Spiritualitas; Penopang Mental di Era Ketidakpastian

  • 07:23 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Di tengah derasnya arus zaman yang penuh ketidakpastian, manusia kerap mencari pegangan agar tidak mudah goyah. Ada orang yang mengandalkan logika dan ilmu, ada pula yang bertumpu pada relasi sosial. Namun, tak sedikit yang menemukan sandaran paling kokoh justru dalam spiritualitas. Spiritualitas bukan hanya ritual agama semata, melainkan rasa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri, kesadaran akan makna hidup, serta keyakinan bahwa ada tujuan di balik setiap peristiwa yang dialami. Dalam ruang batin yang tenang, manusia menemukan daya tahan menghadapi badai.

Sejumlah penelitian di Indonesia membuktikan bahwa spiritualitas memiliki kaitan erat dengan kesehatan mental. Tahun 2022 diadakan survei terhadap ratusan umat Muslim di Indonesia selama pandemi COVID-19. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat spiritual well-being seseorang, semakin rendah pula tingkat kecemasan, depresi, dan stres yang dialami. Spiritualitas memberikan ruang harapan di saat dunia luar dipenuhi rasa cemas.  Spiritualitas mampu meningkatkan ketenangan batin pada semua rentang usia, mulai dari remaja yang sedang mencari jati diri hingga lanjut usia yang berhadapan dengan rasa sepi. Bahkan, sebuah penelitian di Malang menemukan bahwa terapi mindfulness yang dipadukan dengan dimensi spiritual berhasil menurunkan gejala depresi pada mahasiswa, dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalani terapi tersebut.

David H. Rosmarin dari Harvard Medical School menyebut bahwa spiritualitas membantu seseorang mentoleransi ketidakpastian. Saat keyakinan spiritual menguat, beban hidup yang tampak berat dapat diterima dengan hati lebih lapang karena ada rasa bahwa penderitaan bukan tanpa makna.  Dengan kata lain, spiritualitas bukan sekadar urusan batin, tetapi memiliki dampak nyata dalam memperkuat kesehatan mental manusia.

Kisah nyata banyak bermunculan. Seorang mahasiswa yang sempat terpuruk selama masa pandemi karena kuliah daring dan isolasi sosial, menemukan kembali semangatnya setelah rutin berdoa dan bermeditasi setiap malam. Ia merasa pikirannya lebih teratur, kegelisahannya berkurang, dan tugas-tugas kuliah yang semula menumpuk mulai bisa ia selesaikan dengan tenang. Hal serupa dialami oleh pasien penyakit kronis yang menjalani perawatan jangka panjang. Keyakinan bahwa ada Tuhan yang selalu menyertai, atau bahwa penderitaan ini akan memberi makna, membuat mereka lebih tabah menghadapi rasa sakit.  Beban mental yang berat terasa lebih ringan karena ada sandaran spiritual.

Namun, spiritualitas juga memiliki batasan. Tidak semua orang merasakan hal yang sama. Bagi sebagian orang, keyakinan yang kaku atau rasa bersalah yang berlebihan justru bisa menambah tekanan batin. Ada pula fenomena yang disebut spiritual bypassing, yakni menggunakan spiritualitas untuk menghindari masalah nyata. Seseorang mungkin hanya berkata “serahkan saja pada Tuhan” tanpa mau mencari solusi atau bantuan profesional ketika menghadapi depresi serius. Karena itu, spiritualitas sebaiknya tidak dipandang sebagai pengganti terapi psikologis, melainkan pelengkap yang memberi kekuatan tambahan.

Meski demikian, nilai yang dihadirkan oleh spiritualitas tetaplah penting. Ia memberi makna di balik penderitaan, menghadirkan harapan di tengah kecemasan, dan membangun resiliensi saat kehidupan terasa rapuh. Ritual-ritual sederhana seperti doa, dzikir, atau meditasi memberi ketenangan batin yang nyata. Kehadiran komunitas spiritual juga membuat seseorang merasa tidak sendirian, melainkan bagian dari jaringan dukungan yang luas. Dalam situasi serba tidak pasti, rasa keterhubungan ini menjadi sumber daya yang tak ternilai.

Pada akhirnya, spiritualitas adalah jembatan antara keterbatasan manusia dan harapan yang tak pernah padam. Di era penuh gejolak, ketika berita buruk datang silih berganti dan masa depan sering terasa samar, manusia membutuhkan sesuatu yang menenangkan hati. Spiritualitas hadir sebagai penopang, bukan sekadar untuk bertahan, tetapi juga untuk menemukan makna dalam perjalanan hidup. Dengan hati yang terhubung pada nilai-nilai transenden, manusia dapat melangkah lebih teguh, menerima ketidakpastian sebagai bagian dari proses, dan tetap percaya bahwa setiap jalan, betapapun berliku, selalu mengarah pada tujuan yang bermakna.

Sungguminasa 15 September 2025