Ekonomi yang Luluh di Hadapan Cinta: Fenomena Unik pada Haul Abah Sekumpul Martapura

  • 10:57 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Bayangkan sebuah peristiwa besar yang didatangi ratusan ribu, bahkan jutaan orang, tetapi hukum ekonomi seolah kehilangan suaranya. Tidak ada teriakan diskon, tidak tampak wajah-wajah penuh kalkulasi laba, dan logika kesempatan emas meraup untung justru runtuh secara sukarela. Yang muncul adalah spanduk rest area dan gratis bagi peziarah. Panci-panci besar yang terus mengepul menghidangkan makanan di pinggir jalan tanpa kasir, serta tangan-tangan yang memberi tanpa bertanya siapa dan dari mana. Inilah paradoks yang hidup dan berulang setiap haul Abah Guru Sekumpul.

Dari kacamata sosiologis, fenomena ini menarik karena berlawanan dengan pola umum keramaian massal. Dalam banyak peristiwa keagamaan atau festival besar, kehadiran massa hampir selalu dibaca sebagai peluang ekonomi. UMKM biasanya memosisikan diri sebagai aktor rasional yang memanfaatkan lonjakan permintaan. Namun pada haul Abah Sekumpul Martapura logika itu tidak sepenuhnya berlaku. Masyarakat, termasuk para pelaku usaha kecil justru berlomba-lomba menangguhkan kepentingan ekonomi mereka demi melayani peziarah. Yang dipertaruhkan bukan keuntungan finansial, melainkan kehormatan sosial dan kepuasan batin.

Secara sosiologis, praktik menggratiskan produk dan jasa ini dapat dibaca sebagai bentuk solidaritas mekanik dalam pengertian Durkheimian yaitu ikatan sosial yang lahir dari kesamaan nilai, keyakinan, dan emosi kolektif. Haul Abah Sekumpul tidak sekadar peristiwa ritual, tetapi ruang perjumpaan identitas. Memberi makanan, minuman, tempat istirahat, bensin gratis bahkan layanan transportasi gratis menjadi simbol partisipasi aktif dalam komunitas moral yang lebih besar. Dalam konteks ini, UMKM tidak lagi tampil sebagai unit ekonomi semata, melainkan sebagai bagian dari jaringan sosial-religius yang saling menguatkan.

Menariknya, tindakan memberi ini juga menciptakan apa yang oleh sosiolog Marcel Mauss disebut sebagai the gift economy. Pemberian tidak pernah benar-benar kosong. Ia sarat makna, relasi, dan harapan simbolik. Namun harapan itu bukan dalam bentuk uang yang kembali, melainkan doa, keberkahan, dan pengakuan sosial. Ketika seorang pedagang menggratiskan dagangannya, ia sedang “menanam” sesuatu di ruang spiritual dan sosial sekaligus. Ada keyakinan kuat bahwa rezeki tidak selalu datang melalui transaksi langsung, tetapi melalui jalan yang lebih halus dan tak terduga.

Dari sisi spiritualitas, fenomena ini berakar pada cinta dan keteladanan. Abah Guru Sekumpul dipahami bukan hanya sebagai ulama besar, tetapi sebagai figur yang memancarkan kasih, kerendahan hati, dan kedermawanan. Nilai-nilai itu hidup kembali dalam tubuh masyarakat setiap kali haul dilaksanakan. Memberi gratis kepada peziarah dipandang sebagai bentuk penghormatan kepada sang guru, sekaligus ekspresi cinta kepada sesama. Spiritualitas di sini tidak berhenti pada zikir dan doa, tetapi menjelma menjadi tindakan konkret yang menyentuh kebutuhan paling dasar manusia.

Spiritualitas haul Abah Sekumpul juga memperlihatkan bagaimana agama bekerja pada level praksis sosial. Ia tidak hadir sebagai doktrin kaku, melainkan sebagai etos hidup yang menggerakkan orang untuk mendahulukan orang lain. Ketika ribuan UMKM memilih memberi daripada mengambil untung, di situlah agama berfungsi sebagai energi sosial yang menata ulang prioritas hidup. Uang bukan ditolak, tetapi ditempatkan di posisi yang tidak absolut. Yang utama adalah keberkahan, ketenangan batin, dan rasa ikut ambil bagian dalam peristiwa suci.

Fenomena ini sekaligus menantang asumsi modern tentang rasionalitas ekonomi. Rasional tidak selalu berarti memaksimalkan laba. Dalam konteks haul Abah Sekumpul, rasionalitas justru dimaknai sebagai kemampuan membaca nilai yang lebih luas bahwa memberi bisa menjadi investasi jangka panjang, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial dan spiritual. Banyak pelaku UMKM meyakini, setelah haul usai, rezeki mereka justru mengalir dengan cara yang tidak mereka rencanakan.

Pada akhirnya, haul Abah Sekumpul memperlihatkan wajah lain dari masyarakat religius Indonesia,  wajah yang ramah, dermawan, dan berani melawan logika pasar demi logika cinta. Di tengah dunia yang kian transaksional, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa masih ada ruang di mana ekonomi tunduk pada spiritualitas, dan keuntungan terbesar justru lahir ketika manusia ikhlas memberi.

Banjarmasin 29 Desember 2025