Saya baru saja mengisi google form yang diberikan oleh Sekretaris Senat UIN Alauddin. Tujuannya untuk mengetahui ukuran baju toga anggota senat. Saat bersamaan saya teringat pengalaman saat menghadiri prosesi wisuda teman saya (Dr. H. Ilham Alimuddin) di Jepang, tepatnya di Chiba University, salah satu kampus terkemuka yang dikenal dengan kedisiplinan akademik dan budaya ilmiahnya yang kuat.
Dalam acara yang penuh khidmat itu, ada hal menarik yang langsung mencuri perhatian saya. Ternyata hanya mahasiswa doktoral (S3) yang diperkenankan mengenakan toga. Sementara mahasiswa strata satu (S1) dan magister (S2) hanya memakai jas atau pakaian tradisional khas Jepang. Ternyata, toga di mata masyarakat Jepang adalah simbol akademis yang sangat sakral, hanya diberikan kepada mereka yang telah menyelesaikan proses keilmuan tertinggi, yakni jenjang doktor.
Pemandangan ini membuat saya merenung dalam. Di Jepang, toga bukan sekadar atribut seremonial. Ia dihormati, dijunjung sebagai lambang keberhasilan intelektual yang matang, hasil dari proses panjang, penuh dedikasi, dan kontribusi ilmiah yang nyata. Mereka tidak menganggap toga sebagai sekadar pakaian wisuda, tetapi sebagai pengakuan simbolik atas kematangan berpikir, kedalaman riset, dan tanggung jawab ilmiah.
Bagaimana Indonesia, ternyata toga di sini sesuatu yang sangat umum dan mudah dijumpai. Tak hanya mahasiswa, bahkan anak-anak TK yang baru menyelesaikan hafalan surat pendek, atau santri yang baru khatam Juz Amma pun biasa didandani dengan toga lengkap. Foto-foto anak kecil memakai toga terpajang rapi di ruang tamu rumah, menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tua. Tak ayal, toga di Indonesia telah menjadi simbol selebrasi, bukan lagi simbol keilmuan dalam pengertian filosofis yang mendalam.
Tentu tidak ada yang salah dengan merayakan keberhasilan sekecil apa pun itu. Anak-anak TK yang lulus PAUD, tentu patut diberikan penghargaan dan perayaan. Namun persoalannya bukan pada perayaannya, melainkan pada pemakaian simbol akademik yang sarat makna, seperti toga, untuk konteks yang belum proporsional secara keilmuan. Akibatnya, toga kehilangan nilai filosofisnya dan bergeser menjadi semacam kostum pesta, hiasan fotografi, atau ornamen seremoniAl.
Menilik sejarahnya, toga berasal dari tradisi akademik Eropa, khususnya dari universitas-universitas kuno di Inggris dan Italia, yang kemudian diwariskan ke dunia akademik modern. Toga dirancang dengan bentuk dan warna tertentu untuk membedakan tingkatan ilmu seseorang. Potongan lengan, warna kerah, hingga jenis kain, semuanya mengandung makna. Bahkan topi persegi (mortarboard) yang menjadi bagian dari toga, melambangkan buku ilmu dan puncak dari pencapaian intelektual.
Simbol seperti toga dalam perspektif semiotika tidak sekadar hiasan. Ia adalah penanda identitas epistemologis, pengakuan terhadap proses belajar yang tidak mudah, perjuangan menemukan dan mengembangkan pengetahuan, serta tanggung jawab moral untuk mengamalkannya demi kemaslahatan umat manusia. Ketika toga dipakai oleh seseorang, ia membawa beban simbolik keilmuan, bukan hanya karena ia telah menyelesaikan studi, tapi karena ia dianggap telah dewasa dalam berpikir dan mampu memberi kontribusi pada lingkungannya.
Kita perlu merenung ulang. Apakah pantas simbol akademik seperti toga diberikan kepada anak-anak TK yang belum memasuki fase berpikir kritis dan abstrak? Apakah dengan menyederhanakan makna toga hanya sebagai "kostum wisuda", kita sedang mengikis nilai-nilai luhur pendidikan itu sendiri? Mungkin niat awalnya baik, membuat anak-anak merasa bangga, menanamkan rasa percaya diri sejak dini. Tapi jika ini dilakukan terus-menerus tanpa edukasi makna, generasi kita bisa kehilangan rasa hormat terhadap simbol-simbol ilmu.
Sebaliknya, bila toga hanya difungsikan sebagai simbol selebrasi, maka penting untuk membedakannya secara jelas dari toga ilmiah yang memiliki kedalaman simbolik. Bisa saja dibuat atribut seremonial khas untuk anak-anak, yang berbeda desainnya dari toga akademik, agar makna dan jenjang simbolik tetap terjaga. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal penanaman nilai. Salah satu nilai penting dalam pendidikan adalah menghormati ilmu dan simbol-simbolnya.
Maka, saat kita melihat foto anak kecil memakai toga dan tersenyum bahagia, biarlah itu menjadi perayaan keberhasilan mereka. Tapi saat kita melihat seorang doktor berdiri mengenakan toga dalam wisuda yang khidmat, kita tahu itu bukan sekadar baju tapi mahkota dari perjuangan intelektual, sebuah simbol yang semestinya tetap dihormati.
Sungguminasa 20 Juni 2025