...Di zaman saya dulu, jangan coba lapor ke ortu jika dihukum guru di sekolah, karena pasti dapat hukuman tambahan dari ortu...Anak sekarang mungkin tidak pernah merasakan panghapus melayang di atas kepala...Demikian beberapa komentar nitizen yang saya ambil dari ribuan komentar dari platform medsos.
Beberapa hari ini, jagat maya Indonesia dikejutkan oleh kisah seorang kepala sekolah di Banten yang dinonaktifkan karena menegakkan aturan disiplin. Ia adalah Dini Fitria, Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak. Seorang siswa kelas XII bernama ILP (17 tahun) kedapatan merokok di area kantin sekolah, tempat yang jelas dilarang untuk kegiatan itu. Sang kepala sekolah menegur, hingga terjadi insiden yang menurut siswa tersebut melibatkan sentuhan fisik. Berita itu menyebar cepat di media sosial, memantik simpati dan reaksi beragam dari publik.
Ratusan siswa kemudian mogok belajar sebagai bentuk solidaritas terhadap ILP. Orang tua siswa melapor ke polisi, dan pemerintah daerah menonaktifkan sementara sang kepala sekolah demi menjaga situasi tetap kondusif.
Mungkin saja harapan siswa dan termasuk siswa yang mendapat teguran, netizen akan menghukum kepala sekolah dengan komentar miring dan menyudutkan, namun, rupanya itu tidak terjadi.
Di dunia maya justeru mengecam aksi mogok dan sikap Lebai siswa yang melapor ke orang tuanya. Fukungan terhadap kepsek Dini Fitria justru mengalir deras. Warganet menilai, disiplin di sekolah tidak boleh dilemahkan, karena di sanalah karakter generasi dibentuk. Desakan dan gelombang dukungan itu membuat Gubernur Banten akhirnya mengembalikan Dini Fitria ke jabatannya.
Fenomena ini menarik. Jemari warganet Indonesia sekali lagi menunjukkan kekuatannya sebagai cermin nurani sosial setelah mereka membela kasus perseteruan tetangga (IM vs SR) Mereka tidak sekadar bereaksi, tetapi berperan sebagai pengingat moral publik bahwa pendidikan membutuhkan ketegasan, dan kedisiplinan tidak boleh dikorbankan demi kenyamanan semu. Media sosial yang kerap dicap sebagai ruang bising justru berfungsi sebagai forum partisipatif, tempat rakyat bersuara tentang nilai-nilai yang mereka anggap penting.
Namun di balik hiruk-pikuk itu, tampak satu pesan besar: masyarakat peduli terhadap dunia pendidikan. Mereka ingin melihat sekolah menjadi tempat pembentukan karakter, bukan sekadar ruang akademik. Mereka mendukung guru yang tegas, bukan untuk mengagungkan kekuasaan, tetapi untuk menjaga arah moral bangsa agar tidak kehilangan kompasnya.
Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025, penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 80,66 persen dari total populasi. Masyarakat Indonesia juga termasuk lima besar pengguna media sosial paling aktif di dunia, dengan rata-rata penggunaan 1–3 jam per hari. Artinya, ruang digital kini menjadi bagian nyata dari kehidupan sosial kita. Dalam konteks itu, keaktifan warganet bukanlah masalah, melainkan potensi besar sebagai kekuatan kontrol sosial, sebuah bentuk partisipasi publik di era baru demokrasi digital.
Peristiwa di SMAN 1 Cimarga menjadi contoh bahwa arus opini masyarakat bisa membantu memperbaiki arah kebijakan. Keputusan untuk mengembalikan kepala sekolah ke jabatannya tidak lepas dari tekanan positif publik yang menilai kasus ini dengan hati nurani. Ini menunjukkan bahwa partisipasi digital dapat berperan sebagai alat kontrol yang menyehatkan, selama dijalankan dengan tanggung jawab dan empati.
Kini tantangannya bukan lagi bagaimana membungkam warganet, melainkan bagaimana membimbing energi mereka agar tetap produktif dan berimbang. Jemari yang menulis kritik seharusnya juga bisa menebar semangat perubahan, bukan hanya reaksi sesaat. Ketika masyarakat aktif menjaga etika bersama, bangsa ini memiliki mekanisme pengawasan moral yang tidak tergantung pada birokrasi, tetapi lahir dari kesadaran kolektif.
Kisah Kepala Sekolah Dini Fitria mengingatkan kita bahwa pendidik adalah penjaga nilai dan karakter generasi muda. Tugas mereka tidak mudah, apalagi di tengah era keterbukaan dan sensitivitas sosial yang tinggi. Karena itu, sudah sepantasnya masyarakat berdiri di belakang para guru yang berjuang menjaga disiplin dan integritas.
Mari jadikan jempol kita bukan sekadar alat mengetik komentar, melainkan simbol tanggung jawab sosial. Biarlah jemari tetap menjadi pedang bukan untuk melukai, melainkan untuk membela kebenaran dan menjaga moral publik. Sebab bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh pemimpin yang kuat, tetapi juga oleh rakyat yang sadar bahwa kekuatan mereka ada pada nurani yang dituliskan dengan bijak di dunia maya.
Sungguminasa, 17 Oktober 2025