Saya tertarik membaca tulisan Prof. H. Hamdan, MA, Ph.D (Rektor UIN Alauddin Makassar) terkait pentingnya reorientasi fikih haji sebagai sebuah ikhtiar untuk menjaga keselamatan jiwa (Hifz al-nafs). Tulisan ini menggugah pikiran saya bahwa apa yang disampaikan oleh Prof. Hamdan bukanlah narasi subjektif, tetapi fakta emperis yang langsung dilihat dan dialaminya di tanah suci selama menjadi anggota monev penyelenggaraan haji Indonesaia. Meski Prof. Hamdan menegaskan bahwa pelaksanaan ibadah haji tahun ini (2024) sudah sangat baik, tetapi beliau tetap meminta agar ijtihad fiqhiyah terkait haji ini terus dikaji untuk tujuan kemaslahatan penyelenggaraan ibadah haji.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengkritisi pelaksanaan ibadah haji yang selama ini sudah dijalankan, apalagi membuat fatwa atau kaidah baru, tetapi hanya semata-mata untuk membuka kembali diskursus yang pernah dikemukakan oleh Masdar F. Masudi terkait waktu pelaksanaan ibadah haji yang tidak hanya terkonsentrasi pada awal-awal bulan Zulhijjah.
Masdar tentu memiliki argumen yang kuat untuk mendukung gagasan ini;
Pertama, perkembangan jemaah haji dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Ini dapat dilihat dari daftar tunggu (Waiting List) calon jemaah haji Indonesia sangat panjang. Sebut saja misalnya di daerah Kab. Bantaeng Sulsel, jika calon jemaah mendaftar hari ini di kabupaten ini, maka dia harus bersabar menunggu 45 tahun lagi. Begitu pula di Kabupten lainnya, daftar tunggunya relatif tidak terlalu jauh berbeda. Ini tentu menjadi problem tersendiri dalam pengelolaan dan penyelenggaraan ibadah haji, belum lagi aspek terbatasnya ruang dan waktu dalam pelaksanaan ibadah haji. Animo yang tinggi ini tentu dilandasi oleh semangat keberagamaan yang tinggi, mengingat balasan haji mabrur tidak lain kecuali surga (hadis).
Krusialitas penyelenggaraan haji ini disebabkan oleh terbatasnya kuota sebagai efek dari terbatasnya fasilitas dan tempat pelaksanaan ibadah haji (masyair al-haram). Meski beberapa tahun silam pemerintah Saudi sudah melakukan ijtihad memperluas wilayah Arafah, Musdalifah, dan Mina untuk meningkatkan pelayanan dan kenyamanan kepada jemaah tetap saja ijtihad memperluas wilayah ini belum bisa secara maksimal mengatasi problematika perhajian. Banyaknya jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia tidak berbanding lurus dengan tempat dan fasilitas yang tersedia, dan saya kira pemerintah Saudi dan tentu juga kita semua tidak ingin tragedi mina (3 juli 1990) yang menelan ribuan jiwa terulang kembali.
Kedua; Nabi hanya sekali melaksanakan ibadah haji tepatnya pada tahun ke 10 Hijriyah/Maret 632 M, yang dikenal sebagai haji wada (perpisahan) setelah empat tahun menerima wahyu tentang perintah berhaji. Pada kesempatan itu, Nabi menjelaskan tata cara/manasik ibadah haji dan 82 hari kemudian Nabi wafat. Dengan pelaksanaan sekali seumur hidup, dan mendekati hari beliau wafat,serta situasi jemaah yang tidak sebanyak hari ini, maka waktu pelaksanaan ibadah haji oleh Nabi tidak beragam, hanya terkonsentrasi di awal zulhijjah saja. Padahal menurut Masdar, terdapat petunjuk yang jelas di dalam QS. al-Baqarah; 197; al-hajj asyhurun ma’lumat bahwa haji itu pada bulan-bulan yang ditentukan. Menurut Masdar ayat menegaskan tentang waktu berhaji.
