Guru dan Kemuliaan: Membaca Narasi dalam Bingkai Semiotika dan Hermeneutika

  • 11:04 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Pernyataan Menteri Agama RI yang intinya jika ingin kaya jangan jadi guru, karena guru hanya memberikan kemuliaan, bukan menjanjikan kekayaan memicu respons di ruang publik. Jika dilihat sepintas, kalimat itu seakan menafikan kesejahteraan guru. Namun dalam kacamata semiotika dan hermeneutika, ucapan tersebut justru membuka ruang penafsiran yang lebih dalam akan harkat dan martabat seorang guru.

Ferdinand de Saussure menjelaskan bahwa tanda (sign) terbentuk dari signifier (penanda) dan signified (petanda). “Guru” dalam pernyataan itu berfungsi sebagai penanda, sementara petandanya adalah nilai kemuliaan, dedikasi, dan pengabdian. Sebaliknya, kata “kaya” adalah penanda yang petandanya merujuk pada orientasi material. Dengan demikian, pernyataan Menteri Agama membentangkan oposisi biner yaitu guru sebagai simbol idealitas dan kemuliaan versus kekayaan sebagai simbol materialitas. Membaca tanda ini, kita menangkap pesan bahwa guru sesungguhnya ditempatkan dalam horizon spiritual, bukan sekadar economical interest.

Ucapan Menteri dalam persepektif Roland Barthes dapat ditafsirkan sebagai mitos baru tentang dunia keguruan. Guru bukan sekadar profesi, tetapi sosok simbolik yang menyandang makna transenden. “Kemuliaan” yang disandangkan kepada guru, berfungsi sebagai mitos yang melampaui kenyataan sehari-hari. Guru tidak dinilai dari jumlah gaji, melainkan dari narasi luhur yang ia wariskan.

Dari sisi hermeneutika, statemen Menteri Agama hanya bisa dipahami secara adil bila kita membaca latar belakang eksistensialnya. Beliau bukan orang luar yang menilai guru, melainkan bagian dari komunitas keguruan itu sendiri, dosen, profesor, kyai, hingga imam besar. Demikian ulasan Prof. Hamdan yang menegaskan bahwa Menteri Agama sedang bercermin pada dirinya sendiri. Dengan demikian, cakrawala makna antara dirinya dengan para guru sesungguhnya menyatu. Pernyataan itu bukan kritik yang menjauh, melainkan refleksi dari dalam, sebuah cermin bagi dirinya dan bagi profesi guru pada umumnya.

Dalam tradisi  hermeneutika, teks atau ucapan kadang menyimpan makna ganda, makna literal dan simbolik. Secara literal, mungkin ucapan itu dipahami bahwa guru tak layak berharap kaya. Tetapi secara simbolik, ia justru menekankan kemuliaan sebagai nilai fundamental profesi guru. Inilah level interpretasi yang perlu ditangkap bahwa ucapan tersebut  mengingatkan akan orientasi dasar pendidikan yakni keikhlasan dan cinta.

Atas dasar cinta inilah Menteri Agama menggagas Kurikulum Cinta untuk  menegaskan dimensi keilahian dari pandangannya. Cinta di sini adalah simbol nilai universal yang menjadi fondasi etika pendidikan. Dalam semiotika Barthes, cinta menjadi mitos tandingan terhadap mitos kekerasan, egoisme, dan fragmentasi sosial. Dalam hermeneutika Ricoeur, cinta dapat dipahami sebagai horizon baru yang menafsir ulang peran guru yaitu bukan hanya pengajar pengetahuan, tetapi perawat kemanusiaan.

Kerendahan hati Menteri Agama dengan pernyataan maafnya merupakan bagian dari etika guru sejati, ia mendidik dengan teladan, bukan dengan dominasi dan relasi kuasa.

Dengan kerangka semiotika dan hermeneutika, kita dapat memahami bahwa pernyataan Menteri Agama merupakan  refleksi mendalam tentang hakikat profesi guru. Guru adalah tanda kemuliaan, cinta, dan pengabdian, nilai-nilai yang justru semakin dibutuhkan di tengah kegaduhan bangsa.

Jumat 5 September 2025