Kondisi bangsa kita beberapa waktu terakhir diwarnai dengan berbagai gejolak sosial, terutama demonstrasi yang kadang berujung pada tindakan anarkis. Jalanan ramai dengan teriakan, spanduk, dan simbol-simbol perlawanan. Namun, seringkali energi besar yang mestinya diarahkan pada upaya mencari solusi, justru tumpah menjadi kericuhan, merusak fasilitas umum, bahkan melukai sesama anak bangsa. Fenomena ini patut kita renungkan bersama dengan kepala dingin dan hati jernih.
Menyuarakan pendapat dalam masyarakat demokratis adalah hal yang wajar. Bahkan, perbedaan adalah bagian dari sunnatullah yang tak bisa kita hapuskan. Demokrasi memberi ruang bagi warga untuk menyuarakan aspirasi, mengkritik, dan memberikan masukan terhadap jalannya pemerintahan. Namun, persoalannya adalah ketika aspirasi itu berubah menjadi amarah yang tak terkendali, lalu diwujudkan dalam tindakan anarkis yang justru mencederai nilai perjuangan itu sendiri.
Agama, apapun keyakinan yang kita anut mengajarkan bahwa manusia dimuliakan karena akalnya. Dengan akal sehat, kita diajak untuk berpikir jernih, menimbang manfaat dan mudarat, serta menghindari hal-hal yang melampaui batas. Artinya, ketika aspirasi yang disampaikan berujung pada perusakan, maka niat baik itu akan tertutup oleh kerugian yang jauh lebih besar.
Kita perlu menyadari bahwa demonstrasi sejatinya adalah salah satu cara menyampaikan pendapat, bukan jalan tunggal. Ada banyak ruang dialog, kanal resmi, serta forum musyawarah yang bisa dimaksimalkan. Tradisi bangsa ini sejatinya dibangun di atas nilai-nilai musyawarah, saling mendengar, dan mencari titik temu.
Masyarakat perlu diajak kembali pada kesadaran bersama bahwa negara ini adalah rumah besar. Rumah yang kita bangun bersama, yang kita rawat bersama, dan yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu kita kelak. Jika rumah itu rusak, maka semua penghuni akan terkena akibatnya. Tidak ada pihak yang benar-benar menang dalam anarkisme, sebab ujungnya adalah kerugian kolektif. Maka, tugas kita hari ini adalah menahan diri, mengedepankan cara yang beradab, dan menjaga marwah bangsa di hadapan dunia.
Pemerintah juga memikul tanggung jawab besar dalam hal ini. Rakyat perlu diyakinkan bahwa suara mereka didengar, keluhan mereka ditampung, dan aspirasi mereka mendapat saluran yang layak. Transparansi, komunikasi terbuka, serta kesediaan untuk mengakui kekurangan adalah jalan yang akan meredakan ketegangan. Sebaliknya, sikap arogan, menutup mata, atau meremehkan suara rakyat hanya akan memperbesar gelombang ketidakpuasan. Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah kepemimpinan yang meneduhkan, bukan yang memprovokasi.
Kita pun sebagai masyarakat hendaknya tidak mudah terprovokasi. Era digital membuat arus informasi begitu deras, bercampur antara fakta dan manipulasi. Jangan sampai jari-jari kita lebih cepat daripada akal kita, lalu menyebarkan kabar yang tidak terverifikasi, sehingga memperkeruh keadaan. Dalam Al-Qur’an ditegaskan, “Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka telitilah dengan cermat, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini menegaskan bahwa literasi informasi adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual kita.
Langkah paling sederhana yang bisa kita lakukan hari ini adalah menata ulang cara kita merespons keadaan. Ketika muncul ajakan untuk turun ke jalan, tanyakan pada diri kita, apakah ini akan membawa maslahat, atau justru mudarat yang lebih besar? Ketika melihat kericuhan, jangan menambah bensin pada api, tetapi cobalah menjadi air yang menenangkan. Sikap tenang bukan berarti pasif, melainkan bentuk strategi dalam menjaga arah perjuangan agar tidak melenceng dari tujuan awal.
Bangsa yang besar bukanlah bangsa tanpa masalah, melainkan bangsa yang mampu menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin dan hati yang luas. Kita semua adalah bagian dari bangsa ini, maka kita semua pula yang bertanggung jawab untuk merawatnya. Jangan biarkan emosi sesaat merusak persaudaraan panjang yang telah dirajut oleh para pendiri bangsa dengan darah dan air mata.
Mari kita rawat bangsa ini dengan kasih sayang, sebab hanya dengan cinta, negeri ini bisa bertahan melewati badai zaman. Merawat bangsa adalah tugas mulia, dan hanya mereka yang berjiwa besar yang sanggup menjaga api cinta agar tidak padam oleh amarah.
Sungguminasa 1 September 2025