Peristiwa hijrah Rasulullah saw dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang. Ada yang melihatnya sebagai gerakan pembaharuan keimanan, ada yang memandangnya sebagai gerakan sosial dan ekonomi umat, bahkan ada yang menilai peristiwa hijrah sebagai sebuah gerakan politik. Apapun sudut pandang itu, tentu kita tidak dapat mengklaim sepihak hanya perspektifnya yang benar dan yang lain keliru. Yang jelas, peristiwa hijrah adalah sebuah peristiwa perubahan. Perubahan dari situasi yang tidak baik, dan kurang menguntungkan ke situasi yang lebih menguntungkan dan lebih baik.
Tujuan Nabi berhijrah tidak lain adalah untuk menyelamatkan agama dan mengembangkannya sesuai dengan titah Sang Maha Pencipta. Agama yang menjadi misi utama nabi bukanlah sebuah produk pemikiran manusia seperti budaya yang penuh dengan simbol dan dekorasi, tetapi agama (Islam) merupakan institusi kewahyuan dan keilahian yang Allah berikan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. Agama sarat dengan nilai dan makna. Esensi agama bukan rangkaian sejumlah simbol seperti di dalam budaya, akan tetapi ia merupakan sistem nilai yang harus terefleksi dalam setiap gerakan dan tindakan manusia.
Terdapat dua jenis hijrah. Pertama, hijrah hissiyyah (hijrah fisik dengan berpindah tempat), dari Dar al-khauf (negeri yang tidak aman dan tidak kondusif) menuju Dar al-amn (negeri yang relatif aman dan kondusif), seperti hijrah dari Kota Makkah ke Habasyah (Ethiopia) dan dari Makkah ke Madinah. Kedua, hijrah ma'nawiyyah (hijrah nilai). Yakni, dengan meninggalkan nilai-nilai atau kondisi-kondisi jahiliah untuk berubah menuju nilai-nilai atau kondisi-kondisi Islami, seperti dalam aspek akidah, ibadah, akhlak, pemikiran dan pola pikir, muamalah, pergaulan, cara hidup, kehidupan berkeluarga, etos kerja, manajemen diri, manajemen waktu, manajemen dakwah, perjuangan, pengorbanan, serta aspek-aspek diri dan kehidupan lainnya sesuai dengan tuntutan keimanan dan konsekuensi keislaman.
Momentum tahun baru hijriyah 1 Muharram 1446 H ini harus mampu dihayati untuk menghadirkan nilai-nilai kebaikan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sosial. Ritual zikir akbar yang sering dilaksanakan dalam peringatan tahun baru Islam seperti yang saya temukan di beberapa mesjid tidak berhenti hanua sebatas zikir lisani (zikir dengan lisan), tetapi harus dilanjutkan dengan zikir amali. Kemajuan bangsa yang dicita-citakan bersama tidak dapat tercapai jika masyarakat hanya ”merayu” Tuhan dengan sebatas zikir lisani, akan tetapi harus disertai dengan zikir amali.
Agama mengajarkan manusia untuk pandai-pandai membaca realitas sosial guna memperkaya perspektif batin dalam menghadapi tantangan moral zaman. Doktrin akidah, syariah dan muamalah yang terdapat di dalam agama (baca; Islam) harus menjadi lebih fungsional dan menjadi pegangan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Perspektif akidah mewakili dimensi afektif (religious conscousness) yang dapat menjadikan manusia memiliki mental dan moral yang teguh dan kokoh, sebab akidah pada hakikatnya membentuk manusia membebaskan diri dari tirani hawa nafsu. Akidah mendidik manusia tentang kesadaran ilahiyah, yaitu sebuah kesadaran akan hadirnya Tuhan di setiap ruang dan waktu. Kesadaran ini sejatinya menumbuhkan sifat kejujuran, kesabaran, kedisiplinan dan kepekaan sosial.
Dimensi syariah mewakili dimensi kognitif (ilmu) yang mendorong manusia melahirkan karya dan kreativitas, sehingga tidak lagi larut dan terjebak pada persoalan khilafiyah yang cukup menghabiskan energi untuk selalu berdebat dan saling menyalahkan. Sedangkan muamalah mewakili dimensi psikomotorik agar manusia cerdas dalam kehidupan bersama dan bersesama. Perbedaan suku, agama, ras, bahasa dan warna kulit tidak lagi dipandang sebagai perbedaan yang membawa kepada perpecahan, tetapi sebuah keniscayaan keragaman yang menghantarkan masyarakat Indonesia kepada persatuan.
Kamaruddin Hidayat (2000) menyatakan bahwa perbedaan dan keragaman dalam pandangan Islam merupakan hukum alam yang memang merupakan kehendak Allah. Justeru dengan perbedaan dan keragaman itu dimungkinkan adanya kerjasama dan perlombaan mengejar kebaikan. Masyarakat harus mampu menangkap hikmah di balik perbedaan. Perbedaan itu laksana ikan yang berenang di air yang bening di balik batu-batu karang yang keras dan tajam. Di satu sisi, ia menyimpan kesan keangkeran, namun di sisi lain, justeru menimbulkan suasana keindahan yang amat menakjubkan.
Sungguminasa 8 Juli 2024