Kehidupan di era disrupsi digital menghadirkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, teknologi memberi kemudahan, hiburan, dan kesenangan instan. Hanya dengan sentuhan jari, kita bisa tersambung ke belahan dunia manapun, menikmati tayangan tanpa batas, atau memperoleh informasi dalam sekejap. Namun, di sisi lain, ada ruang hampa yang sering tak terisi yaitu kekosongan batin. Kesenangan yang datang dari layar begitu cepat, tetapi justru gagal memberi ketenangan yang mendalam. Ada surga paradoksal dalam kehidupan.
Ruang hampa ini tidak tampak secara kasat mata. Ia bersemayam di relung hati, ketika manusia merasa penuh dengan aktivitas, namun kosong dari makna. Notifikasi media sosial mungkin membuat kita sibuk, tetapi setelah layar ditutup, ada rasa hampa yang tak terjelaskan. Kita tertawa pada video singkat, tetapi sepi saat menatap diri sendiri. Inilah wajah era disrupsi: serba cepat, serba ramai, namun sering kehilangan kedalaman.
Di titik inilah relasi spiritual menemukan urgensinya. Spiritualitas hadir bukan sekadar sebagai pelarian, melainkan sebagai fondasi untuk menata kembali keseimbangan hidup. Jika kesenangan digital hanya menghibur pikiran, spiritualitas mampu menenangkan jiwa. Ia mengajarkan manusia untuk kembali menemukan makna dalam kesunyian, bukan hanya dalam keramaian.
Mengisi ruang hampa tidak bisa dilakukan dengan menambah deretan hiburan. Justru, semakin banyak hiburan yang dikonsumsi tanpa arah, semakin besar pula kehampaan yang dirasakan. Deretan senitron, parade media sosial atau ngopi bareng, dan lain-lain tidak bisa menuntun manusia menuju ke arah ketenangan. Yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk memberi ruang bagi yang transenden seperti merenung, berdoa, berdzikir, atau sekadar diam dalam keheningan sambil menyadari keberadaan diri di hadapan Sang Pencipta. Di sinilah relasi spiritual menjadi semacam jangkar yang meneguhkan manusia di tengah arus deras disrupsi.
Era digital sering melatih manusia untuk terburu-buru, scroll cepat, geser layar, pindah konten. Spiritualitas justru mengajarkan jeda untuk berhenti sejenak, menghirup napas dalam-dalam, merasakan denyut kehidupan. Jeda ini penting agar manusia tidak terseret dalam pusaran tanpa arah. Jeda spiritual menumbuhkan kesadaran bahwa ada sesuatu yang lebih abadi daripada kesenangan sesaat.
Selain itu, spiritualitas juga menuntun kita untuk menata kembali orientasi hidup. Jika disrupsi digital mengukur eksistensi dari “like” dan “viewer”, maka spiritualitas menilai eksistensi dari ketulusan hati dan kebermaknaan amal. Dari sini lahir perbedaan mendasar, dimana digital mengejar validasi eksternal, spiritual mengejar ketenangan internal. Ketika keduanya tidak seimbang, manusia terjebak dalam kegaduhan luar dan melupakan keheningan dalam.
Mengisi ruang hampa berarti mengintegrasikan kesadaran spiritual ke dalam kehidupan digital. Bukan berarti menolak teknologi, tetapi menempatkannya sebagai sarana, bukan tujuan. Ponsel, internet, dan media sosial boleh dipakai, tetapi jangan sampai mengambil alih jiwa. Ketenangan sejati tetap datang dari hati yang terhubung dengan Yang Maha Abadi.
Akhirnya, disrupsi digital memang menghadirkan kesenangan, tetapi tidak cukup memberi ketenangan. Kesenangan mengisi ruang di luar, ketenangan mengisi ruang di dalam. Jika kita tidak mampu menyeimbangkannya, kita akan terus merasa hampa meski dunia maya tampak penuh warna. Karena itu, mari kita isi ruang hampa itu dengan spiritualitas yang hidup: sebuah kesadaran bahwa di balik hiruk-pikuk digital, ada kebutuhan abadi untuk bertemu dengan keheningan ilahi.
29 September 2025