Kata asyhur (plural) yang bermakna bulan-bulan, berasal dari kata syahr (singular) yang berarti bulan. Sebagian ulama menyatakan ayat ini berbicara tentang waktu haji. Imam al-Tabari dalam tafsir al-Thabari menyebut bahwa penafsiran QS. al Baqarah;197 ini disandarkan pada hadis-hadis yang memiliki perbedaan pendapat. Pertama; pendapat yang mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu tiga bulan penuh (Syawwal, Zulqa’dah, dan Zulhijjah). Kedua; pendapat yang mengatakan bahwa waktu haji adalah dua bulan dan sepuluh hari dari bulan ketiga (zulhijjah), karena ini merupakan informasi dari Allah tentang waktu-waktu haji, dan tidak ada lagi pekerjaan haji yang dilakukan setelah hari-hari Mina. Pendapat kedua ini diamini oleh Sayyid Sabiq penulis Fiqh Sunnah dan sejumlah ulama lainnya.
Menurut Ibnu ‘Athiyah, al-hajj asyhurun ma‘lumat merupakan kalimat yang di dalamnya terdapat metanarasi yaitu (al-waqt). Kalimat yang seharusnya adalah waqt al-hajj asyhurun atau waqt ‘amal al-hajj asyhurun atau al-hajj fi asyhurin. Dalam tafsirnya, Ibnu ‘Atiyah mengutip dua pendapat yakni; Pertama, waktu haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzuhijjah sepenuhnya. Kemudian yang kedua, waktu haji adalah bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Adapun perbedaan dari kedua pendapat ini adalah berkaitan dengan amalan yang dilaksanakan setelah hari nahr. Apabila waktu haji tiga bulan sepenuhnya, maka amalan yang dilaksanakan setelah hari nahr adalah sah karena masih dalam waktu haji itu sendiri. Akan tetapi apabila waktu haji hanya sampai pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka amalan yang dilaksanakan setelah hari nahr adalah termasuk qadha dan wajib membayar denda.
Ahmad Mustafa al Maraghi dan Ibnu Katsir juga menafsirkan QS. al-Baqarah; 197 dengan merujuk kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang berbunyi:
عن ابن عمر أنه قال أشهر الحج : شوال وذوالقعدة وعشرة من ذي الحجة
وقال ابن عباس رضي الله عنهما: من السنة ان لا يحرم بالحج الا في أشهر الحج
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Beberapa bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh Dzulhijjah. Dan Ibnu Abbas berkata: Sebagian dari sunnah bahwa diharamkan berniat haji kecuali pada bulan-bulan haji.
Muhammad Rasyid Ridho berpendapat dalam tafsir al-Mannar bahwa makna dari kalimat alhajj asyhurun ma‘lumat adalah isyarat pada masa pelaksanaan ibadah haji yang telah dikenal bangsa Arab sebelum datangnya Islam, yakni bulan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Sedang kata ma‘lumat sendiri menunjukkan adanya pengakuan terhadap ekstensi tradisi Arab pada bulan-bulan haji tersebut yang secara mutawatir dilakukan sejak nabi Ibrahim dan nabi Ismail.
Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya Tafsir Hamasy al-Qur’an al-‘Adzib al-Nuzul wa Qawaid al-Tartil juga menyatakan bahwa al-hajj asyhurun ma‘lumat menunjukkan waktu pelaksanaan haji yakni bulan Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Adapun bagi muslim yang berniat haji pada sebelum bulan-bulan tersebut, maka niat ihram haji berubah pada ihram umrah.
Atas dasar pendapat sejumlah ulama di atas, Masdar F. Mas’udi menggagas dan memperteguh wacana untuk melakukan ikhtiar pembacaan ulang tafsir dikaitkan dengan fikih haji yang selama ini menjadi rujukan. Menurutnya, pembacaan kembali QS. al-Baqarah; 197 itu merupakan ikhtiar menerapkan al-Qur’an dengan mengembalikan waktu pelaksanaan haji kepada nas yang sharih (gamblang) dalam al-Qur’an yaitu Syawal, Zulqadah dan Zulhijah, sebagaimana ijma’ pemahaman seluruh mazhab tafsir. Dengan demikian, pelaksanaan ibadah haji bukan terbatas hanya pada Zulhijah (8 (tarwiyah, 9 (wukuf), 10,11,12,13 (bermalam di mina untuk lontar jumrah ).
