.
Di saat dunia sudah bergerak cepat maju ke depan, umat Islam masih berjalan di tempat. Ajaran Islam yang begitu komprehensif, adaptable dan universal mengalami stagnasi di tangan umatnya sendiri. Umat Islam kurang mampu menangkap semangat universalisme dan kosmopolotanisme Islam. Di saat orang lain sudah berlari cepat, umat masuk sibuk berjalan di tempat. Ketika dunia Barat sudah mendiskusikan kemungkinan manusia hidup di planet Mars, umat Islam hanya mempercakapkan aspek-aspek furuiyah yang tidak pernah ada ujung pangkalnya hingga kiamat. Umat Islam kurang memiliki etos keilmuan yang tinggi sebagaimana yang pernah diraih pada abad keemasan Islam (the golden age of Islam). Potensi akal kurang diberdayakan dengan maksimal sehingga yang dihasilkan oleh umat Islam hanya sekadar pengulangan-pengulangan tulisan yang telah ada sebelumnya, tanpa inovasi yang diperlukan sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman. Sebagian umat Islam alergi dengan kemajuan media sosial berbasis digital dan AI, akibatnya aplikasi itu dimanfaatkan orang lain untuk menjauhkan Islam dari umatnya.
Di sinilah perlunya agenda interdisciplinary studies dikembangan. Membaca dan menulis yang diperintahkan al-Quran tidak tertuju pada hanya satu bidang ilmu secara dikhotimis, tetapi mencakup ilmu yang dapat menghantarkan hadirnya sebuah peradaban irfani. Harus diakui bahwa umat Islam belum mampu menangkap realitas kontemporer yang terus berkelindan dalam kehidupan. Lemahnya daya baca atas teks suci dan atas fenomena kontemporer mengakibatkan umat Islam terkungkung dalam “fatalisme” belum berani melakukan ijtihad transformatif. Umat Islam masih terjebak dalam kebekuan tafsir tekstual. Ilmu hanya dipadang sebatas kebutuhan untuk selamat hidup di akhirat, akibatnya umat Islam hanya fokus pada pendalaman ilmu agama, lalu lupa ilmu lainnya.
Hanya dengan membaca, menulis dan berjuang menjadi manusia terbaik sebagaimana pesan al-Quran, peradaban akan terus berkembang dan bergerak maju. Ketika sebuah bangsa atau umat melupakan pesan ini, bersiaplah umat itu tenggelam dalam gelombang dahsyat berubahan, tidak dapat bangkit, lalu lenyap dalam lintasan sejarah manusia.
Jakarta 29 November 2024