Seseorang dapat pergi haji, bukan semata-mata karena memiliki banyak uang. Fakta menunjukkan, sekian banyak orang kaya hingga akhir hidupnya justeru tidak pernah pergi haji dan umrah. Dalam pandangan penulis, seseorang pergi haji disebabkan oleh 4 (empat) N yaitu; faktor nasab (hubungan kerabat), faktor nisab (sampai waktu dan cukup biaya), faktor nasib (faktor keberuntungan), faktor masa N (tunggu)
Animo masyarakat Indonesia untuk menunaikan haji cukup besar. Ini dapat dipahami mengingat di samping sebagai sebuah cerminan ketaatan kepada Tuhan, haji juga dipandang sebagai identitas status sosial-ekonomi di dalam masyarakat. Lebih dari itu, Nabi menjanjikan balasan surga bagi orang yang mendapat predikat haji mabrur.
Ke-mabrur-an seseorang tidak ditandai oleh identitas simbolistik haji seperti sorban, songkok haji, cipo-cipo untuk wanita (Makassar, Bugis), pakaian gamis, dan sejenisnya, tetapi sangat tergantung pada ekspresi dan aktualisasi nilai universal yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji yang meliputi; niat, pemaknaan simbolisasi haji dan aktualisasi kearifan sosial di dalam masyarakat.
Dalam pandangan agama, niat merupakan unsur yang sangat menentukan kualitas sebuah ibadah. Apapun jenis ibadah yang dikerjakan, baik mahdah maupun sosial tidak memiliki nilai di hadapan Tuhan jika tidak disertai niat yang tulus, semata-mata hanya untuk Allah (Q.S. Al-Bayyinah (98): 5)
Kualitas niat seseorang untuk berhaji dapat dilihat setelah kepulangannya di tanah air. Biasanya, muncul keinginan yang sangat berlebih untuk mendapatkan perlakuan masyarakat disebabkan oleh ”status sosial” yang dimilikinya dengan simbolisasi haji. Dia kecewa tidak disebut pak Haji atau bu Haji, atau bahkan tidak mau datang menghadiri sebuah undangan hanya karena di dalam undangan tidak tertera gelar/predikat ”H” (haji), bahkan muncul pula egoisme ekslusivitas sehingga selalu ingin diperlakukan istimewa dibanding dengan mereka yang belum berhaji.
Konon ada cerita unik yang terjadi. Dalam proses pengantaran (tradisi/adat) seserahan perkawinan, ada sebuah mobil dari puluhan rombongan mobil kehilangan sopirnya, akibatnya tombongan ini ditinggalkan oleh rombongan yang lain. Orang mencari-cari keberadaan sopir, akhirnya dia ditemukan di dalam mesjid. Orang-orang pun bertanya; Kenapa anda tidak mau membawa mobil? Kan anda sopirnya? Sopir itu menjawab; ”Tadi ada yang bilang bahwa di mobil ini khusus untuk yang sudah berstatus Haji atau Hajjah saja. Kan saya belum Haji” tambah sopir tersebut.
Secara substantif, haji bukanlah status sosial-ekonomi, tetapi haji merupakan pengejawantahan sikap dan kepribadian mulia yang tertanam pada diri seseorang sebagai efek pelatihan dan pemaknaan dari sejumlah simbolisasi haji yang pernah mereka jalankan di musim haji, seperti pakaian kain ihram, pelaksanaan tawaf, sa’i, wukuf dan lempar jumarat. Simbol-simbol ini bukan semata ritual, tetapi sebagai media menghantarkan jemaah haji menjadi manusia yang memiliki kearifan sosial.
Pamakaian ihram merupakan simbolisasi dari penegasian atribut duniawi yang sering menjadi topeng dan kesombongan manusia. Pakaian dalam dimensi sosial merupakan sebuah status pembeda antara seseorang dengan lainnya, baik dari aspek ekonomi, sosial atau profesi. Di saat orang mengenakan kain ihram, maka perbedaan dan pembedaan itu harus ditanggalkan. Seluruh pengaruh psikologis dari pakaian harus dilepaskan, sehingga semua manusia merasa dalam satu kesatuan dan persamaan.
