Carilah ilmu hingga ke negeri China...sebuah ungkapan inspiratif yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sabda Nabi Muhammad Saw. Meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai keaslian hadis ini, namun makna yang terkandung di dalamnya tetap relevan bahwa pencarian ilmu tidak mengenal batas geografi maupun ideologi. Dalam konteks inilah saya merasa berbahagia, karena dapat mewujudkan spirit tersebut melalui perjalanan akademik dan spiritual di negeri Tiongkok.
Berada di Beijing, ibu kota Republik Rakyat Tiongkok, menghadirkan pengalaman yang kompleks. Di satu sisi, modernitas menjulang dalam bangunan-bangunan kaca dan infrastruktur yang megah. Di sisi lain, sejarah panjang peradaban, termasuk jejak Islam, tetap hadir dan terjaga. Saat menyusuri kawasan Neujie, sebuah distrik yang dikenal sebagai pusat komunitas Muslim Beijing, saya menemukan atmosfer yang berbeda. Aroma masakan halal menyeruak dari warung-warung, tulisan Arab berpadu dengan aksara Mandarin pada papan toko dan masjid, serta sapaan ramah dari pria berkopiah putih dan perempuan berhijab sederhana. Fenomena ini membuktikan bahwa Islam tetap hidup di tengah lingkungan yang secara politik dan ideologi sangat berbeda.
Kunjungan saya ke Masjid Neujie yang berusia lebih dari seribu tahun menjadi momen reflektif yang mendalam. Masjid ini bukan sekadar bangunan, melainkan saksi sejarah bahwa Islam telah mengakar sejak para pedagang Jalur Sutra membawa bukan hanya komoditas dagang, tetapi juga risalah damai dan nilai-nilai ketauhidan. Hal ini sejalan dengan pandangan Marshall Hodgson (1974) yang menekankan bahwa penyebaran Islam dalam lintasan sejarah lebih banyak terjadi melalui interaksi perdagangan, etika sosial, dan teladan spiritual, bukan dominasi politik atau kekuatan militer.
Refleksi dari pengalaman ini menegaskan bahwa identitas Islam tidak semata ditentukan oleh jumlah populasi atau dominasi kekuasaan, melainkan oleh kesetiaan terhadap nilai-nilai iman yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sapaan ramah, sajian makanan halal, atau doa lirih di masjid sederhana menjadi bukti bahwa Islam mampu bertahan dan tumbuh bahkan di tengah sistem politik komunis.
Akhirnya, perjalanan ini mengajarkan bahwa musafir sejati bukan hanya mereka yang menapaki wilayah geografis, melainkan juga yang menjelajahi ruang batin. Di kampung Muslim Beijing, saya kembali dipertemukan dengan inti iman yaitu kerendahan hati, rasa syukur, dan keyakinan bahwa Allah menjaga umat-Nya di manapun mereka berada. Seperti ditegaskan Ibn Khaldun, “Agama memberi solidaritas dan kekuatan, meskipun dalam kondisi yang paling sulit sekalipun” (Muqaddimah). Dari sana, saya belajar bahwa Islam adalah kekuatan spiritual yang melintasi batas ruang, waktu, dan sistem politik.
Perjalanan ke negeri China bukan hanya perjumpaan dengan sejarah, tetapi juga peneguhan diri. Ia mengingatkan bahwa iman akan menemukan jalannya di mana pun, meski dalam situasi yang tampak asing sekalipun. Maka, carilah ilmu, perluas cakrawala, dan jangan takut berjumpa dengan perbedaan. Sebab, justru di sanalah kita menemukan kedalaman iman dan keluasan makna kehidupan.
Sungguminasa Jumat 3 Oktober 2025