Resonansi Diam; Ketika Kesabaran Mengalahkan Hujatan

  • 09:37 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Heboh...kasus dua tetangga yang berkonflik antara IM dan SR menjadi salah satu  trending topik dalam Minggu ini. Fenomena ini menarik banyak pihak dalam dinamika opini publik di era digital. Kasus ini bukan hanya viral di Indonesia, tetapi juga sampai ke Malaysia dan Dubai. 

Perseteruan dua tetangga ini memenuhi beranda-beranda media sosial hari ini. Kasus yang awalnya hanya berawal dari soal parkir mobil di depan rumah tetangga, lalu melebar ke persekusi, framing dan pengusiran dari tempat tinggal.

Saya tentu tidak akan menceritakan secara detail kasus-perkasus. Pembaca bisa membaca dari semua video viral yang sudah bergulir di masyarakat, baca komen pada kolom komentar semua video viral tersebut. Saya hanya menelaah dari sisi akademik bagaimana proses opini bergerak hilir-mudik di kalangan nitizen.

Singkatnya, pada awal viralnya kasus ini, publik tampak menaruh simpati kepada SR, bahkan banyak yang memujinya sebagai sosok wanita tangguh, dan menyalahkan IM, namun tak lama kemudian opini berbalik arah, dukungan itu menguap, berganti dengan kecaman dan penolakan terhadap SR. Dampaknya begitu luas, hampir semua kolom dibanjiri oleh komentar nitizen yang berbalik memojokkan SR, ajakan boikot usaha rental SR, bahkan ada pedagang yang mengeluh dagangannya tidak laku hanya karena wajahnya mirip Sahara. Sebaliknya, IM yang semula menjadi sasaran hujatan justru kini banyak mendapat dukungan, bahkan simpati dari masyarakat. 

Fenomena ini memperlihatkan betapa cepat dan drastis perubahan emosi kolektif di dunia maya.

Perubahan semacam itu bukanlah hal baru dalam kajian tasawuf transformatif. Para ahli  menyebutnya sebagai hasil dari “dynamics of social influence,” di mana opini publik cenderung mengikuti figur yang dianggap lebih berwibawa, lebih tenang, dan tidak reaktif. Ketika seseorang diserang namun tetap diam, publik cenderung memaknainya sebagai tanda kedewasaan, kedalaman spiritual, dan kendali diri. Teori ini menjelaskan bagaimana ketenangan dapat menciptakan kredibilitas moral. Dalam konteks kasus ini, strategi sabar dan diam yang ditunjukkan IM bukan sekadar pasif, tetapi justru menjadi kekuatan yang membentuk persepsi baru bahwa ia kuat karena tidak terbawa arus emosi.

Fenomena ini juga bisa dijelaskan dengan konsep “emotional contagion” dan “echo chamber” di media sosial. Emosi negatif seperti amarah dan kebencian memang cepat menular, tetapi ketika seseorang memilih menahan diri, ia bisa menjadi titik keseimbangan yang justru mengundang rasa simpati. Banyak orang jenuh melihat pertikaian tanpa akhir, sehingga mereka mulai berpihak pada sosok yang tidak ikut memperkeruh suasana. Diamnya IM menjadi bentuk resistensi terhadap budaya digital yang gemar menghakimi. Publik melihatnya bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai kekuatan batin yang langka di tengah kegaduhan opini.

Dari perspektif tasawuf, strategi “diam dan sabar” dikenal sebagai bagian dari proses komunikasi defensif. Ketika tudingan datang bertubi-tubi, langkah terbaik bukan selalu membantah secara frontal, melainkan memberi waktu agar publik menilai sendiri. Reputasi integritas, menurut para pakar, dibangun bukan oleh narasi sepihak, melainkan oleh konsistensi perilaku. Saat IM memilih tidak bereaksi secara emosional, publik menilai ada keutuhan karakter yang tak bisa dibeli dengan klarifikasi panjang. Kesabaran menjadi semacam “branding moral” yang membuatnya tampil autentik.

Namun, efek paling menarik justru muncul ketika energi serangan yang diarahkan kepadanya “berbalik” menghantam pelakunya sendiri. Ini sejalan dengan prinsip psikologi sosial bahwa ketika seseorang terus menyerang sosok yang tetap tenang, publik lambat laun merasa iba kepada yang diserang dan kecewa terhadap yang menyerang. Dalam konteks tasawuf, sabar bukan sekadar sikap moral, tetapi juga strategi reflektif - ia menciptakan ruang bagi empati publik untuk tumbuh. Ketika energi negatif tidak direspons dengan kebencian, ia kehilangan daya rusaknya. Maka yang terjadi adalah pembalikan yaitu simpati.

Namun, strategi diam bukan tanpa risiko. Jika dilakukan terlalu lama tanpa komunikasi klarifikatif, publik bisa menafsirkan diam sebagai bentuk pengakuan atau kelemahan. Karena itu, diam yang bijak adalah diam yang disertai kontrol narasi, tetap berbicara, tetapi dengan cara dan waktu yang tepat dan menunjukkan bukti atau data otentik. Data inilah yang berbicara kepada publik tentang kebenaran sesungguhnya.

Di sinilah seni kesabaran diuji antara menahan diri dan tahu kapan harus bersuara.

Konflik dua bertetangga antara IM dan SR mengajarkan bahwa di era digital, kekuatan tidak selalu milik mereka yang paling keras bersuara. Kadang, justru mereka yang mampu menahan diri, menatap badai dengan tenang, yang akhirnya menang di ruang moral publik. Kesabaran bukanlah bentuk kekalahan, tetapi strategi cerdas untuk membiarkan kebenaran menemukan jalannya sendiri.

Seperti air yang lembut namun mampu mengikis batu, sabar yang tampak tenang sejatinya menyimpan daya yang luar biasa. Dalam riuh rendah dunia maya yang penuh opini, mungkin diam adalah cara terbaik untuk berbicara paling keras. Sebab kata yang lahir dari ketenangan hati lebih dalam bekasnya daripada teriakan yang lahir dari kemarahan. Dan ketika badai reda, yang tersisa bukan siapa yang paling lantang, melainkan siapa yang paling mampu menjaga keteduhan.

Sungguminasa 10 Oktober 2026