Istilah literasi
tentu sudah tidak asing lagi kita
dengar, apalagi diera masyarakat informasi saat ini sudah menjadi hal yang
penting dimiliki setiap orang untuk meningkatkan kualitas diri dalam hal
pengembangan kompetensi pengetahuan. Apalagi kita sekarang memasuki era
persaingan dimana orang yang memiliki pengetahuan, kecerdasan dan daya nalar
kritis yang baiklah yang dianggap mampu memberikan kontribusi terhadap lembaga
institusi maupun bangsa dan negara ini. Nah, tentu kita ketahui bersama bahwa
semua hal tentang pengetahuan, kecerdasan dan daya nalar kritis yang baik itu
kita dapatkan dari kemampuan literasi yang baik pula.
Kekuatan literasi
tentunya sudah tidak diragukan lagi, kita bisa lihat kebangkitan negara Jepang
menjadi negara yang sangat maju meskipun sempat negara tersembut hancur di masa
penjajahan perang dunia ke II akibat bom atom, tapi negara Jepang bangkit
dengan memulai penanaman budaya literasi. Sehingga 30 tahun kemudian Jepang
mampu menjadi negara yang memiliki kemajuan dan kecanggihan teknologi informasi
di dunia dan tentu ini tidak terlepas dari budaya literasi yang mereka tanamkan.
Apalagi dalam ajaran Islam pun kita diperintahkan untuk membaca. Membaca dan
menulis merupakan bagian dari budaya literasi namun tidak sesederhana itu,
literasi bukan hanya soal baca tulis tapi bagaimana kita mempunyai daya nalar
kritis dalam memahami suatu fenomena dalam kehidupan kita saat ini.
Sudah kurang lebih 8
bulan negara kita dan dunia tentunya merasakan efek dari wabah ini, wabah yang
menjadi sorotan media setiap harinya, baik di media elektronik, media cetak dan
media sosial. Informasi tentang wabah ini tersebar sangat cepat, bahkan ribuan
artikel muncul membahas wabah covid-19
ini di media. Tidak hanya artikel, ratusan riset penelitian dan buku pun
bermunculan dari para akademisi untuk memberikan pemahaman tentang wabah ini
kepada masyarakat sebagai bentuk pengabdian.
Pertanyaannya, apakah
informasi dalam artikel-artikel tersebut bisa dijamin kebenarannya ?, jawabannya
tentu tidak. Sejak wabah ini khusus di media sosial tentu kita mendapatkan
banyak informasi dari artikel tentang wabah covid-19, baik dari grup keluarga
maupun dari beranda akun media sosial kita sendiri. Bulan Agustus kemarin
Kominfo mencatat lebih dari seribu berita hoaks yang telah dideteksi, tentu
data ini terus bertambah apalagi adanya isu-isu ditemukannya vaksin yang dapat
membuat para penyebar isu hoaks berlomba
lomba membuat berita yang belum tentu benarnya, sehingga dapat memancing reaksi
masyarakat apabila tidak memiliki budaya literasi yang baik.
Nah, diera informasi
yang begitu pesat dan dibarengi dengan masa pandemi ini, maka muncullah isu-isu
hoaks yang bertebaran dimana-mana, maka tentu pentingnya kemampuan literasi ini
menjadi sebuah kekuatan untuk menangkal informasi-informasi yang tidak benar,
sehingga informasi tersebut tidak meresahkan atau membuat orang takut akan
kebohongannya. Kemampuan literasi tentunya juga dapat memberikan kita pemahaman
yang baik sehingga kita tidak mudah percaya dengan apa yang dituliskan dalam
artikel-artikel, mengecek dan menyaring informasi tersebut terlebih dahulu
adalah cara yang benar dilakukan, sebelum informasi tersebut kita bagikan.
“Saring sebelum
Sharing” atau teleti sebelum membagikan adalah bagian dari literasi, nalar
kritis dalam memahami sebuah bacaan atau tulisan juga kunci dalam melawan
isu-isu hoaks di masa pandemi ini, sebagaimana dalam Al Quran surat Al Hujurat
ayat 6 pun kita diperintahkan dalam selektif dalam menerima dan menyebarkan
informasi. Kemampuan literasi dimasa pandemi ini merupakan kekuatan besar dalam
memahami informasi ditengah ledakan isu-isu hoaks yang begitu pesat, maka
sangat penting kita miliki kekuatan literasi siapapun dan berapapun usia yang
kita miliki, karena kemampuan ini adalah kemampuan sepanjang hayat yang bisa
dimiliki semua orang.
Meskipun anjuran
pemerintah menyuruh kita agar tetap lebih banyak beraktivitas dirumah bukan
berarti kita hanya tinggal diam dan tidak melakukan aktivitas yang produktif,
harusnya dimasa pandemi ini dijadikan sebagai momentum untuk lebih banyak
berkarya dan membaca buku-buku pengembangan diri sehingga kita mampu memperkaya
ilmu dan pengetahuan kita agar kita kelak menjadi generasi yang haus akan
perubahan dan tidak menjadi generasi yang lebih suka rebahan.
Penulis : Nasrullah, S.I.P., M.I.P (Dosen Ilmu Perpustakaan)
Sumber : Tribun Timur Opini Edisi 8 September 2020 Hal. 15