Lebih lanjut Masdar menjelaskan bahwa “ijma’ boleh dikritisi, tetapi al-Quran yang sharih tidak boleh dilawan oleh ijma’ apa pun”, terlebih semua mazhab tafsir menjelaskan waktu haji beberapa bulan. Di sisi lain, ijma’ yang mesti dipertimbangkan dan dikritisi ialah ketika ijma hanya didasarkan pada sumber kesepakatan qoul (ucapan) dari seluruh sahabat bukan kesepakatan dari banyaknya dalil. Terlebih, persoalan waktu haji yang wataknya tauqifi (ketentuan wahyu) lebih membutuhkan nas yang sharih sebagai dalil naqli dan sumber hukum, dalam hal ini Al-Qur’an dan hadis mutawatir, bukan dalil-dalil aqli atau hadis ahad yang sifatnya dzonni dan tabiatnya menerima untuk diperselisihkan.
Hadis Nabi yang berbunyi “Khudzu anni manaasikakum” menurut Masdar sebagai perintah untuk mengikuti tatacara Nabi dalam berhaji, bukan tentang waktu haji. Karena waktu haji disebutkan sharih dalam Al-Qur’an, maka pesan Nabi tidak bisa dipertentangkan dengan Al-Qur’an.
Lalu bagaimana dengan hadis yang berbunyi “al-hajju arafah.” (Haji itu adalah arafah). Masdar menjelaskan status hadis tersebut ahad dan kualifikasinya hasan sehingga tidak bisa digunakan untuk men-takhsis/membatasi apalagi menganulir ayat Al-Qur’an yang qath’i, serta tidak bisa pula dipertentangkan dengan Al-Qur’an.
*Reorientasi Fikih*
Jika area (Arafah, Muzdalifah dan Mina) bisa dan sudah mengalami proses perluasan sebagai sebuah ijtihad, lalu kenapa ulama belum berijtihad untuk memperluas waktu (zaman) sebagaimana yang diwacanakan Masdar ? Saya meyakini krusialitas pelaksanaan ibadah haji relatif bisa diatasi jika fikih haji mengalami reorientasi untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman dan tantangan modernitas.
Nurcholish menyatakan, sejumlah kitab fikih yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi Islam, pesantren atau sekolah keagamaan pada umumnya hanya membacakan kembali kitab-kitab fikih yang ditulis para ulama pada beberapa abad silam dimana situasi dan kondisinya sudah sangat jauh berbeda dengan kehidupan saat ini. Hampir tidak ditemukan sebuah studi plus, yang tidak hanya membacakan tetapi lebih jauh menyoal atau mempertanyakan kembali secara kritis doktrin fikih yang ditulis oleh para ulama terdahulu. Menurut Nurcholish, mereka hanya memproduksi pandangan fikih klasik dan tidak membuat pandangan fikih alternatif yang relevan dengan konteks kekinian. Karena itu, menurutnya memperbarui fikih dalam konteks kekinian atau kedisinian merupakan sebuah keharusan, sebab fikih bukanlah nas/teks suci yang tidak dapat diganggu-gugat. Fikih hanya sebuah produk ijtihadi dan konstruksi pemikiran atau pemahaman dari seorang atau beberapa ulama dalam menyikapi fenomena kehidupan dari sebuah zaman.
Menurut Hasan Turabi. mestinya fikih harus berkembang sesuai konteks dan zaman. Hal ini disebabkan produk ushul fikih dalam tradisi pemikiran fikih klasik masih bersifat sangat abstrak dan teoritis sehingga tidak mampu melahirkan pemahaman komprehensif dan justru melahirkan perdebatan (khilafiyah) yang tak kunjung berakhir. Karena itu pula Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Fiqh al-Awlawiyat mengajukan alternatif pemikiran agar fikih direformasi menjadi fikih realitas (fiqh al-waqi) dan fikih prioritas (fiqh al-awlawiyah)
Sungguminasa 28 Juni 2024