Ketika Kebebasan Melampaui Batas

  • 09:28 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Respon saya kali ini tidak terlepas dari gejolak emosional saya  sebagai alumni pondok pesantren setelah menyaksikan tayangan Trans7 yang memotret tradisi pesantren secara parsial dan dicitrakan sebagai lembaga yang masih memelihara relasi kuasa.

Tayangan Trans TV  yang menyinggung sosok pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo dan juga yg tradisi pesantren  menjadi pukulan telak bagi nurani santri secara keseluruhan. Terlebih, peristiwa ini terjadi menjelang Hari Santri Nasional 23 Oktober 2025, sebuah momentum yang seharusnya menjadi refleksi nasional atas peran pesantren dalam membentuk karakter bangsa. Ketika media yang memiliki pengaruh besar justru menampilkan narasi yang menyinggung marwah dan martabat pesantren, seorang kiai sepuh yang dikenal tawadhu, maka luka itu bukan hanya milik santri dan pesantren Lirboyo, tapi juga milik seluruh santri atau alumni ponpes di Indonesia.

Dalam konteks jurnalisme modern, kebebasan pers memang menjadi pilar utama demokrasi. Namun, kebebasan itu tidak berarti bebas  dari tanggung jawab. Di sinilah letak krisis etis yang sering melanda dunia media kita,  hasrat mengejar sensasi dan rating terkadang menyingkirkan adab, verifikasi, dan kepekaan sosial. Padahal, media bukan sekadar ruang informasi, tetapi juga ruang pembentukan persepsi publik. Ketika media melakukan framing yang keliru terhadap figur kiai atau institusi keagamaan, efeknya bukan hanya pada citra personal, melainkan juga pada tatanan sosial dan spiritual masyarakat.

Adab bukan sekadar sopan santun, melainkan kesadaran moral untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks media, adab berarti menempatkan fakta di atas opini, menghormati subjek berita sebagai manusia, dan tidak mempermainkan martabat seseorang demi tayangan yang viral.

Bila Trans7 berdalih salah tayang atau “kesalahan teknis,” alasan itu tak cukup menutup luka batin jutaan santri dan masyarakat yang menaruh hormat pada para ulama. Sebab yang tersakiti bukan hanya satu figur, melainkan tradisi panjang penghormatan terhadap guru dan ilmu. Dalam dunia pesantren, guru adalah lentera. Ia bukan sosok yang dipuji, melainkan dihormati karena keilmuannya menjadi jembatan menuju kebenaran. Maka ketika seorang kiai atau pesantren dilecehkan di ruang publik, itu seolah merobek simbol kehormatan terhadap ilmu itu sendiri.

Respons publik yang mengecam tayangan tersebut adalah bentuk kepedulian moral, bukan fanatisme buta. Mereka menuntut keadilan etik agar dunia media tidak dibiarkan tanpa pagar. Karena jika pelanggaran semacam ini dianggap biasa, maka ke depan bukan hanya kiai yang bisa difitnah, tetapi siapa pun yang tidak sejalan dengan narasi media arus utama. Padahal, media seharusnya menjadi penjaga kewarasan publik, bukan perusak kepercayaan sosial.

Kritik terhadap media yang kebablasan ini bukanlah upaya membungkam kebebasan pers, melainkan mengingatkan bahwa setiap kebebasan harus berjalan seiring dengan tanggung jawab. Sejarah mencatat, pers Indonesia lahir dari semangat perjuangan, bukan dari keinginan menodai kehormatan bangsa. 

Kita tidak menolak kebebasan pers. Kita justru ingin melindunginya dari kebobrokan moral yang bisa menghancurkan kredibilitasnya sendiri. Karena kebebasan tanpa etika hanyalah bentuk lain dari anarki informasi. Pers yang bebas harus tetap berpijak pada kejujuran, kesantunan, dan kepekaan terhadap nilai-nilai luhur bangsa. 

Di negeri dengan mayoritas umat beragama, penghormatan terhadap ulama dan tokoh spiritual adalah bagian dari etika sosial yang tak boleh diabaikan atas nama modernitas atau profesionalisme semu.

Sudah saatnya lembaga seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia bertindak tegas. Evaluasi bukan hanya perlu dilakukan pada konten, tetapi juga pada sistem kerja redaksi yang membiarkan kesalahan fatal semacam ini terjadi. Sebab, jika media sebesar Trans7 bisa salah sebesar ini, lalu siapa yang bisa dipercaya oleh publik? Kredibilitas media nasional tidak boleh digadaikan demi sensasi sekejap.

Akhirnya, kita perlu menegaskan satu hal yang mendasar: kebebasan pers adalah hak yang dijamin konstitusi, tetapi ia bukan lisensi untuk menghina atau mencederai martabat orang lain. Kebebasan pers adalah anugerah, namun tanpa tanggung jawab moral dan etika, kebebasan itu akan berubah menjadi alat penindasan baru. Pers boleh bebas, tetapi harus bertanggung jawab.

Bagaimana seseorang bisa berbicara tentang pesantren secara utuh,  jika dia tidak pernah merasakan denyut nadinya pesantren 

Sungguminasa 20 Oktober 2025