Untuk apa laboratorium filsafat dibuat? Bukankah selama ini istilah laboratorium hanya akrab dengan ilmu eksakta seperti biologi, kimia, fisika atau paling jauh bahasa dan sastra? Pertanyaan ini wajar, sebab laboratorium sering dibayangkan sebagai ruang penuh mikroskop, tabung reaksi, atau komputer canggih untuk menguji data. Namun, apakah filsafat tidak membutuhkan ruang eksperimen? Apakah pikiran, nilai, dan gagasan tidak layak diuji dengan metodologi, diuji coba dalam percakapan, dan dipertemukan dengan realitas?
Justru di sinilah urgensi laboratorium filsafat. Ia bukan ruang dengan bahan kimia, melainkan ruang sosial-intelektual yang menampung eksperimen gagasan. Dalam laboratorium filsafat, pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kebenaran, etika, dan makna hidup tidak berhenti pada buku atau ruang kelas, melainkan diuji dalam diskusi, penelitian interdisipliner, simulasi kasus, bahkan praktik hidup. Dengan kata lain, laboratorium filsafat adalah ruang untuk menyuling pikiran dan menguji nilai sebelum mereka benar-benar diterapkan dalam kehidupan sosial.
Andi Ulfa Wulandari seorang dosen filsafat pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar pernah melontarkan gagasan yang sama terkait ide ini, saya menangkapnya sebagai gagasan yang produktif dan progresif. Sayangnya saya belum sempat mendialogkan secara intensif kecuali hanya menyampaikan bahwa suatu saat ide ini bisa difollow up.
Selama ini filsafat sering disalahpahami sebagai teori kering yang jauh dari realitas. Padahal, tanpa filsafat, ilmu eksakta pun kehilangan arah. Teknologi kecerdasan buatan, misalnya, membutuhkan refleksi filsafat tentang etika, tanggung jawab, dan kemanusiaan. Ilmu ekonomi pun tidak dapat berkembang sehat tanpa dasar filosofis tentang keadilan dan distribusi. Laboratorium filsafat berfungsi untuk menjembatani jarak antara teori filsafat yang abstrak dan kebutuhan praktis masyarakat. Di dalamnya, mahasiswa, peneliti, dan masyarakat dapat bereksperimen dengan gagasan, mencoba model berpikir kritis, menimbang dilema moral, atau merumuskan prinsip hidup yang lebih arif.
Bayangkan sebuah ruang di kampus atau pusat kajian di mana mahasiswa berdiskusi tentang isu-isu terkini, dari krisis iklim, polarisasi politik, hingga kecanduan media sosial, lalu mengujinya dengan perangkat filsafat; logika, etika, epistemologi. Diskusi itu tidak berhenti sebagai wacana, melainkan ditindaklanjuti dalam bentuk penelitian kecil, pengabdian masyarakat, atau publikasi populer. Dengan begitu, filsafat hadir nyata sebagai pemandu arah, bukan sekadar catatan sejarah pemikiran.
Urgensi lain dari laboratorium filsafat adalah melatih keterampilan berpikir kritis di era banjir informasi. Kita hidup di zaman ketika setiap orang bisa menyebarkan opini tanpa verifikasi, sehingga kebenaran sering kabur oleh arus hoaks dan bias. Laboratorium filsafat berfungsi seperti alat penyaring: ia mengajarkan kita untuk tidak menelan informasi mentah, tetapi mengujinya dengan logika, mempertanyakannya, dan menimbang implikasinya. Dari proses ini lahirlah masyarakat yang lebih bijak, tidak mudah terprovokasi, dan mampu mengambil keputusan berdasarkan nalar sehat.
Selain itu, laboratorium filsafat juga memperkaya pengetahuan dengan memberi ruang bagi kolaborasi interdisipliner. Bayangkan sebuah penelitian bersama antara filsafat, biologi, dan teologi mengenai bioetika. Atau eksperimen gagasan antara filsafat politik dan ilmu sosial untuk mencari solusi polarisasi masyarakat. Di sinilah filsafat berfungsi sebagai “the mother of science” yang menyatukan berbagai cabang pengetahuan. Tanpa ruang eksperimental seperti laboratorium filsafat, kolaborasi itu sering terjebak pada silo-silo disipliner yang sempit.
Lebih jauh, laboratorium filsafat dapat menjadi sarana membangun peradaban dialog. Alih-alih menjadikan perbedaan sebagai alasan bertengkar, laboratorium filsafat menumbuhkan tradisi berpikir kritis sekaligus menghargai keberagaman pendapat. Setiap gagasan diuji, setiap argumen dipertanyakan, tetapi semua dalam bingkai pencarian kebenaran bersama. Budaya dialog semacam ini sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang rawan polarisasi dan konflik identitas.
Dengan demikian, laboratorium filsafat bukanlah sekadar ide eksperimental, tetapi kebutuhan nyata di era ketidakpastian global. Ia adalah ruang penyuling gagasan, tempat nilai-nilai diuji sebelum diterapkan, sekaligus wahana pembelajaran kritis untuk generasi muda. Di laboratorium filsafat, kita belajar bahwa berpikir adalah eksperimen yang tiada henti, dan kebijaksanaan hanya lahir dari proses uji coba yang berulang.
Sejarah mencatat, peradaban Islam pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia bukan karena umatnya rajin bertengkar, tetapi karena rajin berpikir. Tradisi filsafat Islam klasik, dari al-Farabi hingga Ibn Sina, membuktikan bahwa berpikir kritis dan eksperimen intelektual adalah kunci kemajuan. Kini, ketika umat lebih sibuk memperdebatkan perbedaan remeh-temeh daripada merumuskan solusi bersama, filsafat justru terpinggirkan.
Maka, mendirikan laboratorium filsafat adalah upaya menghidupkan kembali tradisi emas itu. Dulu Islam maju karena sering berpikir, hari ini Islam statis karena terlalu sering bertengkar.
Samata 26 September 2025