Tadi malam, di salah satu media televisi swasta nasional ditayangkan secara khusus bagaimana kepulangan kloter Bugis Makassar dari tanah suci. Apalagi kalau bukan pakaian kebesaran mereka yang unik.
Memang di setiap musim haji, dan selalu menjadi perhatian media televisi dan media sosial, ada satu fenomena khas yang tak pernah absen menghiasi bandara Sultan Hasanuddin, ketika pesawat-pesawat dari Tanah Suci mulai mendarat membawa para tamu Allah pulang ke tanah air. Di tengah hiruk pikuk penyambutan, suara azan dan selawat yang bersahutan, pandangan kita akan mudah menangkap sekelompok jemaah haji perempuan yang tampil dengan pakaian "kebesaran" yang memiliki keunikan namun sarat makna. Mereka adalah para jemaah haji asal Bugis-Makassar yang baru kembali dari perjalanan spiritualnya, tampil dengan pakaian indah berhiaskan bling-bling (istilah reporter tv)
Bagi sebagian orang luar, tampilan ini bisa saja tampak berlebihan. Tapi bagi masyarakat Bugis-Makassar, ini bukan tentang gaya atau kemewahan, melainkan simbol syukur dan ekspresi budaya yang kaya makna. Dalam perspektif mereka, syukur bukan hanya diucapkan dengan lisan atau disembunyikan di dalam hati, melainkan ditunjukkan dengan sebaik-baiknya pemanfaatan nikmat. Quraish Shihab pernah menyampaikan, makna syukur dalam Islam adalah memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan tujuan pemberiannya. Maka ketika seseorang dianugerahi kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, yang secara finansial tentu tidak ringan, wajar saja bila nikmat itu dirayakan melalui penampilan—penampilan yang bukan untuk menyombongkan diri, tetapi sebagai simbol bahwa mereka telah menunaikan panggilan Ilahi, dan kembali dalam keadaan bersih, secara lahir maupun batin.
Dalam konteks Bugis-Makassar, perhiasan dan pakaian tradisional bukan hanya pelengkap estetika, tetapi penanda identitas sosial, spiritual, dan budaya. Dalam banyak peristiwa penting seperti pernikahan, pesta adat, atau pulangnya seorang haji, penggunaan aksesoris dan pakaian khas ini selalu punya tempat istimewa. Ini adalah warisan dari generasi ke generasi, bentuk dari bagaimana masyarakat lokal meresapi dan mempraktikkan ajaran agama dalam nuansa budaya yang khas. Tak heran bila seseorang yang baru pulang haji tampil dengan seluruh simbol keberhasilannya, bukan untuk menampilkan kekuasaan duniawi, tetapi untuk menunjukkan bahwa ia telah sampai pada satu titik spiritual yang membanggakan, dan dalam budaya Bugis-Makassar, kebanggaan itu diekspresikan dalam bentuk yang terlihat, yang indah, dan yang mengakar.
Menariknya, jika kita melihat masyarakat akademik, fenomena serupa juga terjadi. Ketika seseorang meraih gelar doktor atau profesor, maka akan serta merta gelar itu menghiasi namanya, baik di depan maupun di belakang. Prof. Dr., atau S.T., M.T., M.Ag., dan seterusnya. Bahkan dalam acara-acara resmi, mereka akan mengenakan toga lengkap, lencana, dan aksesoris akademik lainnya sebagai simbol pencapaian. Apakah itu bentuk kesombongan? Tidak. Itu adalah ekspresi intelektual, kebanggaan karena telah menyelesaikan sebuah proses panjang yang penuh perjuangan. Maka seperti halnya seorang akademisi menunjukkan gelar, seorang haji Bugis-Makassar menunjukkan hasil hajinya dengan pakaian adat yang berkilau.
Relasi antara agama dan budaya di sini menjadi sangat menarik. Agama memberi nilai dan arah, sedangkan budaya memberi bentuk dan warna. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, agama dan budaya bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan dua dimensi yang saling memperkaya. Islam hadir dalam masyarakat ini bukan untuk menghapus budaya lokal, tetapi untuk memurnikannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai tauhid, lalu membiarkannya tumbuh sebagai ekspresi iman yang kontekstual. Haji sebagai ibadah, pakaian adat sebagai budaya—keduanya bertemu dalam satu panggung kehidupan, saling bersinergi dalam satu harmoni makna.
Budaya lokal memberi ruang bagi spiritualitas untuk tampil, bukan sekadar sebagai perenungan dalam diam, tetapi sebagai pancaran dalam kehidupan sosial. Itulah mengapa, penampilan para haji Bugis-Makassar yang kembali dengan pakaian mewah, emas, dan berlian, bukanlah sesuatu yang perlu disalahpahami. Itu bukan parade kesombongan, melainkan parade syukur. Sebuah parade spiritual yang menggunakan bahasa budaya untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat: bahwa ini adalah keberhasilan lahir dan batin, dan keberhasilan itu patut dihormati, sebagaimana kita menghormati seseorang yang lulus ujian besar dalam hidupnya.
Akhirnya, kita bisa melihat bahwa agama dan budaya bukan dua kutub yang saling berlawanan. Dalam masyarakat yang arif, keduanya akan saling menguatkan. Agama memberi arah kepada budaya agar tidak tersesat, dan budaya memberi bentuk kepada agama agar bisa hadir dalam kehidupan sehari-hari. Maka ketika para haji Bugis-Makassar pulang dengan berkilau, jangan buru-buru menilai dari luarnya. Lihatlah lebih dalam: itu adalah bahasa syukur yang dibungkus adat, ekspresi spiritual yang lahir dari akar budaya. Dan dalam masyarakat yang bijaksana, keduanya tak perlu dipertentangkan. Mereka justru saling melengkapi, menciptakan satu kesatuan makna yang utuh—dan indah.
Sungguminasa 12 Juni 2025
Barsihannor