Sewaktu masih kecil, sebelum berakhir waktu sahur, kakak saya selalu menanyakan apakah kami sudah membaca niat puasa atau belum untuk besok hari. Jika belum membaca, kami diminta untuk membacanya. Menurutnya tidak sah puasa jika tidak membaca niat. Di saat ini pun, setelah berakhir shalat tarawih, di beberapa masjid, sang imam juga biasa mengajak dan menuntun jamaah untuk membaca niat puasa. Entah apa yang ada dipikirannya? Apakah dia juga beranggapan tidak sah puasa jika tidak membaca niat.
Sewaktu kecil pula, aku masih ingat perdebatan sah dan tidaknya shalat hanya karena persoalan membaca niat. Kami yang hidup di dalam tradisi NU dan orang tua kami yang tokoh dan pengurus NU mengajarkan kami harus harus melafalkan ushalli (lafaz niat) sebelum shalat, sementara yang lain menyatakan tidak perlu karena tidak ada tuntunannya dari Nabi. Perdebatan (khilafiyah) tentang niat itu belum berakhir hingga hari ini.
Niat memiliki dua fungsi utama, pertama yaitu untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Kedua, untuk membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Imam Nawawi mengartikan niat sebagai menuju ke sesuatu dan berkeinginan untuk melakukannya. Singkatnya, niat diartikan sebagai suatu tujuan dan keinginan. Nabi bersabda; Sesungguhnya amal itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan apa yang diniatkannya," (HR Bukhari dan Muslim)
Terlepas dari persoalan dilafalkan atau cukup di dalam hati saja, hari ini kita hidup di era digital. Hampir setiap orang memiliki alat komunikasi (Hp). Jika kita mendapatkan panggilan melalui handphone, maka alam bawah sadar akan menuntun kita untuk menerima panggilan itu dengan 3 (tiga) sikap menerima panggilan; Pertama, mengabaikan. Kedua, menerima dengan biasa-biasa saja. Ketiga, menerima dengan penuh apresiasi dan penghormatan yang ditunjukkan melalui sikap dan komunikasi verbalnya.
Perbedaan sikap dalam menerima panggilan handphone itu disebabkan kita mengetahui siapa yang sedang memanggil.
1. Mengabaikan panggilan karena kita sudah tahu bahwa yang memanggil tidak jelas identitas, atau bukan orang yang terlalu penting, atau yang bersangkutan memiliki persoalan pribadi dengan kita.
2. Menerima dengan sikap biasa-biasa saja disebabkan kita tahu bahwa yang memanggil itu boleh jadi teman sejawat (se level), atau bawahan seperti staf kita, siswa-siswa atau mahasiswa kita dan lain-lain.
3. Menerima dengan sikap apresiatif dan penghormatan disebabkan kita tahu bahwa yang memanggil itu adalah orang yang dihormati; misalnya presiden, gubernur, walikota, Rektor, Kepala Sekolah atau guru-guru kita yang kita hormati.
Coba perhatikan kenapa terjadi perbedaan gaya bicara dan sikap? Bukankah orang yang melepon itu tidak melihat anda atau sebaliknya anda tidak melihatnya? Jawabannya adalah pengetahuan kita terhadap si pemanggil terkonversi menjadi *seakan-akan melihat*, meski pada dasarnya tidak melihat.
Jika seorang Rektor menelepon staf atau dosen, maka sang staf atau dosen pasti menerima telepon dengan gaya bicara dan sikap sangat hormat dan apresiatif. Ini disebabkan pada saat terjadi kontak tersebut, staf atau dosen seakan-akan melihat Rektornya. Jika pun tidak melihatntya langsung, maka alam bawah sadarnya menyatakan bahwa dia sedang dilihat oleh Rektor.
Begitulah analogi niat dalam sebuah ibadah. Jika seseorang merasa seakan-akan melihat Tuhan, atau dia sadar bahwa dia sedang dilihat Tuhan, maka ibadahnya pasti akan baik. Itulah kenapa Nabi bersabda; Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihatnya, jika kamu tidak dapat melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihat kamu. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, niat bukan sekadar tentang diucapkan (dilafalkan) atau tidak, tetapi kemampuan untuk menghadirkan sebuah kesadaran hadirnya Allah (The Omnipresent) dalam kehidupan. Hanya orang tua saya bilang… “Kalau kamu berniat untuk kawin, jangan di hati saja, tapi ucapkan, supaya ortu tahu. .😊😊
Selamat menunaikan ibadah puasa