Etika di atas Hukum dan Politik

  • 08:28 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Tumpah ruah bagai gelombang sunami yang menerjang, itulah fenomena unjukrasa yang terjadi pada Kamis 22 Agustus 2024 yang bertujuan mengawal keputusan Mahkamah Konstitusi no 12/PUU/XII/2024 dan  bentuk protes terhadap rapat paripurna anggota DPR RI menyikapi keputusan MK tersebut. Apa yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa di depan gedung parlemen tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Akal sehat dan nilai etis masyarakat terganggu akibat hadirnya ketidakadilan dalam demokrasi.  Ketidakadilan sesungguhnya bentuk pengingkaran atas moral values atau fitrah manusia. Jika ketidakadilan dilakukan terus-menerus dia akan terukumulasi menjadi gunung api yang suatu saat siap meledak dan menyemburkan lahar panas. Karena itu, masyarakat harus memahami bahwa prinsip hidup berbangsa itu harus berpegang pada dua pilar utama yaitu etika dan hukum.

Etika dan hukum adalah dua pilar utama yang membentuk fondasi masyarakat. Meskipun keduanya saling terkait, etika sering kali dianggap sebagai pedoman moral yang lebih tinggi dan mendasar dibandingkan dengan hukum. Hukum bersifat formal, ditulis dan ditegakkan oleh negara, sementara etika mencakup norma-norma moral yang sering kali tak tertulis tetapi diakui secara luas oleh masyarakat. Sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah etika berada di atas hukum, atau sebaliknya? Banyak pakar dalam berbagai bidang berpendapat bahwa etika adalah landasan moral yang lebih tinggi daripada hukum, memberikan panduan yang lebih luas bagi tindakan manusia.

Menurut Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang terkenal dengan filsafat moralnya, etika adalah sesuatu yang bersifat universal dan tak terikat oleh waktu atau tempat tertentu. Dalam pandangannya, prinsip-prinsip etika harus menjadi landasan bagi hukum. "Etika mendikte apa yang harus dilakukan manusia berdasarkan akal budi murni, bukan karena paksaan dari luar," kata Kant. Hukum, bagi Kant, adalah bentuk eksternal dari etika yang diatur oleh masyarakat, tetapi sering kali tidak sempurna dan terbatas.

Hukum dibuat oleh manusia dan dijalankan oleh institusi yang terbatas pada waktu dan konteks sosial tertentu. Hal ini menyebabkan hukum tidak selalu mencerminkan keadilan yang sejati. Martin Luther King Jr., dalam perjuangannya melawan ketidakadilan rasial di Amerika Serikat, dengan tegas menyatakan, "Kita memiliki tanggung jawab moral untuk melanggar hukum yang tidak adil." Baginya, hukum yang tidak adil adalah bentuk hukum yang tidak selaras dengan prinsip moral atau etika yang lebih tinggi.

Filosof hukum seperti Ronald Dworkin juga menyatakan bahwa hukum tidak bisa terlepas dari pertimbangan etika. Dalam bukunya Law’s Empire, Dworkin menyebutkan bahwa hukum seharusnya berfungsi sebagai refleksi dari prinsip-prinsip moral yang lebih mendalam. "Hukum harus dilihat sebagai bagian dari proyek moral yang lebih besar untuk memperlakukan semua orang dengan rasa hormat dan martabat yang sama," tulis Dworkin.

 Dari beberapa pendapat di atas disimpulkan bahwa etika berada di atas hukum karena ia mewakili prinsip-prinsip moral yang lebih mendalam dan lebih luas yang sering kali tidak bisa dijabarkan sepenuhnya oleh hukum tertulis. Hukum hanyalah cerminan dari norma-norma etis yang ada dalam masyarakat, dan ketika hukum gagal mencerminkan keadilan atau kebaikan, etika memiliki peran untuk menuntun manusia menuju tindakan yang benar.

Hukum dan politik, meskipun seringkali berinteraksi dalam ranah pemerintahan dan administrasi negara, memiliki peran dan fungsi yang berbeda dalam tata kelola masyarakat. Secara teoretis, hukum berada di atas keputusan politik, berperan sebagai landasan normatif yang menjaga agar tindakan-tindakan politik tetap dalam koridor legalitas dan keadilan. Narasi akademis ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep supremasi hukum (rule of law) dalam konteks hubungan antara hukum dan keputusan politik, serta implikasinya terhadap stabilitas demokrasi dan keadilan sosial.

Keputusan politik sering kali bersifat pragmatis, adaptif, dan bertujuan untuk merespon kondisi sosial-ekonomi atau keamanan yang terus berubah. Namun, keputusan politik tidak dapat dilepaskan dari kerangka hukum yang ada. Politik tanpa hukum berpotensi mengarah pada tirani mayoritas, di mana keputusan diambil berdasarkan kekuasaan atau kepentingan kelompok tertentu tanpa memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia.

Dalam tatanan negara hukum, keputusan politik harus tunduk pada hukum. Ini berarti bahwa semua tindakan dan kebijakan politik, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif, harus sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku. Mekanisme checks and balances, serta keberadaan lembaga yudikatif yang independen, dirancang untuk memastikan bahwa keputusan politik tetap dalam koridor legalitas.

Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi di berbagai negara demokrasi termasuk di Indonesia memiliki kewenangan untuk membatalkan kebijakan atau undang-undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Ini menunjukkan bagaimana hukum dapat membatasi kekuasaan politik dan mencegahnya dari pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional warga negara.

John Locke, dalam Second Treatise of Government (1689), memperkenalkan gagasan bahwa kekuasaan politik harus dibatasi oleh hukum alam yang bersumber dari hak-hak alami manusia. Locke menyatakan bahwa hukum harus menjadi pembatas utama terhadap keputusan politik yang melanggar hak-hak individu. Dalam pandangan Locke, hukum bukan hanya alat untuk menjaga ketertiban, tetapi juga pelindung kebebasan dan hak asasi manusia dari ancaman otoritas politik yang sewenang-wenang.

Pendapat  ini secara konsisten menekankan bahwa hukum harus menjadi pedoman utama dalam pengambilan keputusan politik. Supremasi hukum tidak hanya bertindak sebagai pengontrol kekuasaan politik tetapi juga sebagai instrumen yang melindungi hak-hak individu dan memastikan stabilitas dalam sistem politik. Dengan demikian, hukum di atas keputusan politik adalah prinsip fundamental yang mendukung tatanan demokrasi dan keadilan dalam smasyarakat.

Jika masyarakat Indonesia mengabaikan prinsip di atas, maka negara ini  bisa jadi menjadi negara ngeri-ngeri sedap (meminjam istilah Metro TV). Dikatakan ngeri karena adanya ketidakadilan demokrasi yang memancing ledakan dan erupsi massal, Dikatakan sedap, karena negeri ini menghadirkan berbagai fasilitas (sumber daya alam)  yang sangat menjanjikan, dan masih memiliki masyarakat yang ramah, toleran dan cinta persatuan. 

Sungguminasa 23 Agustus 2024