Ontologi Ilmu di Era Disrupsi Digital

  • 12:36 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Dunia akademik sedang menghadapi krisis eksistensial yang diam-diam dipicu oleh gempuran data digital, di mana algoritma telah mulai menggugat otoritas tradisional ilmu pengetahuan. Dalam pusaran era disrupsi digital ini, fondasi ontologis ilmu, yang mempertanyakan hakikat dari apa yang “ada” dan dapat diketahui, diguncang hingga ke akarnya. Perkembangan pesat teknologi digital tidak hanya mengubah cara kita mengakses informasi, tetapi lebih mendasar lagi, mengubah sifat realitas yang dipelajari oleh ilmu itu sendiri. Ontologi ilmu, yang semula berkutat pada realitas fisik dan sosial yang teramati, kini harus berhadapan dengan realitas digital yang imaterial, hiper-terhubung, dan seringkali dibangun oleh kode. Dunia maya, big data, kecerdasan buatan, dan metaverse bukan sekadar alat atau representasi; mereka telah menjadi entitas ontologis baru yang menuntut kerangka pemahaman baru.

 Luciano Floridi, dalam karyanya tentang "The Philosophy of Information", menyatakan bahwa kita sedang beralih dari ontologi berbasis substansi (apa sesuatu itu) menuju ontologi berbasis data dan relasi. Dalam ekosistem digital, "yang ada" sering kali didefinisikan oleh status informasinya. Sebuah opini, reputasi seseorang, atau bahkan suatu peristiwa, eksistensinya ditentukan oleh jejak digital, visibilitas algoritmik, dan keterkaitannya dalam jaringan data. Floridi menyebut kondisi manusia saat ini sebagai "being inforgs" atau organisme informasi, yang hidup di dalam "infosfir". Konsep ini secara radikal menggeser ontologi ilmu karena objek studinya bukan lagi dunia yang terberi (the given world), melainkan dunia yang dibangun (the constructed world) melalui proses digital. Ilmu-ilmu sosial, misalnya, harus merumuskan kembali ontologi "masyarakat" ketika interaksi sosial besar-besaran terjadi di ruang digital yang batas-batasnya ditentukan oleh platform komersial.

Lebih lanjut, pendapat Nick Bostrom tentang "simulasi" menambahkan lapisan kompleksitas lainnya. Jika ada kemungkinan bahwa realitas kita sendiri adalah sebuah konstruksi digital yang canggih, maka ontologi ilmu fundamental yang mengasumsikan realitas fisik yang objektif, menjadi problematis. Meskipun masih bersifat spekulatif, gagasan ini mencerminkan semangat zaman di mana batas antara yang riil dan yang virtual semakin kabur. Dalam konteks ini, ahli epistemologi Steve Fuller dalam bukunya "Post-Truth: Knowledge as a Power Game" berargumen bahwa disrupsi digital telah memicu pergeseran dari "ontologi kebenaran" menuju "ontologi validitas performatif". Suatu pernyataan tidak lagi "benar" karena sesuai dengan realitas eksternal, tetapi "valid" karena mampu menghasilkan keterlibatan, viralitas, atau fungsi tertentu dalam sistem digital. Ini adalah tantangan ontologis yang paling mendalam bagi ilmu pengetahuan, yang misinya tradisional adalah mencari kebenaran yang sesuai dengan realitas.

Perkembangan ilmu di era disrupsi ini menuntut ontologi yang luwes dan inklusif. Ontologi tersebut harus mampu mengakomodasi keberadaan entitas digital sebagai objek yang sah untuk ditelaah, sekaligus kritis terhadap proses konstruksinya. Ilmu data (data science), sebagai contoh, memerlukan fondasi ontologis yang jelas tentang status "data" itu sendiri. Apakah data adalah representasi netral dari fakta, atau justru entitas yang sudah terkonstruksi secara politis dan kultural sejak awal? Tanpa kejelasan ontologis, ilmu berisiko menjadi sekadar pelayan bagi logika algoritmik yang tidak transparan.

Oleh karena itu, ontologi ilmu masa depan harus menjadi jembatan yang menghubungkan dunia material yang telah lama kita pahami dengan dunia digital yang terus berevolusi. Ia harus bertindak sebagai kompas navigasi di lautan data yang kacau, membantu kita membedakan antara pola yang bermakna dan noise yang menyesatkan. Pada akhirnya, di tengah gemuruh disrupsi dan pesatnya inovasi, hakikat ilmu tetaplah abadi.

Karena, seperti akar pohon yang mencari sumber air, ilmu sejati akan selalu merindukan hakekat di balik segala yang tampak.

Sungguminasa 31 Oktober 2025