Sujud Transformatif; Merefleksi Kembali Makna Sujud

  • 10:44 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Saya bersyukur dapat hadir langsung dan duduk menyimak pengajian subuh yang padat wawasan itu, di bawah pancaran cahaya mesjid Al-Istiqomah Citraland Celebes yang pagi itu dipenuhi hampir seribu jamaah, di dalam, luar dan di lantai 2 mesjid. 

Suasana syahdu, penuh semangat spiritual, membuat setiap kata Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA terasa masuk ke ruang batin yang paling sepi. Karena itulah, agar hikmah ini tidak berhenti di telinga saya saja, saya mencoba mendesiminasikan pokok-pokok pikirannya melalui tulisan ini, sebuah ajakan untuk kembali menengok kualitas hubungan kita dengan Allah.

Menteri Agama mengawali ceramah dengan mengutip QS.al-Taubah;18 lalu mengurai mengurai kata sajadah yang berakar dari kata sajada, dengan segala perubahannya, termasuk kata sajid (isim fail) dan masjid (ism makan/tempat). Setelah itu beliau bertanya mengapa doa kita tidak terkabul? Mengapa maksiat masih berulang meski sujud kita banyak? Beliau menyampaikan jangan-jangan yang kita lakukan selama ini baru sebatas sajad, meletakkan kepala di lantai, bukan sujud dalam makna yang sesungguhnya: membersihkan “kepala batin”, pikiran, niat, dan tindakan dari segala bentuk kegelapan. 

Beliau menegaskan bahwa sajad dan sujud adalah dua realitas berbeda. Yang pertama hanya menghadirkan tubuh, sedangkan yang kedua menghadirkan seluruh entitas diri. Banyak orang bersujud secara fisik, namun pikirannya mengembara ke mall dan ke tempat lainnya, hatinya tak terlibat, jiwanya tetap bergumul dengan bayangan dosa. Padahal, sujud hakiki menuntut keterlibatan seluruh lapisan spiritual manusia, bukan hanya kepala, tetapi akal, qalb, fu’ad, hingga unsur sirr. Semua diminta untuk menunduk sujud kepada Allah. Karena itu, tempat sujud tidak cukup hanya lantai masjid yang notabene harus suci dan bersih, tetapi juga tubuh kita sendiri yang harus bersih lahir dan batin. Karena itu tubuh kita juga bisa dimaknai sebagai mesjid; tempat semua entitas diri bersujud.

Firman Allah dalam QS. Al-Muddatstsir yang memerintahkan Nabi untuk bangkit menyampaikan dakwah dengan “pakaian yang bersih” ditafsirkan Menag dengan kedalaman makna. Pakaian yang bersih bukan sekadar kain yang melekat di tubuh, tetapi juga pikiran yang tidak terkontaminasi dosa, akal yang tidak dipenuhi prasangka, dan hati yang tidak dipenuhi kerak-kerak keburukan. Bahasa Al-Qur’an tidak hanya indah, tetapi juga simbolik dan multilapis. Ia mengajak manusia untuk membaca realitas, bukan sekadar membaca huruf.

Dalam bagian lain, Menag mengingatkan bahwa banyak orang pandai memakmurkan mesjid (fisik), tetapi tidak pandai memakmurkan mesjid dalam pengertian diri. Memakmurkan mesjid bukan sebatas ritual, menurutnya, mesjid Nabi pada masa awal bukan hanya tempat salat, tetapi pusat pemberdayaan umat seperti ruang diplomasi, diskusi lintas iman, pendidikan sosial, bahkan pusat strategi politik. 

Kisah masjid Quba misalnya, sebagian lahannya adalah hibah dari orang Yahudi, tapi kemudian tanahnya diserahkan semua untuk mesjid Quba. Ini menunjukkan kecerdasan diplomasi Nabi dalam membangun hubungan sosial yang saling menghormati. Masjid bukan ruang eksklusif, tetapi ruang kolaborasi yang memuliakan manusia.

Beliau juga menyinggung peristiwa Fathu Makkah. Ketika banyak orang menyebut hari itu sebagai hari pertumpahan darah, Nabi menegaskannya sebagai Yaumul Marhamah, hari kasih sayang. Tidak ada perang dan pertumpahan darah.

Namun di sebagian masyarakat muncul pekikan dari seorang pemimpin pasukan bahwa hari itu Yaumul Malhamah (hari pertumpahan darah). Masyarakat Makkah menjadi ketakutan. Tapi Rasulullah segera menenangkan bahwa lidah orang itu  cadel, tidak mampu melafalkan huruf “r”. 

Bagi sebagian orang mungkin terdengar seperti gurauan, tetapi bagi Nabi itu adalah strategi psikologis untuk menenangkan masyarakat Mekah yang sedang diliputi rasa takut. Dakwah, kata Menag, bukan hanya soal dalil, tetapi juga tentang kelembutan, kepekaan emosional, dan kemampuan menyentuh sisi terdalam manusia.

Masjid pada masa Nabi kata Menag berfungsi sebagai ruang sosial yang hidup. Di sana ada pertemuan lintas iman, ada area olahraga, bela diri bahkan pertunjukan seni. Masjid bukan ruang kaku, tetapi ruang kegembiraan yang tetap dalam koridor tauhid.  Bahkan kata Menag menara masjid pun berfungsi sebagai alat kontrol sosial umat. Dari menara yang tinggi bisa dilihat rumah siapa yang berasap dan siapa yang tidak. Asap adalah tanda ada makanan. Bila tidak ada asap, berarti ada keluarga yang perlu dibantu. Inilah bentuk kepedulian sosial yang melekat dalam kehidupan umat di masa Nabi.

Pada akhirnya Menag menegaskan bahwa Islam harus hadir sebagai agama yang inklusif. Sujud bukan hanya ritual, tetapi proses transformasi diri. Sujud yang benar adalah sujud yang membuat kita berubah menjadi lebih lembut, lebih bersih, dan lebih manusiawi. Sujud yang menjadikan kita cahaya bagi sekitar. Semoga pesan ini menjadi pengingat bahwa sujud sejati selalu berujung pada perubahan. Sujud yang mengubah hidup, bukan sekadar gerakan fisik. Sujud yang membersihkan, merangkul, dan mencerahkan.

Sungguminasa, 17 Nopember 2025