Sejumlah larangan yang harus dihindari seperti menyakiti binatang, membunuh, dan mencabut pepohonan mengandung makna bahwa jangankan manusia, menyakiti binatang dan tumbuhan saja dilarang sebab manusia diciptakan sesungguhnya untuk memelihara kehidupan makhluk Tuhan dan memberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaannya. Di samping itu dilarang pula menggunakan wewangian, bercumbu, kawin atau mengawinkan supaya jemaah haji menyadari bahwa manusia bukan hanya materi semata, bukan pula birahi. Hiasan yang dinilai Tuhan adalah hiasan ruhani. Demikian pula larangan menggunting rambut dan kuku dimaksudkan supaya manusia utuh apa adanya ketika menghadap Tuhan (Quraish Shihab; Haji, 1994; 447)
Di samping memakai kain ihram, jemaah haji juga melaksanakan tawaf. Yang menjadi persoalan bukan pada apa yang harus dibaca di saat tawaf, dan seberapa kali mampu mencium Hajar Aswad serta shalat di Hijr Ismail, tetapi seberapa paham untuk apa manusia diperintahkan bertawaf di sekitar Ka’bah.
Ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi merupakan simbol puncak ketauhidan. Ibrahim disuruh meninggikan Ka’bah setelah dia sukses menghadapi ujian untuk menyembelih anaknya Ismail, sebagai wujud implementasi nilai tauhid ”la ilaha illallah”. Bukan anak, jabatan, harta benda yang paling dicintai, tetapi hanya Allah sebagai sumber tertinggi di dalam diri manusia. Gerakan tawaf yang antiqolluqouis (berlawanan jarum jam) sama dengan gerakan (tawaf) benda-benda angkasa raya yang menunjukkan hanya ada satu kehendak. Dengan demikian, ketika manusia bertawaf sesungguhnya dia sedang bertawaf bersama alam jagad raya, ber-tasbih dan ber-tahmid mengagungkan asmaNya serta membangun komitmen sosial dengan manusia lainnya, larut dan tenggelam dalam kebersamaan tanpa melihat perbedaan rasial.
Ibadah haji juga mengajarkan manusia untuk senantiasa memiliki energi dan kinerja dalam setiap aktifitas yang disimbolkan melalui pelaksanaan sa’i (berlari kecil dari Safa dan Marwa). Sa’i merupakan napaktilas St. Hajar ketika dia berusaha mencari air untuk anaknya Ismail. Dia tidak menemukan air di Safa dan Marwa, tetapi justeru Allah membalas usaha gigihnya ini dengan munculnya air Zam-Zam di sisi Baitullah. Simbolisasi sa’i mengajarkan manusia untuk selalu memiliki semangat, pantang menyerah dalam berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Meski di kantor seseorang tidak mendapatkan fasilitas, promosi jabatan dan sebagainya, tetapi efeks Sa’i memberi pelajaran kepadanya agar senantiasa memiliki semangat dan keikhlasan dalam bekerja, karena dia yakin Tuhan tidak buta dan tuli, Dia akan memberi balasan keikhlasan dan kegigihan itu dengan cara lain.
Puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah (hadis). Di Mekkah terdapat rambu-rambu lalu lintas bertuliskan mamnu’ al-wukuf, artinya dilarang parkir. Jadi wukuf dapat bermakna berhenti atau parkir. Parkir yang baik selalu saja kendaraanya tinggal di suatu tempat sedangkan pemilik kendaraannya pergi mencari kebutuhannya. Analogi serupa sama saja di saat manusia wukuf di padang Arafah. Jasad manusia diparkir di sana, tetapi ruhaninya pergi menembus dimensi ruang dan waktu memasuki transmisi spiritualitas, lebur dalam lautan cinta ilahi, mencari makna dan mengenal hakikat dirinya dan Tuhannya ( ma’rifat)
Tidak cukup hanya sampai kepada tahap ma’rifat, jemaah haji masih disuruh membuang sifat-sifat syaitaniah yang bersarang di dalam dada melalui lempar Jumrah dengan tujuh buah batu kecil, sehingga tidak ada sifat jelek yang mendominasi di dalam dirinya kecuali sifat-sifat mulia.
Ke-mabrur-an seseorang juga tercermin dalam tiga sifat mulia (hadis) di saat dia pulang ke tanah air yaitu, santun dalam ucapan, gemar menebarkan kedamaian, dan memiliki kepekaan sosial (social awareness). Dengan demikian, haji bukanlah sebuah kebanggaan ritual, tetapi ekpresi dan aktualisasi simbol menuju kearifan sosial.
Samata, 24 Juni 2024