Tulisan di rilis Fajar.co.id pada 05/07/2019
Apakah manusia hidup untuk sistem ataukah sistem untuk manusia? Jika manusia dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu (Boef & Snoek, 2008: Hal. 142).
Sistem yang terorganisir tentunya memuat aturan-aturan untuk selanjutnya dikemas dalam bentuk kebijakan publik yang ditujukan kepada masyarakat luas namun sebelum kebijakan itu diterapkan dalam kehidupan masyarakat maka tentunya harus melalui mekanisme sistem pemerintahan.
Syarat materil sistem demokrasi yang harus dijalankan sebelum proses penetapan kebijakan dalam hal ini demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat (Abraham Lincoln). Tentunya meniscayakan rakyat memiliki hak untuk bicara atas sebuah kebijakan yang hendak diterapkan.
Sistem pemerintahan demokrasi bukan hanya diperuntukkan bagi negara dalam hal pengelolaan pemerintahan melainkan bidang-bidang yang berada dalam sebuah negara seperti bidang ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya pun perlu menerapkan prinsip demokratis utamanya dalam hal penetapan sebuah kebijakan.
Telaah kritis
Meneropong bidang ekonomi, pasal 33 ayat 1,2 dan 3 (versi amandemen) UUD 1945 menjadi kiblat sistem perekonomian di Indonesia yang berbunyi, “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sistem ekonomi yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 merupakan suatu bentuk ideologi perekonomian yang demokratis sekaligus tameng dalam menghadapi segala permasalahan ekonomi di kehidupan bermasyarakat terutama kesenjangan ekonomi yang akan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
Terealisasinya pasal 33 UUD 1945 dengan bijak pada bidang ekonomi di Indonesia tentunya akan menjadi syarat materil terwujudnya sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Prinsip ekonomi yang demokratis dan berkerakyatan akan tetap menjadi mimpi belaka yang indah, jika pemangku kebijakan negeri ini tidak mengimplementasikan konsep yang ada di dalam kehidupan nyata, tapi seorang pemimpin yang amanah, adil, dan bijaksana adalah ia yang mampu berkomitmen dan konsekuen demi terwujudnya kesejahteraan bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Hematnya, kebijakan dalam sektor ekonomi diorientasikan pada terwujudnya perekonomian berasas kekeluargaan sesuai amanah pasal 33 UUD 1945, sehingga hal demikian akan meretas ketimpangan ekonomi yang dirasakan beberapa elemen masyarakat.
Kebijakan ekonomi yang memprioritaskan hajat hidup orang banyak merupakan udara segar bagi masyarakat untuk mengakses beberapa sektor. Salah satu yang paling urgen yakni sektor pendidikan.
Akses pendidikan tentu memerlukan pembiayaan meskipun dalam konstitusi hal demikian tidak menjadi hal yang paling esensial bagi masyarakat yang memiliki ekonomi ke bawah (kurang mampu).
Tahun 2016-2018 dilansir dari beberapa hasil survei, salah satunya adalah Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sekitar 77 persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi, dari sini bisa dilihat bahwa kebijakan pendidikan tentang pendidikan dapat diakses oleh semua kalangan tampaknya mengalami sedikit degradasi antara cita-cita dan realitas.
Seperti diketahui bersama bahwa populisme sebagai paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak dan keutamaan rakyat kecil merupakan ihwal inti yang menjadi bahan pertimbangan atau alasan lahirnya sebuah kebijakan publik oleh para pemangku kebijakan.
Maka secara umum dapat dipastikan, setiap kebijakan publik khususnya pada sektor ekonomi dan pendidikan merupakan kebijakan yang memiliki orientasi pada kesejahteraan publik secara menyeluruh.
Kebijakan publik dalam proses penerapannya tentu yang menjadi keharusan adalah kesesuaian antara ide atau cita-cita awal lahirnya kebijakan tersebut dan realitas. Namun yang kerap terjadi dewasa ini yakni kebijakan publik yang condong pada ketidaksesuaian, artinya kebijakan hanya citra populis yang pada wilayah penerapan mengandung kenyataan yang anti-populis.
Sistem dan aturan yang sistematis dan ilmiah dikemas menjadi suatu bentuk kebijakan yang mengatur manusia dan kehidupannya, tentu meniscayakan prinsip demokratis.
Karena itu, pada hakikatnya manusia kebijakan yang lahir untuk manusia publik perlu menempuh proses evaluasi dan tetap mengedepankan kepentingan publik secara menyeluruh, sehingga tidak hanya citra populis yang hidup pada tubuh kebijakan itu melainkan realitas pula. (*)